Kamis, 24 Oktober 2013

Tentang Maulid, Haul, Tahlilan dan Keikhlasan dalam Berdakwah oleh KH Salim Nur, 19 Oktober 2013

Mauidoh Hasanah oleh KH Salim Nur

Tentang Maulid, Haul, Tahlilan dan Keikhlasan dalam Berdakwah
Dalam sebuah kitab yang berjudul Al I’lam Bil Fatawa Aimmatil Islam Haula Maulidihi ‘Alaihisholatu wassalam yang dikarang oleh Sayyid Muhammad bin Ali Al Maliki Al Hasani mengkisahkan bahwa ayahnya yaitu Sayyid Ali Al Maliki pernah berkata, “ayahku, sayyid abbas Al Maliki pernah diundang ke
Palestina hanya untuk menghadiri peringatan Maulid Nabi Shollallohu ‘Alaihi wasallam. Ketika beliau sampai di Palestina pada malam 12 Robiul Awwal, ada kejadian yang luar biasa, ada orang tua berdiri mulai dari awal sampai akhir majelis. Orang-orang di sekitarnyapun terheran-heran. Setelah akhir majelis, orang tua ini dipanggil oleh sayyid Abbas kemudian di tanya, ”wahai orang tua, mengapa anda berdiri mulai awal hingga akhir majelis?”, “ya Habib, ini nadzar saya, dulu saya pernah hadir majelis seperti ini. Ketika mahallul qiyam, semua orang berdiri ta’dziiman lirosulillah shollallohu ‘alaihi wasallam, tetapi saya tidak berdiri karena saya punya keyakinan bahwa mahallul qiyam ini tidak ada dasarnya. Namun malam ketika saya tidur, saya bermimpi Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wasallam datang, orang-orang sama berdiri semua, tetapi saya mau berdiri namun tak bisa. Ketika Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wasallam lewat depan saya, beliau berkata, “ kamu tidak akan bisa berdiri, kamu lumpuh”. Ketika saya bangun dari tidur ternyata saya telah lumpuh. Kemudian saya bernadzar jika di beri kesembuhan, maka saya akan berdiri di majelis maulid mulai awal sampai akhir“.
Dari kisah nyata diatas, kita bisa mengambil pelajaran, bahwa majelis maulid seperti yang kita hadiri ini disukai oleh Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wasallam.adakannya peringatan haul.
Setiap peringatan haul biasanya di lakukan dengan tahlilan, tahlilan ini berawal ketika dahulu di awal islam masuk ke indonesia, kebiasaan masyarakat jika ada seseorang yang meninggal adalah berkumpul di rumah duka dengan melakukan kegiatan yang bertentangan dengan islam. Akhirnya para ulama’ dahulu membimbing masyarakat ini dengan cara halus untuk mengajak mereka merubah kebiasaan buruk itu dengan kebiasaan baik yaitu dengan tahlilan. Akhirnya sampai sekarang membudayalah kegiatan tahlilan tersebut hingga sekarang. Ironisnya sekarang banyak yang mengatakan jika tahlilan adalah bid’ah, ini berarti tidak menghargai usaha ulama’-ulama’ terdahulu. Ada kelompok yang mengatakan jika doa yang dikirimkan kepada orang yang telah meninggal itu tidak akan sampai. Empat madzhab termasuk di dalamnya madzhab syafi’i yang kita ikuti, mengajarkan bahwa doa yang kita hadiahkan kepada orang yang telah meninggal adalah sampai. Tidak ada pertentangan dalam hal ini.
Dalam kitab Ar Ruh karya Ibnul Qoyyim Al Jauziyah di sebutkan sahabat Abu Dzar pernah berkata, “aku pernah mendengar Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wasallam memerintahkan agar ikhlas dalam mendoakan mayyit”. Berarti mendoakan mayyit telah di perintahkan oleh Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wasallam. sholat jenazah isinya adalah doa, ini menunjukkan bahwa doa tersebut sampai. Mereka yang mengatakan demikian juga beralasan bahwa kegiatan tahlilan itu adalah pemborosan karena di dalamnya ada pemberian makanan, minuman untuk yang hadir tahlilan. Dalam  Shohih Bukhori disebutkan, sahabat Ibnu Umar  berkata,”ada seseorang yang bertanya kepada Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wasallam, “ajaran islam yang paling bagus itu apa wahai Rasul?”, maka Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wasallam menjawab, “ memberi makanan kepada orang lain dan mengucap salam kepada siapapun”. Maka tidak ada yang menyalahi aturan dalam kegiatan tahlilan tersebut.
Berhubungan dengan Haul Kyai muttaqin, KH. Salim Noor memberikan testimoni bahwa Kyai Muttaqin ini adalah teman dari abah beliau ketika mondok di Kyai Abdulloh siwalan panji kec. Buduran. Abah dari KH. Salim Noor mengatakan bahwa Kyai Muttaqin ini adalah seorang yang ahli nahwu (ilmu tata bahasa arab), orang yang tawaddu’. Mudah-mudahan beliau Kyai muttaqin adalah termasuk ulama’ yang ilmunya mantab. Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wasallam ketika ditanya sahabat tentang siapa orang yang ilmunya mantab, maka Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wasallam menjawab, “yaitu orang yang tidak pernah melanggar sumpah, jujur lisannya, hatinya tawaddu’ takut kepada Alloh, perutnya terjaga dari sesuatu yang haram, farjinya terjaga dari perzinahan. Itulah orang yang mantab ilmunya”. Maka siapapun harus bisa meniru ulama’-ulama’ yang ikhlas.
Zaman sekarang sulit mencari ulama’ yang benar-benar ikhlas dalam berdakwah, maka yang seperti ini tidaklah masuk golongan yang ilmuya mantab.  Hal seperti ini terjadi dimungkinkan karena sesuatu yang di makan adalah hal yang syubhat bahkan haram. Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wasallam bersabda, “tidak akan masuk surga orang yang di perutnya ada sesuatu yang haram”.
Selain yang tidak ikhlas tersebut, sekarang banyak ulama’ yang mengandalkan tawa sebagai objek ceramahnya, padahal Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wasallam dalam syamailnya dikisahkan tidak pernah tertawa melampaui batas. Tertawa itu di bagi tiga macam:
1.     Tabassum, tersenyum tanpa kelihatan giginya.
2.     Dzohik, tertawa dengan suara lirih (mulut sedikit terbuka, gigi agak kelihatan)
3.     Qoh qoha, tertawa denga suara keras (mulut terbuka lebar)
Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wasallam ketika melihat sesuatu yang lucu, maka beliau tersenyum sambil menutup lisan beliau agar tak keluar suara. Maka yang tertawa lepas itu berhukum makruh. Jika mengikuti Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wasallam maka tidak tertawa lepas tanpa kendali.
Wallohu a’lamu bishowab


Tidak ada komentar:

Posting Komentar