Rabu, 22 Oktober 2025

Diskusi 1 Hukum Islam dan Acara Peradilan Agama FSIH4204 : Prinsip Dasar dan Sumber Hukum Islam

Halo Mahasiswa Prodi Hukum semuanya!

Selamat datang di sesi pertama mata kuliah Hukum Islam dan Acara Peradilan Agama.

Di sesi diskusi  pertama ini, kita akan mulai dengan fondasi penting, yaitu Prinsip-Prinsip Dasar dan Asas-Asas Hukum Islam. Beberapa topik yang akan kita bahas meliputi: Kerangka dasar ajaran Islam, Perbedaan antara syariah dan fikih, Konsep al-Ahkam al-Khamsah atau lima kategori hukum, Prinsip besar dalam hukum Islam yaitu al-Maqasid as-Syariah, Serta pengantar sumber-sumber utama hukum Islam: Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijtihad

Materi diskusi pertama sbb

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan berbagai persoalan baru dalam kehidupan masyarakat Muslim modern yang tidak dapat ditemukan jawabannya secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadis. Misalnya, penggunaan dompet digital untuk membayar zakat, hukum bayi tabung dan donor sperma, transaksi aset digital seperti kripto, hingga penetapan waktu shalat di Stasiun Luar Angkasa Internasional. Masalah-masalah kontemporer ini tidak secara langsung dijelaskan dalam nash Al-Qur’an dan Hadis. Bagaimana hukum Islam merespons persoalan-persoalan tersebut? Apakah ada petunjuk atau dalil tentang metode menjawab sebuah permasalahan baru yang tidak ada dalam Al-Qur'an dan Hadis?

 

JAWABAN:

Hukum Islam merupakan sistem hukum yang bersifat dinamis dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Meskipun sumber utama hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Hadis, keduanya tidak selalu menjelaskan secara eksplisit seluruh persoalan baru yang muncul akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Namun demikian, Islam menyediakan kerangka metodologis (ushul fiqh) yang memungkinkan ulama dan fuqaha untuk menemukan hukum terhadap persoalan-persoalan baru melalui proses ijtihad.

Ijtihad dalam konteks ini merupakan usaha sungguh-sungguh dari para ahli hukum Islam untuk menggali hukum suatu permasalahan yang tidak ditemukan ketentuannya secara eksplisit dalam nash (Al-Qur’an dan Hadis). Landasan keabsahan ijtihad dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW kepada Mu’adz bin Jabal ketika beliau diutus ke Yaman. Ketika Rasul bertanya, “Dengan apa engkau akan memutuskan perkara?” Mu’adz menjawab, “Dengan Kitabullah.” Rasul bertanya lagi, “Jika tidak terdapat di dalamnya?” Mu’adz menjawab, “Dengan Sunnah Rasulullah.” Rasul bertanya lagi, “Jika tidak ada dalam Sunnah Rasulullah?” Mu’adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku.” Rasulullah kemudian menepuk dada Mu’adz sambil bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap sesuatu yang diridhai Rasulullah.” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan legitimasi ijtihad dalam menyelesaikan masalah baru.

Dalam praktiknya, para ulama menggunakan berbagai metode ijtihad seperti qiyas (analogi), istihsan (preferensi hukum yang lebih ringan), maslahah mursalah (kemaslahatan umum), ‘urf (kebiasaan masyarakat), dan sadd al-dzari’ah (pencegahan terhadap hal yang menimbulkan kerusakan). Melalui metode-metode ini, hukum Islam dapat menjawab berbagai persoalan kontemporer. Misalnya, penggunaan dompet digital untuk membayar zakat dapat dianalogikan (qiyas) dengan pembayaran zakat melalui transfer bank, selama memenuhi syarat-syarat syar’i seperti kepemilikan harta, nisab, dan penyalurannya kepada mustahiq. Begitu juga dengan transaksi aset digital seperti kripto, para ulama menggunakan pendekatan maslahah mursalah untuk menilai manfaat dan mudaratnya dalam ekonomi umat sebelum menetapkan hukumnya.

Sementara itu, persoalan seperti bayi tabung dan donor sperma dibahas melalui pendekatan maqashid al-syari‘ah, yakni dengan mempertimbangkan tujuan-tujuan syariat Islam (memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta). Dalam hal ini, bayi tabung yang dilakukan oleh pasangan suami istri sah dinilai boleh karena tetap menjaga nasab dan keturunan, sedangkan donor sperma dari pihak lain diharamkan karena mengacaukan garis keturunan yang dilindungi syariat. Demikian pula penetapan waktu salat di Stasiun Luar Angkasa Internasional dijawab dengan prinsip rukhsah (keringanan) dan ijtihad jama‘i (ijtihad kolektif) yang dilakukan lembaga fatwa internasional seperti Majma‘ al-Fiqh al-Islami, dengan menggunakan pendekatan perbandingan waktu berdasarkan bumi terdekat.

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa meskipun Al-Qur’an dan Hadis tidak secara eksplisit mengatur semua hal, keduanya telah memberikan prinsip-prinsip dasar dan metode berpikir hukum (manhaj istinbath) yang memungkinkan hukum Islam tetap relevan sepanjang masa. Dengan demikian, hukum Islam bukanlah sistem yang statis, tetapi elastis dan kontekstual, mampu memberikan solusi atas dinamika kehidupan manusia modern tanpa keluar dari nilai-nilai dasar syariat.

Sebagaimana dijelaskan oleh Amir Syarifuddin dalam bukunya Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2008), ijtihad merupakan sarana penting dalam menjembatani teks-teks agama dengan realitas sosial yang terus berubah. Ia menyebut bahwa tanpa ijtihad, hukum Islam akan kehilangan daya hidupnya. Sementara Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990) menegaskan bahwa Islam adalah agama yang universal dan progresif; ia tidak hanya mengatur masa lalu dan sekarang, tetapi juga memberi landasan bagi pemecahan masalah di masa depan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum Islam merespons persoalan-persoalan baru dengan cara menggunakan ijtihad dan prinsip-prinsip maqashid al-syari‘ah. Ini menunjukkan bahwa Islam telah menyiapkan mekanisme internal yang kuat untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman, tanpa kehilangan esensi dan nilai-nilai pokoknya.

 

Daftar Pustaka

1. Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

2. Hasbi Ash-Shiddieqy. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

3. Muhammad Abu Zahrah. Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.

4. Wahbah az-Zuhaili. Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid 1–2. Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.

5. Jaih Mubarok. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2002.

6. M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.

7. Yusuf al-Qaradawi. Ijtihad dalam Syariat Islam: Beberapa Pandangan tentang Ijtihad Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

8. H. A. Djazuli. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2006.

9. Muhammad Daud Ali. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar