Selamat berjumpa kembali pada sesi 2 Mata Kuliah Hukum Perusahaan. Pada sesi ini kita akan membahas tentang Perseroan Terbatas. Kompetensi yang harus Anda kuasai setelah mempelajari materi ini adalah mampu menjelaskan tentang Perseroan Terbatas.Materi diskusi 2 sbb
Sukses dengan usaha food and Beverage yang didirikan pada tahun 2020, tiga sahabat ali, Eldan dan Abdul bersepakat mengembangkan usahanay dengan mendirikan Perseroan Terbatas yaitu PT Sahabat Sejati yang masih bergerak pada bidang usaha usaha food and Beverage. mereka sudah membuat akta pendirian PT Sahabat Sejati dan sudah menandatangani akta di hadapan notaris, namun belum mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM. Walau demikian, mereka sudah mulai menjalankan usaha dan menandatangani kontrak dengan pihak ketiga.
Pertanyaan:
berdasarkan uraian kasus diatas, menurut anda apakah PT Sahabat Sejati yang didirikan ketiga sahabat tersebut sudah sah sebagai badan usaha yang berbadan hukum? Jelaskan Analisis jawaban Anda!
Bagaimanakah status hukum kontrak yang dibuat dengan pihak ketiga?
Apabila terjadi wanprestasi yg mengakibatkan kerugian pihak ketiga atas kerjasama yang dilakukan dengan PT Sahabat Sejati, menurut analisis anda siapakah yang bertanggung jawab kerugian tersebut tersebut?
JAWABAN:
1. Keabsahan PT Sahabat Sejati sebagai Badan Hukum
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, suatu Perseroan Terbatas (PT) baru sah menjadi badan hukum setelah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Menkumham). Hal ini secara eksplisit diatur dalam Pasal 7 ayat (4) UU PT, yang menyatakan bahwa “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.”
Dalam kasus yang terjadi pada PT Sahabat Sejati, meskipun ketiga pendirinya Ali, Eldan, dan Abdul telah membuat akta pendirian di hadapan notaris, tetapi karena belum mendapat pengesahan dari Menkumham, maka secara hukum PT tersebut belum sah sebagai badan hukum. Dengan demikian, PT Sahabat Sejati belum memiliki kedudukan hukum sebagai subjek hukum mandiri (rechtspersoon) yang terpisah dari pendirinya.
Konsekuensi hukumnya adalah segala tindakan hukum yang dilakukan atas nama PT tersebut tidak dapat dianggap dilakukan oleh suatu badan hukum (PT), melainkan masih dianggap sebagai tindakan pribadi para pendirinya. Dengan kata lain, PT Sahabat Sejati belum dapat diakui sebagai entitas hukum yang berdiri sendiri, karena belum memenuhi unsur formal yang ditentukan oleh undang-undang.
Dengan demikian, berdasarkan analisis hukum positif Indonesia, PT Sahabat Sejati belum sah sebagai badan hukum, dan segala kegiatan usahanya belum dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum dari suatu perseroan terbatas, melainkan masih merupakan kegiatan usaha bersama antara para pendirinya secara pribadi atau persekutuan perdata.
2. Status Hukum Kontrak dengan Pihak Ketiga
Mengenai kontrak yang telah dibuat dengan pihak ketiga sebelum PT Sahabat Sejati memperoleh pengesahan dari Menkumham, maka kontrak tersebut tidak mengikat PT sebagai badan hukum, karena pada saat kontrak dibuat PT tersebut belum sah berdiri. Oleh karena itu, kontrak tersebut secara hukum dianggap dibuat oleh para pendiri secara pribadi, bukan oleh PT.
Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 13 ayat (1) UU PT, yang menyatakan bahwa “Perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab pribadi para pendiri.” Namun, jika setelah Perseroan memperoleh pengesahan dari Menteri, maka perbuatan hukum yang telah dilakukan para pendiri tersebut dapat disahkan atau diambil alih oleh PT, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) UU yang sama, dengan syarat bahwa RUPS pertama menyetujui dan menerima perbuatan hukum tersebut.
Artinya, selama PT Sahabat Sejati belum disahkan, kontrak dengan pihak ketiga belum memiliki kekuatan mengikat terhadap PT secara hukum, karena belum ada subjek hukum berbentuk badan hukum yang sah. Kontrak tersebut hanya sah dan mengikat antara pihak ketiga dengan individu pendiri (Ali, Eldan, dan Abdul) yang menandatangani kontrak tersebut.
Dengan demikian, apabila di kemudian hari PT Sahabat Sejati memperoleh pengesahan, barulah PT tersebut dapat mengambil alih tanggung jawab kontraktual tersebut, setelah disetujui dalam RUPS. Sebelum itu terjadi, status hukum kontrak adalah perjanjian pribadi antara para pendiri dan pihak ketiga, bukan perjanjian korporasi.
3. Tanggung Jawab atas Kerugian Akibat Wanprestasi
Apabila dalam pelaksanaan kontrak tersebut terjadi wanprestasi (pelanggaran terhadap perjanjian) yang mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga, maka pihak yang bertanggung jawab penuh atas kerugian tersebut adalah para pendiri secara pribadi, yaitu Ali, Eldan, dan Abdul.
Hal ini didasarkan pada prinsip hukum yang telah disebut dalam Pasal 13 ayat (1) UU PT, yang menegaskan bahwa “Tanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab pribadi para pendiri.” Dengan demikian, karena PT Sahabat Sejati belum memperoleh pengesahan Menkumham, para pendiri tidak dapat berlindung di balik status “badan hukum” untuk menghindari tanggung jawab pribadi.
Dalam konteks hukum perdata, perbuatan yang dilakukan oleh pendiri sebelum badan hukum sah berdiri dianggap sebagai perbuatan hukum pribadi, bukan perbuatan hukum korporasi. Oleh sebab itu, apabila pihak ketiga dirugikan, maka tuntutan ganti rugi secara hukum dapat diajukan langsung kepada para pendiri tersebut secara tanggung renteng (joint and several liability).
Namun, jika di kemudian hari PT Sahabat Sejati telah disahkan sebagai badan hukum dan melalui RUPS pertama menyetujui serta mengambil alih kontrak yang telah dibuat sebelumnya, maka tanggung jawab hukum dapat beralih menjadi tanggung jawab PT. Sebelum hal itu terjadi, tanggung jawab tetap melekat pada pribadi para pendiri.
Kesimpulan:
Secara hukum, PT Sahabat Sejati belum sah sebagai badan hukum karena belum mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM. Oleh sebab itu, segala perbuatan hukum yang dilakukan, termasuk kontrak dengan pihak ketiga, tidak mengikat PT, melainkan mengikat para pendiri secara pribadi. Jika terjadi wanprestasi yang menyebabkan kerugian bagi pihak ketiga, para pendiri (Ali, Eldan, dan Abdul) secara pribadi dan tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut, sampai PT memperoleh pengesahan dan secara resmi mengambil alih perjanjian yang telah dibuat.
Referensi:
1. BMP Modul Hukum Perusahaan “Universitas Terbuka”
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
4. R. Subekti. (2005). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
5. Yahya Harahap. (2016). Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika.
6. Munir Fuady. (2018). Hukum Perseroan Terbatas: Paradigma Baru. Bandung: Citra Aditya Bakti.
7. Abdulkadir Muhammad. (2010). Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar