Rabu, 22 Oktober 2025

Diskusi 3 HKUM4303 Hukum Perusahaan Sesi 3 Tentang BADAN USAHA MILIK NEGARA

Selamat berjumpa pada sesi 3 Mata Kuliah Hukum Perusahaan. Pada sesi ini kita akan membahas tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kompetensi yang harus Anda kuasai setelah mempelajari materi ini adalah mampu menjelaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Materi Diskusi sbb 
Pada Februari 2023, ribuan pekerja Pertamina melakukan aksi demo menolak rencana IPO PT PGE, yang merupakan anak perusahaan Pertamina yang bergerak di sektor energi terbarukan. Mereka khawatir privatisasi ini akan mengurangi kendali negara atas sumber daya alam strategis dan bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Kritik lain menyatakan bahwa proses ini bisa mengurangi kemampuan BUMN melakukan cross-subsidy dan berdampak negatif pada tarif energi serta kemakmuran rakyat.


Pertanyaan:
Berikanlah analisis anda apakah rencana IPO PGE tersebut sudah sesuai dengan semangat Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945?
Menurut anda Apakah kegiatan usaha BUMN selama ini di Indonesia telah sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (2) dan (3)?jelaskan jawaban anda secara konkrit!

Jawab
1. Analisis Rencana IPO PGE dan Kaitannya dengan Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945

Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara, serta bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam konteks ini, energi termasuk energi terbarukan merupakan sektor strategis yang berkaitan langsung dengan kepentingan publik.

Rencana IPO (Initial Public Offering) PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dapat dipandang sebagai langkah yang berpotensi menyimpang dari semangat Pasal 33 apabila menyebabkan berkurangnya kendali negara terhadap sumber daya strategis. Ketika saham perusahaan dijual kepada publik, termasuk kemungkinan investor asing, sebagian kendali ekonomi beralih dari tangan negara ke mekanisme pasar. Hal ini dapat mengurangi kemampuan pemerintah untuk mengatur kebijakan energi demi kepentingan rakyat.

Namun, jika IPO dilakukan dengan tetap menjaga mayoritas kepemilikan saham di tangan negara melalui Pertamina (minimal 51%), serta dana hasil IPO digunakan untuk memperkuat infrastruktur energi terbarukan yang mendukung ketahanan energi nasional, maka langkah ini masih bisa dianggap sejalan secara substansial dengan semangat Pasal 33 UUD 1945. Artinya, IPO dapat diterima sepanjang tidak menghilangkan kendali strategis negara dan benar-benar ditujukan untuk kemakmuran rakyat, bukan sekadar keuntungan finansial.

 

2. Kesesuaian Kegiatan Usaha BUMN dengan Amanat Pasal 33 Ayat (2) dan (3)
Secara prinsip, keberadaan BUMN di Indonesia sudah dirancang untuk melaksanakan amanat Pasal 33 UUD 1945, yaitu mengelola cabang produksi penting bagi negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan semata-mata mencari laba. Banyak BUMN seperti PLN, Pertamina, dan Bulog berperan dalam penyediaan kebutuhan dasar rakyat dengan harga terjangkau melalui mekanisme subsidi silang. Hal ini sejalan dengan prinsip “dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Namun, dalam praktiknya, tidak semua kegiatan BUMN sepenuhnya mencerminkan semangat tersebut. Sebagian BUMN lebih berorientasi bisnis dan profit, bahkan melakukan restrukturisasi atau kerja sama dengan swasta yang berpotensi mengurangi fungsi pelayanan publik. Misalnya, ketika BUMN melakukan privatisasi tanpa pengawasan yang kuat, maka fungsi sosial dan kontrol negara terhadap sektor strategis bisa melemah.

Dengan demikian, kegiatan usaha BUMN sudah mendekati amanat UUD 1945, tetapi masih perlu penguatan agar orientasinya tidak bergeser menjadi korporasi murni. BUMN idealnya berfungsi sebagai pelaksana kebijakan ekonomi negara yang menjamin pemerataan, ketahanan energi, dan kesejahteraan masyarakat, bukan semata mencari keuntungan.

 

Referensi:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (2) dan (3).

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/2003 tentang Listrik (menegaskan kontrol negara atas sektor strategis).

Modul Ekonomi dan Hukum Ekonomi Indonesia, Universitas Terbuka, 2023.


Diskusi Sesi 2 HKUM4303/Hukum Perusahaan : Tentang PERSEROAN TERBATAS

Selamat berjumpa kembali pada sesi 2 Mata Kuliah Hukum Perusahaan. Pada sesi ini kita akan membahas tentang Perseroan Terbatas. Kompetensi yang harus Anda kuasai setelah mempelajari materi ini adalah mampu menjelaskan tentang Perseroan Terbatas.

Materi diskusi 2 sbb
Sukses dengan usaha food and Beverage yang didirikan pada tahun 2020, tiga sahabat ali, Eldan dan Abdul bersepakat mengembangkan usahanay dengan mendirikan Perseroan Terbatas  yaitu PT Sahabat Sejati yang masih bergerak pada bidang usaha usaha food and Beverage. mereka sudah membuat akta pendirian PT Sahabat Sejati dan sudah menandatangani akta di hadapan notaris, namun belum mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM. Walau demikian, mereka sudah mulai menjalankan usaha dan menandatangani kontrak dengan pihak ketiga.

Pertanyaan:
berdasarkan uraian kasus diatas, menurut anda apakah PT Sahabat Sejati yang didirikan ketiga sahabat tersebut sudah sah sebagai badan usaha yang berbadan hukum? Jelaskan Analisis jawaban Anda!
Bagaimanakah status hukum kontrak yang dibuat dengan pihak ketiga?
Apabila terjadi wanprestasi yg mengakibatkan kerugian pihak ketiga atas kerjasama yang dilakukan dengan PT Sahabat Sejati, menurut analisis anda siapakah yang bertanggung jawab kerugian tersebut tersebut?

JAWABAN:

1. Keabsahan PT Sahabat Sejati sebagai Badan Hukum
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, suatu Perseroan Terbatas (PT) baru sah menjadi badan hukum setelah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Menkumham). Hal ini secara eksplisit diatur dalam Pasal 7 ayat (4) UU PT, yang menyatakan bahwa “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.”

Dalam kasus yang terjadi pada PT Sahabat Sejati, meskipun ketiga pendirinya Ali, Eldan, dan Abdul telah membuat akta pendirian di hadapan notaris, tetapi karena belum mendapat pengesahan dari Menkumham, maka secara hukum PT tersebut belum sah sebagai badan hukum. Dengan demikian, PT Sahabat Sejati belum memiliki kedudukan hukum sebagai subjek hukum mandiri (rechtspersoon) yang terpisah dari pendirinya.

Konsekuensi hukumnya adalah segala tindakan hukum yang dilakukan atas nama PT tersebut tidak dapat dianggap dilakukan oleh suatu badan hukum (PT), melainkan masih dianggap sebagai tindakan pribadi para pendirinya. Dengan kata lain, PT Sahabat Sejati belum dapat diakui sebagai entitas hukum yang berdiri sendiri, karena belum memenuhi unsur formal yang ditentukan oleh undang-undang.

Dengan demikian, berdasarkan analisis hukum positif Indonesia, PT Sahabat Sejati belum sah sebagai badan hukum, dan segala kegiatan usahanya belum dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum dari suatu perseroan terbatas, melainkan masih merupakan kegiatan usaha bersama antara para pendirinya secara pribadi atau persekutuan perdata.

2. Status Hukum Kontrak dengan Pihak Ketiga
Mengenai kontrak yang telah dibuat dengan pihak ketiga sebelum PT Sahabat Sejati memperoleh pengesahan dari Menkumham, maka kontrak tersebut tidak mengikat PT sebagai badan hukum, karena pada saat kontrak dibuat PT tersebut belum sah berdiri. Oleh karena itu, kontrak tersebut secara hukum dianggap dibuat oleh para pendiri secara pribadi, bukan oleh PT.

Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 13 ayat (1) UU PT, yang menyatakan bahwa “Perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab pribadi para pendiri.” Namun, jika setelah Perseroan memperoleh pengesahan dari Menteri, maka perbuatan hukum yang telah dilakukan para pendiri tersebut dapat disahkan atau diambil alih oleh PT, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) UU yang sama, dengan syarat bahwa RUPS pertama menyetujui dan menerima perbuatan hukum tersebut.

Artinya, selama PT Sahabat Sejati belum disahkan, kontrak dengan pihak ketiga belum memiliki kekuatan mengikat terhadap PT secara hukum, karena belum ada subjek hukum berbentuk badan hukum yang sah. Kontrak tersebut hanya sah dan mengikat antara pihak ketiga dengan individu pendiri (Ali, Eldan, dan Abdul) yang menandatangani kontrak tersebut.

Dengan demikian, apabila di kemudian hari PT Sahabat Sejati memperoleh pengesahan, barulah PT tersebut dapat mengambil alih tanggung jawab kontraktual tersebut, setelah disetujui dalam RUPS. Sebelum itu terjadi, status hukum kontrak adalah perjanjian pribadi antara para pendiri dan pihak ketiga, bukan perjanjian korporasi.

3. Tanggung Jawab atas Kerugian Akibat Wanprestasi
Apabila dalam pelaksanaan kontrak tersebut terjadi wanprestasi (pelanggaran terhadap perjanjian) yang mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga, maka pihak yang bertanggung jawab penuh atas kerugian tersebut adalah para pendiri secara pribadi, yaitu Ali, Eldan, dan Abdul.

Hal ini didasarkan pada prinsip hukum yang telah disebut dalam Pasal 13 ayat (1) UU PT, yang menegaskan bahwa “Tanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab pribadi para pendiri.” Dengan demikian, karena PT Sahabat Sejati belum memperoleh pengesahan Menkumham, para pendiri tidak dapat berlindung di balik status “badan hukum” untuk menghindari tanggung jawab pribadi.

Dalam konteks hukum perdata, perbuatan yang dilakukan oleh pendiri sebelum badan hukum sah berdiri dianggap sebagai perbuatan hukum pribadi, bukan perbuatan hukum korporasi. Oleh sebab itu, apabila pihak ketiga dirugikan, maka tuntutan ganti rugi secara hukum dapat diajukan langsung kepada para pendiri tersebut secara tanggung renteng (joint and several liability).

Namun, jika di kemudian hari PT Sahabat Sejati telah disahkan sebagai badan hukum dan melalui RUPS pertama menyetujui serta mengambil alih kontrak yang telah dibuat sebelumnya, maka tanggung jawab hukum dapat beralih menjadi tanggung jawab PT. Sebelum hal itu terjadi, tanggung jawab tetap melekat pada pribadi para pendiri.

Kesimpulan:
Secara hukum, PT Sahabat Sejati belum sah sebagai badan hukum karena belum mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM. Oleh sebab itu, segala perbuatan hukum yang dilakukan, termasuk kontrak dengan pihak ketiga, tidak mengikat PT, melainkan mengikat para pendiri secara pribadi. Jika terjadi wanprestasi yang menyebabkan kerugian bagi pihak ketiga, para pendiri (Ali, Eldan, dan Abdul) secara pribadi dan tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut, sampai PT memperoleh pengesahan dan secara resmi mengambil alih perjanjian yang telah dibuat.

Referensi:
1. BMP Modul Hukum Perusahaan “Universitas Terbuka”
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
4. R. Subekti. (2005). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
5. Yahya Harahap. (2016). Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika.
6. Munir Fuady. (2018). Hukum Perseroan Terbatas: Paradigma Baru. Bandung: Citra Aditya Bakti.
7. Abdulkadir Muhammad. (2010). Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Diskusi Sesi 1 HKUM4303 Hukum Perusahaan Tetag : Ruang Lingkup Hukum Perusahaan

Selamat berjumpa kembali pada Diskusi sesi 1 Mata Kuliah Hukum Perusahaan. Pada sesi pertama ini kita akan membahas tentang Ruang Lingkup Hukum Perusahaan. Kompetensi yang harus Anda kuasai setelah mempelajari materi ini adalah mampu menjelaskan tentang Ruang Lingkup Hukum Perusahaan. 


Materi Diskusi sesi 1

Kasus:
Ali, Eldan, dan Andul bersahabat sejak duduk di bangku kuliah. Ketiganya menamatkan pendidikan Sarjana di Fakultas Hukum Universitas X Pada Tahun 2020. Pada tahun mereka LULUS Sarjana tersebut, Covid 19 sedang berkembang secara masif di Indonesia, sehingga mereka kesulitan mencari pekerjaan. Oleh karena itu muncul pemikiran untuk mereka mendirikan usaha di bidang Food and Beverage dengan konsep layanan Online Ordered. Usaha tersebut didirikan dengan perjanjian tertulis sederhana, dengan modal seadanya secara patungan.  

Pertanyaan:
Dari uraian contoh kasus sederhana diatas, menurut anda bentuk Badan usaha apakah yang sedang dijalankan oleh ketiga sahabat tersebut? Jelaskan Jawaban anda secara kongkrit!
Bagaimana prinsip tanggung jawab terhadap bentuk badan usaha tersebut menurut KUH Perdata?Jelaskan Jawaban Anda!

JAWABAN:
Nomor 1
Berdasarkan ilustrasi uraian kasus tentang Ali, Eldan, dan Andul yang bersama-sama mendirikan usaha di bidang Food and Beverage dengan konsep layanan online order, menggunakan modal patungan serta dibuat dengan perjanjian tertulis sederhana, maka bentuk badan usaha yang mereka jalankan dapat dikategorikan sebagai Persekutuan Perdata (Maatschap) sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Menurut Pasal 1618 KUH Perdata, persekutuan perdata adalah suatu perjanjian di mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan, dengan maksud membagi keuntungan yang timbul dari persekutuan itu. Dalam konteks kasus tersebut, ketiga sahabat itu (Ali, Eldan, dan Andul) masing-masing memberikan kontribusi berupa modal atau tenaga dengan tujuan bersama, yaitu menjalankan usaha kuliner daring dan memperoleh keuntungan bersama. Ciri utama dari persekutuan perdata adalah adanya kesepakatan antar pihak untuk mencapai tujuan ekonomi bersama, tanpa memerlukan pengesahan dari pemerintah atau akta notaris, selama perjanjiannya tidak bertentangan dengan hukum. Dengan demikian, karena usaha mereka dibentuk secara sederhana dengan perjanjian tertulis biasa dan bukan berbadan hukum resmi seperti PT atau CV, maka bentuk yang paling tepat adalah Persekutuan Perdata (Maatschap).

Nomor 2
Terkait prinsip tanggung jawab dalam persekutuan perdata, KUH Perdata menjelaskan bahwa tanggung jawab para sekutu dalam persekutuan bersifat proposional dan pribadi, artinya setiap sekutu hanya bertanggung jawab sebesar porsi atau bagian yang disepakati dalam perjanjian. Berdasarkan Pasal 1633 KUH Perdata, seorang sekutu tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap seluruh utang persekutuan, kecuali apabila hal itu disepakati secara khusus atau jika tindakan tersebut dilakukan atas nama pribadi sekutu tertentu. Dengan demikian, apabila usaha mereka mengalami kerugian, maka tanggung jawab masing-masing sahabat akan dibatasi sesuai dengan besar kontribusi modal atau kesepakatan mereka dalam perjanjian awal. Hal ini berbeda dengan bentuk usaha komanditer (CV) atau perseroan terbatas (PT) yang memiliki perbedaan dalam pemisahan tanggung jawab harta pribadi dan harta badan usaha.

Dalam praktiknya, bentuk persekutuan perdata sering kali digunakan oleh individu yang ingin memulai usaha bersama secara sederhana tanpa melalui proses legal formal. Namun, kelemahannya terletak pada ketiadaan status badan hukum, sehingga kekayaan persekutuan tidak terpisah dari kekayaan pribadi para anggotanya. Apabila usaha mengalami kegagalan atau memiliki utang, maka para sekutu dapat diminta pertanggungjawaban secara pribadi atas kewajiban persekutuan.

Referensi:
1. BMP Modul Hukum Perusahaan, Universitas Terbuka
2. Subekti, R. (2001). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
3. Wirjono Prodjodikoro (1981). Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Sumur Bandung.
4. R. Setiawan (1999). Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Binacipta.

Diskusi 1 Hukum Islam dan Acara Peradilan Agama FSIH4204 : Prinsip Dasar dan Sumber Hukum Islam

Halo Mahasiswa Prodi Hukum semuanya!

Selamat datang di sesi pertama mata kuliah Hukum Islam dan Acara Peradilan Agama.

Di sesi diskusi  pertama ini, kita akan mulai dengan fondasi penting, yaitu Prinsip-Prinsip Dasar dan Asas-Asas Hukum Islam. Beberapa topik yang akan kita bahas meliputi: Kerangka dasar ajaran Islam, Perbedaan antara syariah dan fikih, Konsep al-Ahkam al-Khamsah atau lima kategori hukum, Prinsip besar dalam hukum Islam yaitu al-Maqasid as-Syariah, Serta pengantar sumber-sumber utama hukum Islam: Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijtihad

Materi diskusi pertama sbb

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan berbagai persoalan baru dalam kehidupan masyarakat Muslim modern yang tidak dapat ditemukan jawabannya secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadis. Misalnya, penggunaan dompet digital untuk membayar zakat, hukum bayi tabung dan donor sperma, transaksi aset digital seperti kripto, hingga penetapan waktu shalat di Stasiun Luar Angkasa Internasional. Masalah-masalah kontemporer ini tidak secara langsung dijelaskan dalam nash Al-Qur’an dan Hadis. Bagaimana hukum Islam merespons persoalan-persoalan tersebut? Apakah ada petunjuk atau dalil tentang metode menjawab sebuah permasalahan baru yang tidak ada dalam Al-Qur'an dan Hadis?

 

JAWABAN:

Hukum Islam merupakan sistem hukum yang bersifat dinamis dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Meskipun sumber utama hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Hadis, keduanya tidak selalu menjelaskan secara eksplisit seluruh persoalan baru yang muncul akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Namun demikian, Islam menyediakan kerangka metodologis (ushul fiqh) yang memungkinkan ulama dan fuqaha untuk menemukan hukum terhadap persoalan-persoalan baru melalui proses ijtihad.

Ijtihad dalam konteks ini merupakan usaha sungguh-sungguh dari para ahli hukum Islam untuk menggali hukum suatu permasalahan yang tidak ditemukan ketentuannya secara eksplisit dalam nash (Al-Qur’an dan Hadis). Landasan keabsahan ijtihad dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW kepada Mu’adz bin Jabal ketika beliau diutus ke Yaman. Ketika Rasul bertanya, “Dengan apa engkau akan memutuskan perkara?” Mu’adz menjawab, “Dengan Kitabullah.” Rasul bertanya lagi, “Jika tidak terdapat di dalamnya?” Mu’adz menjawab, “Dengan Sunnah Rasulullah.” Rasul bertanya lagi, “Jika tidak ada dalam Sunnah Rasulullah?” Mu’adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku.” Rasulullah kemudian menepuk dada Mu’adz sambil bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap sesuatu yang diridhai Rasulullah.” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan legitimasi ijtihad dalam menyelesaikan masalah baru.

Dalam praktiknya, para ulama menggunakan berbagai metode ijtihad seperti qiyas (analogi), istihsan (preferensi hukum yang lebih ringan), maslahah mursalah (kemaslahatan umum), ‘urf (kebiasaan masyarakat), dan sadd al-dzari’ah (pencegahan terhadap hal yang menimbulkan kerusakan). Melalui metode-metode ini, hukum Islam dapat menjawab berbagai persoalan kontemporer. Misalnya, penggunaan dompet digital untuk membayar zakat dapat dianalogikan (qiyas) dengan pembayaran zakat melalui transfer bank, selama memenuhi syarat-syarat syar’i seperti kepemilikan harta, nisab, dan penyalurannya kepada mustahiq. Begitu juga dengan transaksi aset digital seperti kripto, para ulama menggunakan pendekatan maslahah mursalah untuk menilai manfaat dan mudaratnya dalam ekonomi umat sebelum menetapkan hukumnya.

Sementara itu, persoalan seperti bayi tabung dan donor sperma dibahas melalui pendekatan maqashid al-syari‘ah, yakni dengan mempertimbangkan tujuan-tujuan syariat Islam (memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta). Dalam hal ini, bayi tabung yang dilakukan oleh pasangan suami istri sah dinilai boleh karena tetap menjaga nasab dan keturunan, sedangkan donor sperma dari pihak lain diharamkan karena mengacaukan garis keturunan yang dilindungi syariat. Demikian pula penetapan waktu salat di Stasiun Luar Angkasa Internasional dijawab dengan prinsip rukhsah (keringanan) dan ijtihad jama‘i (ijtihad kolektif) yang dilakukan lembaga fatwa internasional seperti Majma‘ al-Fiqh al-Islami, dengan menggunakan pendekatan perbandingan waktu berdasarkan bumi terdekat.

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa meskipun Al-Qur’an dan Hadis tidak secara eksplisit mengatur semua hal, keduanya telah memberikan prinsip-prinsip dasar dan metode berpikir hukum (manhaj istinbath) yang memungkinkan hukum Islam tetap relevan sepanjang masa. Dengan demikian, hukum Islam bukanlah sistem yang statis, tetapi elastis dan kontekstual, mampu memberikan solusi atas dinamika kehidupan manusia modern tanpa keluar dari nilai-nilai dasar syariat.

Sebagaimana dijelaskan oleh Amir Syarifuddin dalam bukunya Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2008), ijtihad merupakan sarana penting dalam menjembatani teks-teks agama dengan realitas sosial yang terus berubah. Ia menyebut bahwa tanpa ijtihad, hukum Islam akan kehilangan daya hidupnya. Sementara Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990) menegaskan bahwa Islam adalah agama yang universal dan progresif; ia tidak hanya mengatur masa lalu dan sekarang, tetapi juga memberi landasan bagi pemecahan masalah di masa depan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum Islam merespons persoalan-persoalan baru dengan cara menggunakan ijtihad dan prinsip-prinsip maqashid al-syari‘ah. Ini menunjukkan bahwa Islam telah menyiapkan mekanisme internal yang kuat untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman, tanpa kehilangan esensi dan nilai-nilai pokoknya.

 

Daftar Pustaka

1. Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

2. Hasbi Ash-Shiddieqy. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

3. Muhammad Abu Zahrah. Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.

4. Wahbah az-Zuhaili. Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid 1–2. Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.

5. Jaih Mubarok. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2002.

6. M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.

7. Yusuf al-Qaradawi. Ijtihad dalam Syariat Islam: Beberapa Pandangan tentang Ijtihad Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

8. H. A. Djazuli. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2006.

9. Muhammad Daud Ali. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

 

Diskusi 2 Hukum Zakat Mata Kuliah Hukum Islam dan Acara Peradilan Agama FSIH4204

 Hukum Islam dan Acara Peradilan Agama FSIH4204

 Sesi 2  Hukum Zakat

Halo, mahasiswa semuanya! Selamat datang di Sesi Kedua mata kuliah Hukum Islam dan Acara Peradilan Agama. Pada sesi ini, kita akan membahas topik hukum zakat yang terdiri beberapa pokok bahasan yaitu: Pengertian dan Unsur-unsur Zakat; Jenis Zakat, Penerima Zakat, dan Pengelola Zakat; dan Zakat dan Pajak.

H.M Tasir Hidayat
 Soal Diskusi 3 Hukum Zakat

Salah satu golongan penerima zakat adalah fakir dan miskin. Dalam praktik di lapangan, batas antara fakir dan miskin sering terlihat kabur. Misalnya, di sebuah kota besar, ada seorang janda dengan tiga anak yang bekerja sebagai buruh cuci dengan penghasilan Rp30.000/hari. Ia tidak terdaftar sebagai penerima bantuan sosial karena tidak memiliki KTP domisili kota. Di sisi lain, ada keluarga yang hidup di rumah permanen dengan kendaraan roda dua, namun penghasilannya nyaris habis untuk cicilan utang dan kebutuhan sekolah anak. Kondisi demikian menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang benar-benar layak disebut fakir dan miskin dan termasuk golongan penerima zakat. Berikan pandangan saudara tentang ukuran fakir dan miskin tersebut.

Silahkan merujuk pada modul BMP Hukum Islam dan Acara Peradilan agama.

Cantumkan sumber referensi dalam menanggapi.

 Jawab

Dalam menentukan ukuran fakir dan miskin sebagai penerima zakat, terdapat beberapa pandangan dan kriteria yang dapat digunakan sebagai acuan. Secara umum, fakir dan miskin dapat dibedakan berdasarkan tingkat kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan pokok.

 Fakir

Fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan tidak memiliki pekerjaan untuk mencukupi kebutuhannya, atau memiliki harta dan pekerjaan tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Dalam konteks ini, fakir dapat diartikan sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal.

 Miskin

Miskin adalah orang yang memiliki harta atau pekerjaan, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Mereka mungkin memiliki penghasilan, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Dalam konteks ini, miskin dapat diartikan sebagai orang yang memiliki kemampuan terbatas untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

Kriteria Fakir dan Miskin

Dalam menentukan kriteria fakir dan miskin, perlu dipertimbangkan beberapa faktor, seperti:

- Kebutuhan pokok: Fakir dan miskin adalah mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal.

- Penghasilan: Fakir adalah mereka yang tidak memiliki penghasilan, sedangkan miskin adalah mereka yang memiliki penghasilan tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

- Harta: Fakir adalah mereka yang tidak memiliki harta, sedangkan miskin adalah mereka yang memiliki harta tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Dalam kasus yang Anda sebutkan, janda dengan tiga anak yang bekerja sebagai buruh cuci dengan penghasilan Rp30.000/hari dapat dikategorikan sebagai miskin karena memiliki penghasilan tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sementara itu, keluarga yang hidup di rumah permanen dengan kendaraan roda dua tetapi memiliki cicilan utang dan kebutuhan sekolah anak yang besar dapat dikategorikan sebagai miskin juga karena penghasilannya nyaris habis untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

 Referensi:

- Al-Qur'an, Surat At-Taubah ayat 60

- Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily, Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii

- As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syathiri, Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja’

- Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)

 

DISKUSI SESI 3 Hukum Wakaf Mata Kuliah : Hukum Islam dan Acara Peradilan Agama FSIH4204

Materi Diskusi Sesi 3 membahas tentang :  Hukum Wakaf

H M Tasir Hidayat 

HALLO Mahasiswa PRODI HUKUM Selamat datang kembali di Sesi Ketiga mata kuliah Hukum Islam dan Acara Peradilan Agama. Pada sesi ini, kita akan membahas tentang hukum wakaf yang terdiri beberapa pokok bahasan yaitu, pengertian dan unsur-unsur wakaf, macam wakaf, wakaf dengan wasiat, status perubahan harta benda wakaf, pengelolaan pengembangan harta wakaf, dan wakaf benda bergerak berupa uang dan wakaf benda tidak bergerak (tanah).

Mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami wakaf beserta unsur yang terdapat di dalamnya, macam wakaf, wakaf dengan wasiat dan perubahan harta benda wakaf, wakaf uang, dan wakaf benda tidak bergerak (tanah).

 Secara khusus, mahasiswa juga mampu:

mendefinisikan pengertian wakaf;

memahami dasar hukum adanya wakaf;

menjelaskan macam-macam wakaf;

memahami macam-macam wakaf yang terdiri atas wakaf ahli dan wakaf umum;

memahami hubungan antara wakaf dan wasiat;

memahami perubahan harta benda wakaf berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004;

memahami tujuan dari wakaf uang;

memahami pelaksanaan wakaf uang;

memahami wakaf benda tidak bergerak (tanah);

memahami tata cara pelaksanaan wakaf benda tidak bergerak (tanah).

 

Soal Diskusi Sesi 3 Hukum Wakaf,

Wakaf uang mulai diatur secara resmi melalui Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Wakaf Uang, dan diperkuat oleh peran Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga yang memiliki otoritas untuk mengelola, membina, dan mendorong optimalisasi wakaf uang. Namun, hingga kini pemanfaatan wakaf uang masih belum maksimal. Tingkat literasi masyarakat masih rendah, banyak yang ragu atas keamanannya, dan sebagian masih beranggapan bahwa wakaf hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki tanah atau bangunan. Selain itu masyarakat lebih familiar dengan penyaluran uang melalui Zakat/Infak/Sedekah. Berikan tanggapan dan solusi dari saudara terkait kondisi di atas! Berikan juga pandangan saudara tentang manfaat dari wakaf uang!


JAWAB

Wakaf uang memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempromosikan pembangunan ekonomi syariah. Namun, masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam wakaf uang.

Tantangan:

- Rendahnya literasi masyarakat tentang wakaf uang

- Kekhawatiran atas keamanan wakaf uang

- Anggapan bahwa wakaf hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki tanah atau bangunan

- Masyarakat lebih familiar dengan penyaluran uang melalui Zakat/Infak/Sedekah

Solusi:

- Edukasi dan Sosialisasi: Pemerintah, lembaga wakaf, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran dan literasi masyarakat tentang wakaf uang.

- Pengembangan Infrastruktur: Pengembangan infrastruktur wakaf uang, seperti platform online dan lembaga pengelola wakaf, dapat memudahkan masyarakat untuk berwakaf.

- Transparansi dan Akuntabilitas: Pengelolaan wakaf uang yang transparan dan akuntabel dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat.

Manfaat Wakaf Uang:

- Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat: Wakaf uang dapat digunakan untuk membiayai proyek-proyek sosial dan ekonomi yang bermanfaat bagi masyarakat.

- Mempromosikan Pembangunan Ekonomi Syariah: Wakaf uang dapat menjadi sumber pendanaan bagi usaha-usaha syariah dan mempromosikan pembangunan ekonomi syariah.

- Meningkatkan Kemandirian Umat: Wakaf uang dapat membantu masyarakat untuk menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada sumber dana eksternal.

 

Referensi:

 

- Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

- Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Wakaf Uang

- Badan Wakaf Indonesia (BWI)

- Modul BMP Hukum Islam dan Acara Peradilan Agama