Desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengurus rumah
tangganya sendiri berdasarkan hak asal usul dan adat istiadat yang diakui dalam
Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
Desa
menurut Widjaja (2003) dalam bukunya Otonomi Desa menyatakan bahwa desa adalah sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang
bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah
keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat. Menurut Paul H.
Landis dalam Darsono (2005:20) memberi batasan-batasan sebagai berikut
· Berdasarkan
statistik, Pedesaan adalah daerah yang mempunyai penduduk lebih dari 2500
orang.
· Berdasarkan
psikologi sosial, Pedesaan adalah daerah dimana pergaulan ditandai dengan
keakraban dan keramah-tamahan.
· Berdasarkan
ekonomi, Pedesaan adalah daerah yang pokok kehidupan masyarakatnya berasal dari
pertanian
Menurut
Undang-undang No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintah Daerah, desa adalah suatu
wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat
hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah camat
dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dari beberapa pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa desa ialah suatu wilayah yang merupakan satu kesatuan
masyarakat hukum pada batas-batas wilayah yang mempunyai wewenang untuk mengatur
danmengurus kepentingan masyarakat setempat yang dimana corak masyarakatnya
ditandai dengan kebersamaan dan keramahtamahan.
Desa juga merupakan
suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan
tersendiri. Desa merupakan perwujudan atau kesatuan goegrafi, sosial, ekonomi,
politik dan kultur yang terdapat ditempat itu (suatu daerah), dalam hubungan
dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain.
Menurut Undang-undang
No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintah Daerah, desa adalah suatu wilayah yang
ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dari beberapa
pengertian diatas dapat dipahami bahwa desa ialah suatu wilayah yang merupakan
satu kesatuan masyarakat hukum pada batas-batas wilayah yang mempunyai wewenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang dimana corak
masyarakatnya ditandai dengan kebersamaan dan keramahtamahan.
Selain itu bisa disimpulkan juga bahwa pedesaan adalah sebuah lingkungan yang
khas memiliki otonomi dan kewenangan dalam mengatur kepentingan masyarakat yang
memiliki kultur serta berbagai kearifan lokal yang khas serta lingkungan yang
masih alami dan kondusif yang banyak berpengaruh terhadap karakter masyarakat
di pedesaan.
Ciri-ciri Desa
dan Karakteristik Masyarakat Pedesaan
Karakteristik
masyarakat desa menurut Scott J.C. (1989) dalam Yudi (2010:4) bahwa petani
terutama di pedesaan pada dasarnya menginginkan kedamaian dan hubungan
patron-klien paternalistik yang memberi jaminan dan keamanan social (social
security). Petani jarang tampil mengambil suatu keputusan yang berisiko,
karena petani akan memikirkan keamanan terlebih dahulu (safety first).
Kondisi ini tidak dapat dipertahankan dengan masuknya pasar dan komersialisasi
yang telah menggantikan hubungan patron-klienmenjadi hubungan
ekonomis (upah/majikan-buruh).
Meskipun
demikian, untuk mengatasi masalah ekonomi, daerah pedesaan telah menemukan
sendiri berbagai mekanisme sosial ekonominya yang dikenal sebagai gotong-royong
(social exchange). Gotong royong menjadi etos subsistensi yang
melahirkan norma-norma moral, seperti adanya norma resiprokal atau timbal balik
dalam menikmati bantual sosial. Secara umum, karakterisitik desa terbagi atas
tiga, yaitu karakteristik fisik, karakteristik sosial, dan karakteristik
ekonomi.
Menurut Rahardjo
(1999), Desa atau lingkungan pedesaan adalah sebuah komunitas yang selalu
dikaitkan dengan kebersahajaan (simplicity), keterbelakangan,
tradisionalisme, subsistensi, dan keterisolasian. Beratha (1984), berpendapat bahwa
masyarakat desa dalam kehidupan sehari-harinya menggantungkan pada alam. Alam
merupakan segalanya bagi penduduk desa, karena alam memberikan apa yang
dibutuhkan manusia bagi kehidupannya. Mereka mengolah alam dengan peralatan
yang sederhana untuk dipetik hasilnya guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Alam
juga digunakan untuk tempat tinggal.
Menurut Bintarto dalam
Daljoeni (2003), ada tiga unsur yang membentuk sistem yang bergerak secara
berhubungan dan saling terkait dari sebuah desa, yaitu :
·
Daerah tanah
yang produktif, lokasi, luas dan batas yang merupakan lingkungan geografis,
·
Penduduk,
jumlah penduduk, pertambahan penduduk, persebaran penduduk dan mata pencaharian
penduduk,
·
Tata
Kehidupan, pola tata pergaulan dan ikatan pergaulan warga desa termasuk seluk
beluk kehidupan masyarakat desa.
Koentjaraningrat (2005), berpendapat bahwa masyarakat di pedesaaan
merupakan sebuah komunitas kecil yang memiliki ciri-ciri yang khusus dalam pola
tata kehidupan, ikatan pergaulan dan seluk beluk masyarakat pedesaan, yaitu ;
1) para warganya saling mengenal dan bergaul secara intensif, 2) karena kecil,
maka setiap bagian dan kelompok khusus yang ada di dalamnya tidak terlalu
berbeda antara satu dan lainnya, 3) para warganya dapat menghayati lapangan
kehidupan mereka dengan baik. Selain itu masyarakat pedesaan memiliki sifat
solidaritas yang tinggi, kebersamaan dan gotong royong yang muncul dari prinsip
timbal balik. Artinya sikap tolong menolong yang muncul pada masyarakat desa
lebih dikarenakan hutang jasa atau kebaikan.
Menurut Anshoriy (2008),
dalam penelitiannya tentang kearifan lingkungan di tanah jawa, bahwa kehidupan
sosiokultural masyarakat di pedusunan (pedesaan) memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
·
Menjunjung
kebersamaan dalam bentuk gotong royong, gugur gunung dan lain sebagainya,
·
Suka kemitraan
dengan menganggap siapa saja sebagai saudara dan wajib dijamu bila berkunjung
ke rumah,
·
Mementingkan
kesopanan dalam wujud unggah-ungguh, tata krama, tata susila dan lain
sebagainya yang berhubungan dengan etika sopan santun.
·
Memahami
pergantian musim (pranata mangsa) yang berkaitan dengan masa panen dan
masa tanam,
·
Memiliki
pertimbangan dan perhitungan relijius (hari baik dan hari buruk) dalam setiap
agenda dan kegiatannya,
·
Memiliki
toleransi yang tinggi dalam memaafkan dan memaklumi setiap kesalahan orang lain
terutama pemimpin atau tokoh masyarakat,
·
Mencintai seni
dan dekat dengan alam.
Menurut Shahab (2007),
secara umum ciri-ciri kehidupan
masyarakat pedesaan dapat diidentifikasi sebagai berikut ;
·
Mempunyai
sifat homogen dalam mata pencaharian, nilai-nilai dalam kebudayaan serta dalam sikap dan tingkah
laku,
·
Kehidupan desa
lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi yang berarti semua
anggota keluarga turut bersama-sama memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,
·
Faktor
geografi sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada. Misalnya, keterikatan
anggota keluarga dengan tanah atau desa kelahirannya,
·
Hubungan sesama
anggota masyarakat lebih intim dan awet dari pada kota.
Menurut dirjen Bangdes
(pembangunan desa) dalam Daljoeni (2003), bahwa ciri – ciri wilayah desa antara lain;
· Perbandingan lahan dengan manusia cukup besar (lahan
desa lebih luas dari jumlah penduduknya, kepadatan rendah).
· Lapangan kerja yang dominan adalah agraris (pertanian)
· Hubungan antar warga amat akrab
· Tradisi lama masih berlaku.
Pedesaan dan
masyarakat desa merupakan sebuah komunitas unik yang berbeda dengan masyarakat
di perkotaan. Sementara segala kebijakan dan perundangan-undangan adalah produk
para pemangku kebijakan yang notabene adalah masyarakat perkotaan, maka
masyarakat desa memiliki kekhasan dalam mengatur berbagai kearifan-kearifan
lokal.
Secara sosial, corak
kehidupan masyarakat di desa dapat dikatakan masih homogen dan pola
interaksinya horizontal, banyak dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan. Semua
pasangan berinteraksi dianggap sebagai anggota keluarga dan hal yang sangat
berperan dalam interaksi dan hubungan sosialnya adalah motif-motif sosial. Interaksi
sosial selalu di-usahakan supaya kesatuan sosial (social unity) tidak
terganggu, konflik atau pertentangan sosial sedapat mungkin dihindarkan jangan
sampai terjadi. Prinsip kerukunan inilah yang menjiwai hubungan sosial pada
masyarakat pedesaan. Kekuatan yang mempersatukan masyarakat pedesaan itu timbul
karena adanya kesamaaan-kesamaan kemasyarakatan seperti kesamaan adat
kebiasaan, kesamaan tujuan dan kesamaan pengalaman( (Soetardjo, 2002).
Berbagai karakteristik
masyarakat pedesaan di atas seperti potensi alam, homogenitas, sifat
kekeluargaan dan lain sebagainya menjadikan masyarakat desa sebuah komunitas
yang khusus dan unik.
Tipologi
Desa
Menurut
Soetardjo Kartohadikoesoemo (1984:18), tipologi desa terbagi atas 10 jenis
yaitu :
· Desa
pertanian adalah desa yang dibentuk dari sekumpulan manusia yang pertama berupa
masyarakat pertanian. Bersama sama mereka membuka hutan belukar dan masing –
masing atau secara bersamaan mereka mengolah tanah yang kosong untuk ditanami
tu buh- tumbuhan yang dapat menghasilkan bahan – bahan makanan. Maka dari itu,
di daerah daerah yang subur tanahnya kemudian terdapat masyarakat yang besar
dan tergabung dalam ikatan desa yang kuat dan banyak penduduknya.
· Desa
Perikanan dan Pelayaran adalah Desa yang dibentuk oleh orang orang
penangkap ikan atau oleh orang-orang pelaut yang pekerjaannya mengangkut
barang-barang dagangannya ke seberang lautan. Demikian juga halnya di
tepian-tepian sungai besar.
· Desa
peternakan adalah desa yang merupakan desa dimana penduduknya mempunyai mata
pencaharian sebagai peternak.
· Desa
pasar (dagang) adalah desa dimana orang-orang dari berbagai jurusan dapat
bertemu satu dengan yang lain untuk menjual dan membeli barang-barang yang
dihasikan masyarakat sehingga terjadilah pasar. Di dekat pasar tersebut semakin
lama tumbuh suatu masyarakat dari orang-orang yang pekerjaannya membeli dan
menjual barang-barang yang dibutuhkan di tempat lain.
· Desa
istirahat adalah suatu tempat dimana kendaraan yang berjalan dari jarak jauh
biasa diberhentikan untuk memberi istirahat kepada hewan yang menarik kendaraan
dan kepada orang-orang yang menjadi pengendara serta para penumpang. Dengan
sendirinya maka di tempat itu berdirilah sebuah warung dimana orang dapat
membeli makanan dan minuman. Lambat laun tidak saja makanan dan minuman, bahkan
barang-barang akan dijual disitu.
· Desa
tambangan adalah desa dimana tukang-tukang perahu menyebrangkan
kendaraan-keandaraan dan orang-orang dari satu seberang ke seberang lain.
· Desa
tempat keramat adalah desa yang tumbuh di dekat tempat yang dianggap keramat.
Sebuah candi yang mendapat kunjungan dari masyarakat, makam yang dimuliakan,
dan sebagainya, sering kali tumbuh masyarakat yang nantinya akan berkembang
pula menjadi desa.
· Desa
tambakan,setelah ada orang yang menemukan bibit dari laut yang dapat dipelihara
di daratan dan dalam air asin ternyata menjadi ikan yang lezat rasanya dan
diberi nama ikan bandeng, maka di tepi laut orang membuat kolam dari air laut
yang di beri nama tambak unutk memelihara ikan bandeng tersebut. Dengan
demikian di pesisir tumbuh masyarakat-masyarakat tambakan dari orang-orang yang
memelihara ikan bandeng
· Desa
sumber air adalah desa yang tumbuh di dekat suatu sumber air yang besar.
· Desa
pertambangan adalah desa yang tumbuh di dekat wilayaha yang menghasilkan
hasil-hasil pertambangan.
Pola
Pengelompokan Desa
Menurut Daldjoeni (2003:60), ada
beragam bentuk desa yang secara sederhana dikemukakan sebagai berikut
Bentuk desa menyusur sepanjang
pantai (desa pantai).
Bentuk desa yang terpusat (desa
pegunungan).
Bentuk desa linier di dataran
rendah.
Bentuk desa mengelilingi fasilitas
tertentu
Pola Permukiman
Desa
Kondisi fisik lingkungan merupakan
faktor penting dalam proses memukimi maupun produk yang berupa permukiman
(Bockstael, 1996). Pola persebaran permukiman rural lebih banyak ditentukan
oleh faktor fisik lingkungan dibandingkan pertimbangan-pertimbangan
sosio-ekonomik semata (Knox,2004) (Hardie,1997).
Karakteristik permukiman penduduk
yang bercirikan bentuk memanjang dengan pola mengelompok (clustered),
berkepadatan tinggi, dan proporsi bangunan permanen seimbang dengan bangunan
non permanen, berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan maupun kondisi sosial
ekonomi penduduk. Terbentuknya pola persebaran permukiman tertentu dipengaruhi
oleh faktor internal penghuni yang berkait erat dengan kondisi sosial ekonomi
penduduk, serta faktor eksternal yang didominasi oleh faktor fisik lingkungan
(Yunus, 1989)(Gustafson, 1998). Pada setiap lokasi geografis tertentu memiliki
kondisi fisik lingkungan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
berbeda-beda, sehingga determinan terbentuknya pola persebaran permukiman pada
masing-masing tempat juga berbeda-beda (Fajita, 1982).
Menurut Darsono Wisadirana
(2004:45), pola permukiman berdasarkan tipologi masyarakat desa adalah sebagai
berikut
· Tipe masyarakat dengan pola
permukiman tersebar, tipe masyarakat desa ini mencirikan adanya rumah-rumah
bangunan tempat tinggal yang tersebar secara berjauhan satu sama lain.
· Tipe masyarakat desa dengan tempat
permukiman yang terkumpul. Tipe permukiman dicirikan dengan adanya
bangunan-bangunan rumah tinggal yang berkumpul dan berjajar di sepanjang desa,
baik berupa jalan sungai maupun jalan darat. Pada tipe masyarakat desa seperti
ini, rumah tinggal dibangun di atas tanah yang luas, di belakang bangunan
rumah tinggal terdapat sebidang tanah yang diusahakan sebagai sumber mata
pencaharian hidup.
· Tipe masyarakat desa dengan
permukiman melingkar, tipe masyarakat desa ini dicirikan dengan rumah tempat
tinggal penduduk berada di tepi jalan yang melingkar, sehingga kampung ini
terlihat seperti sebuah lingkaran permukiman.
Penggunaan
Lahan di Pedesaan
Sebagian besar penduduk perdesaan
mempunyai pencaharian di sektor pertanian. Oleh karena itu penggunaan lahan di daerah
perdesaan sebagian besar dimanfaatkan untuk pertanian. Disamping itu juga
dimanfaatkan untuk permukiman, peternakan, kehutanan, dan sosial. Bentuk
penggunaan lahan pertanian yang ada di Indonesia dapat dibedakan menjadi
pertanian rakyat, perkebunan, peternakan dan perikanan, serta kehutanan.
· Permukiman
· Pertanian Rakyat
· Perkebunan
· Peternakan
· Perikanan
· Kehutanan
Infrastruktur
Menurut Grigg (1988) dalam Ufie
Jusuf (2009), Infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan
transportasi, pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas
publik yang lain yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam
lingkup sosial dan ekonomi. Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama
fungsi-fungsi sistem sosial dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Sistem infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas-fasilitas atau
struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun
dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat
(Grigg, 2000) dalam Ufie Jusuf (2009).Infrastruktur meliputi
a) Jalan
b) Drainase
c) Jaringan air bersih
Desa
Perbatasan
Desa perbatasan adalah suatu desa
atau wilayah desa yang berletak diantara 2 atau lebih wilayah administratif.
Desa perbatasan umumnya memiliki konflik akibat kurangnya penegasan batas
wilayah pada suatu wilayah administratif. Salah satu sebabnya adalah karena
daerah menjadi memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayahnya.
Daerah dituntut untuk berperan aktif dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi
sumber daya di daerahnya. Kemampuan daerah dalam mengoptimalkan sumber daya
yang ada menjadi penentu bagi daerah dalam menjalankan otonomi daerah. Oleh
karena itu daerah-daerah menjadi terdorong untuk mengetahui secara pasti sampai
sejauh mana wilayah kewenangannya, terutama yang memiliki potensi sumber daya
yang mendukung Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Desa
tertinggal
Suatu daerah dikategorikan sebagai
daerah tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain :
· Geografis. Umumnya secara geografis
daerah tertinggal relatif sulit dijangkau karena letaknya yang jauh di
pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil
atau karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan
baik transportasi maupun media komunikasi.
· Sumberdaya Alam. Beberapa daerah
tertinggal tidak memiliki potensi sumberdaya alam, daerah yang memiliki
sumberdaya alam yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang
dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi, dan daerah tertinggal akibat
pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan.
· Sumberdaya Manusia. Pada umumnya
masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan
keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang.
· Prasarana dan Sarana. Keterbatasan
prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan,
pendidikan, dan pelayanan lainnya yang menyebabkan masyarakat di daerah
tertinggal tersebut mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan
sosial.
· Daerah Rawan Bencana dan Konflik
Sosial. Seringnya suatu daerah mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat
menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi.
· Kebijakan Pembangunan. Suatu daerah
menjadi tertinggal dapat disebabkan oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat
seperti kurang memihak pada pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan
dan prioritas pembangunan, serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat
adat dalam perencanaan dan pembangunan.
Kriteria
penetapan daerah tertinggal
Penetapan kriteria daerah tertinggal
dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan 6 (enam)
kriteria dasar yaitu : perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana
(infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan
karakteristik daerah, serta berdasarkan kabupaten yang berada di daerah
perbatasan antarnegara dan gugusan pulau-pulau kecil, daerah rawan bencana, dan
daerah rawan konflik
Strategi
Strategi pembangunan daerah
tertinggal disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing daerah.
Strategi dimaksud meliputi:
Pengembangan ekonomi lokal, strategi
ini diarahkan untuk mengembangkan ekonomi daerah tertinggal dengan didasarkan
pada pendayagunaan potensi sumberdaya lokal (sumberdaya manusia,
sumberdaya kelembagaan, serta sumberdaya fisik) yang dimiliki masing-masing
daerah, oleh pemerintah dan masyarakat, melalui pemerintah daerah maupun
kelompok-kelompok kelembagaan berbasis masyarakat yang ada.
Pemberdayaan Masyarakat, strategi ini diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan sosial, budaya, ekonomi, dan
politik
Perluasan Kesempatan, strategi ini
diarahkan untuk membuka keterisolasian daerah tertinggal agar mempunyai
keterkaitan dengan daerah maju
Peningkatan Kapasitas, strategi ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas
kelembagaan dan sumberdaya manusia pemerintah dan masyarakat di daerah
tertinggal.
Peningkatan Mitigasi, Rehabilitasi
dan Peningkatan, strategi ini diarahkan untuk mengurangi resiko dan
memulihkan dampak kerusakan yang diakibatkan oleh konflik dan bencana alam
serta berbagai aspek dalam wilayah perbatasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar