Agama (al-dien) adalah ide murni, atau sistem ide dan kepercayaan
yang bersifat Ilahiyah, berkenaan dengan ketaatan pada Tuhan, dan
disampaikan kepada nabi-nabi. Dalam Islam, ide murni itu berbentuk wahyu yang
termuat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ide ini tidak bisa diletakkan dalam
konteks kemanusiaan. Berbeda dengan pemikiran agama (Islamologi) yang
seluruhnya merupakan produk manusia dan sangat berkaitan dengan masyarakat.
Konsep ini tidak bisa dipisahkan dari realitas tertentu dan sejarah masyarakat.
Karena itu, Islamologi inilah gagasan ide Ilahiah yang dapat diletakkan dalam
konteks kemanusiaan. Salah satu pemikiran Agama adalah Ushul Fiqh.
Pada mulanya, para ulama terlebih dahulu menyusun ilmu
fiqh sesuai dengan Al-Qur an, Hadits, dan Ijtihad para Sahabat. Setelah Islam
semakin berkembang, dan mulai banyak negara yang masuk kedalam daulah Islamiyah, maka
semakin banyak kebudayaan yang masuk, dan menimbulkan pertanyaan mengenai
budaya baru ini yang tidak ada di zaman Rosulullah. Maka para ulama ahli ushul
fiqh menyusun kaidah sesuai dengan gramatika bahasa Arab dan sesuai dengan
dalil yang digunakan oleh ulama penyusun ilmu fiqh.
I.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ushul Fiqh
Kalimat ushul fiqh terdiri dari dua kata, yaitu ushul dan fiqh.
Kata Ushul jamak dari ashlun, yang berarti pangkal, pokok, dasar
dan lain sebagainya. Sedangkan fiqh, secara bahasa berarti pemahaman.[2]
Secara istilah, fiqh adalah “Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang
berkaitan dengan perbuatan manusia yang digali melalui dalil-dalilnya yang
terperinci”.
Jumhur ulama Ushul Fiqh mendefinisikannya sebagai berikut:
“Himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-dalilnya.”
“Himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-dalilnya.”
Sedangkan menurut Abul Wahab Khalaf, seorang guru besar hukum di
Universitas Kairo Mesir menyatakan:
Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian
hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang
terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah dan metode penelitian hukum syara’
mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci.[3]
Yang dimaksud “dari dalil-dalilnya secara terperinci” dalam
pengertian di atas adalah dalil-dalil dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas,
sebagaimana yang menjadi dasar penetapan hukum Islam. Inti ushul fiqh adalah
seperangkat kaidah (metode berpikir) guna mendukung cara atau upaya yang
ditempuh dalam proses penetapan hukum dari dalil-dalil ataupun
sumber-sumbernya.
Pengetahuan fiqh adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk
Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan ushul
fiqh. Meskipun cara-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan
Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan
dasar-dasarnya sudah mereka (para ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam
mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan
hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh.
Menurut Istilah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh
ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat
digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya.
Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil
bagi sesuatu hukum, kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan
dalil ayat-ayat Al-Qur'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya
dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu
yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan
mempergunakan dalil.
Jadi, ilmu Ushul Fiqh pada hakekatnya adalah metodologi hukum Islam
(suatu metode yang memuat prosedur dan teknik bagaimana hukum syari’at dapat
dirumuskan untuk pedoman hidup dan bagaimana jalan pikiran pembentukan hukum
Islam tersebut).
2. Obyek Ushul Fiqh
Pada intinya obyek kajian ilmu Ushul Fiqih adalah penjelasan tentang
metode instinbath dan sistem mempergunakan dalil syara’ (Istidlal)
guna merumuskan hukum tentang perbuatan manusia dari dalil-dalilnya secara
terperinci. Lebih jelasnya ruang lingkup pembahasan Ushul Fiqih meliputi
hal-hal di bawah ini:
a. Pengenalan
terhadap istilah-istilah teknis yang lazim dipakai dalam lalu lintas pembahasan
syariah. Seperti fardlu, sah, fasid, syarat dan lain sebagainya.
b. Dalil-dalil hukum
Islam -baik yang pokok seperti al-Quran ataupun yang ijtihadi seperti mashlahah
mursalah- berikut penetapan rangking kehujjahan masing-masing dalil.
c. Penjelasan tentang
cara/metode “bagaimana menetapkan hukum” dari suatu dalil. Metode yang dimaksud
terdiri atas qaidah (cara berpikir) dalam menarik petunjuk hukum dari nash
(al-Quran dan Hadits) melalui pendekatan tekstual (kebahasaan) di samping
menggunakan pula perangkat-perangkat metode yang lain.
d. Mujtahid, ijtihad,
fatwa, taklid dll.
Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah
Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran
Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah
Syar'iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum
dengan mempergunakan masing-masing dalil itu.
Bertolak dari pengertian ushul fiqih, maka bahasan pokok ushul fiqih itu
tentang:
a. Dalil-dalil atau
sumber hukum syara’
b. Hukum-hukum syara’
yang terkandung dalam dalil itu
c. Kaidah-kaidah
tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dan dalil atau sumber yang
mengandungnya.[4]
Dalam membicarakan sumber hukum dibicarakan pula kemungkinan
terjadinya benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula
tentang orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metode
dalam melahirkan hukum syara’ tersebut. Hal ini memunculkan pembahasan tentang
ijtihad dan mujtahid. Kemudian dibahas mengenai tindakan dan usaha yang dapat
ditempuh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kemungkinan
berijtihad atau pembahasan tentang taklid dan hal-hal lain yang berhubungan
dengannya.
Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu
Ushul Fiqh ini meliputi:
a.
|
Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum
taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab,
syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
|
b.
|
Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum
fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya
atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan
sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
|
c.
|
Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum
'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat
taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan
sebagainya.
|
d.
|
Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini
meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah
terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah,
yang kedua disebut awarid samawiyah.
|
e.
|
Masalah istinbath dan istidlal meliputi
makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka
ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan
sebagainya.
|
f.
|
Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid;
meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan
ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
|
g.
|
Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan
Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus
shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah,
maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
|
h.
|
Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal,
far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul
manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan
masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan
penyelesaiannya.
|
Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushul Fiqh ialah
bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan.
Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqh sangat diperlukan
ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab
dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu
hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu tauhid. Tanpa
dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak akan menemui
sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari kaidahnya.
Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan
pelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqh orang
mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu
orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam
mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang atau apakah ada
kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat
merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari
dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu. Dengan Ushul Fiqh
:
-
|
Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti
perkembangan peradaban umat manusia.
|
-
|
Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat
dihindarkan.
|
-
|
Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai
konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang
mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.
|
-
|
Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para
Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang.
Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu.
Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian
atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya, prosedur
mana yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya.
|
Dengan demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapal
menjadi Mujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi' yang baik, (Muttabi'
ialah orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat
itu). Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu
kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia
yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam segala
bidang. Melihat demikian luasnya ruang lingkup materi Ilmu Ushul Fiqh, tentu
saja tidak semua perguruan/lembaga dapat mempelajarinya secara keseluruhan.sumber
3. Fungsi Ushul Fiqh
Secara singkat fungsi mendasar ilmu ushul fiqh adalah menetapkan suatu
hukum baru harus mempunyai dasar dan harus ada sistem metodenya. Adapun fungsi
Ushul Fiqh secara umum antara lain:
a. Perkembangan zaman
telah menghadirkan setumpuk permasalahan baru yang memerlukan jawaban kepastian
hukum Islam. Untuk memecahkan hal tersebut belum tentu terjangkau oleh rumusan
fiqh yang terhimpun dalam kitab-kitab kuning, oleh karenanya dibutuhkan cara praktis
dalam menggali hukum Islam. Untuk itu mutlak dibutuhkan perangkat
metodologisnya.
b. Untuk melindungi
hukum Islam (protection) dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,
lantaran dalam menetapkan hukum Islam terlepas dari prosedur metodologis teknik
penyimpulan hukum dari dalil-dalilnya.
c. Untuk menganalisa
dan menyeleksi hukum-hukum fiqh yang sudah ada, memetakan formula hukum fiqh
manakah yang boleh berubah oleh karena perubahan zaman dan manakah hukum fiqh
yang tidak boleh berubah.
d. Diharapkan dengan
adanya ilmu ushul fiqh dapat memperkecil gejala pertentangan umat Islam akibat
terjadi ikhtilaf pada masalah furu’iyah. Melalui ilmu ini, terbuka kemungkinan
menetralisir ikhtilaf negatif tersebut.
Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh ialah untuk dapat
menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang bersifat terinci agar
sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali yang ditunjuk oleh
dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami
nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang terkandung didalamnya.[6]
4.
Hubungan
Ushul Fiqh dengan Fiqh
Ushul Fiqh sebagai ilmu, fungsi kerjanya merupakan alat untuk
mendapatkan rumusan hukum fiqh, yang dihasilkan dari dalil-dalil syariat.
Dengan demikian dapat dirumuskan hubungan antara Ushul Fiqh dengan fiqh, antara
lain:
a. Ushul Fiqh ibarat
rantai penghubung antara fiqh dengan sumbernya.
b. Ushul Fiqh
merupakan sistem atau metode untuk mengeluarkan hukum fiqh, agar para pakar
fiqh terhindar dari kesalahan dalam menentukan hukum fiqh. Ushul Fiqh
merupakan sarana untuk pengembangan ilmu fiqh yang telah dirintis oleh ulama
generasi pendahulu. sumber
Ushul Fiqh merupakan timbangan atau ketentuan untuk istinbath
hukum dan objeknya selalu dalil hukum, sementara objek fikihnya selalu
perbuatan mukallaf yang diberi status hukumnya. Walaupun ada titik kesamaan,
yaitu keduanya merujuk pada dalil, namun konsentrasinya berbeda, yaitu ushul
fiqh memandang dalil dari sisi cara penunjukkan atas suatu ketentuan hukum,
sedangkan memandang dalil hanya sebagai rujukan.[8]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalil sebagai pohon yang dapat
melahirkan buah, sedangkan fiqh sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.
5.
Kompleksitas
Fiqh dan Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh
Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu, pada hakikatnya merupakan
pengejawantahan dari pemahaman yang beragam dan hasil ijtihad para ulama yang
memiliki kompetensi yang berbeda. Sehingga munculnya berbagai paham dan aliran
dalam hal-hal furu’iyyah menjadi niscaya adanya. Berbeda dengan zaman Nabi yang
segala macam permasalahn langsung kembali kepada beliau, zaman sekarang dengan
berbagai permasalahan baru yang muncul dan semakin kompleks, menjadikan ilmu
fiqh menjadi sebuah disiplin ilmu yang luas dan beragam. Keragaman ini
sebenarnya tidaklah bermasalah selama bemuara kepada Nash Sharih. Namun pada
kenyataannya terutama di kalangan awam banyak terjadi perbedaan masalah
furu’iyyah yang berujung pada pertentangan bahkan permusuhan. Ini mrupakan
sebuah fenomena yang perlu dicermati lebih mendalam, mengingat permasalahan
perbedaan madzhab menjadi masalah utama yang memiliki potensi besar untuk
memecah belah umat.
Kasus-kasus yang kerap kali terjadi antar ormas-ormas Islam biasanya
terjadi pada hal-hal ibadah furu’iyyah, seperti perbedaan jumlah raka’at
tarawih, qunut, pelaksanaan shalat jum’at dan lain sebagainya yang hampir
semuanya terletak pada tataran praktis dalam beribadah. Bila dirunut akar
permasalahannya maka akan ditemukan bahwa penyebab utamanya adalah budaya
taqlid a’maa yaitu budaya mencontoh guru yang dalam hal ini Kyai atau ustadz
yang memiliki karisma dan wibawa di tengah masyarakat yang setiap ucapannya
menjadi dalil hukum bagi masyarakat awam.
Fiqh pada periode ini bisa dikatakan telah memasuki periode taqlid,
dimana ajaran-ajaran fiqh telah tersusun secara sistematis dalam kitab-kitab
fiqh sesuai dengan aliran berpikir madzhab masing-masing. Dari satu segi hal
ini berdampak positif pada kemudahan umat dalam beribadah karena semua
permasalahan fiqh telah mereka temukan dalam kitab-kitab fiqh yang ditulis para
mujtahid sebelumnya. Namun dari segi lain, terdapat dampak negatifnya yaitu
terhentinya daya ijtihad, karena orang merasa tidak perlu lagi berpikir tentang
hukum, sebab semuanya sudah tersedia jawabannya.
Kegiatan ijtihad pada masa ini terbatas pada usaha pengembangan
pensyarahan dan perincian kitab fiqh dari imam mujtahid yang terdahulu dan
tidak muncul lagi pendapat atau pemikiran baru. Seiring dengan perkembangan
zaman, tuntutan ijtihad sebenarnya tidak pernah berhenti, sehingga kitab-kitab
fiqh yang pada zamannya memiliki aktualitas yang tinggi, menjadi berkurang
aktualitasnya seiring dengan perkembangan zaman yang semakin kompleks.[9]
Ushul fiqh sebagai sebuah metode menjadi jawaban atas berbagai perbedaan
yang mengakibatkan pertentangan di masyarakat. Pada tingkatan atau level
tertentu, pembelajaran ushul fiqh menjadi hal yang penting adanya. Pengetahuan
dan pemahaman ushul fiqh menjadi jalan untuk terbukanya kembali pintu ijtihad.
Namun sebagaimana fiqh, ushul fiqh pun memiliki aliran-aliran karena para ulama
tidak selalu sepakat dalam menetapkan istilah-istilah untuk suatu pengertian
dan dalam menetapkan jalan-jalan yang ditempuh dalam pembahasannya. Dalam hal
ini mereka terbagi menjadi dua aliran, yaitu Aliran Mutakallimin dan Aliran
Hanafiyah.
1. Aliran Mutakallimin
Para ulama dalam aliran ini dalam pembahasannya dengan menggunakan
cara-cara yang digunakan dalam ilmu kalam yakni menetapkan kaidah ditopang
dengan alasan-alasan yang kuat baik naqliy (dengan nash)
maupun ‘aqliy(dengan akal fikiran) tanpa terikat dengan hukum
furu’ yang telah ada dari madzhab manapun, sesuai atau tidak sesuai
kaidah dengan hukum-hukum furu’ tersebut tidak menjadi persoalan. Aliran ini
diikuti oleh para ulama dari golonganMu’tazilah, Malikiyah, dan Syafi’iyah.
2. Aliran Hanafiyah.
Para ulama dalam aliran ini, dalam pembahasannya, berangkat dari
hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam (madzhab) mereka; yakni dalam
menetapkan kaidah selalu berdasarkan kepada hukum-hukum furu ‘ yang diterima
dari imam-imam mereka. Jika terdapat kaidah yang bertentangan dengan
hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam mereka, maka kaidah itu diubah
sedemikian rupa dan disesuaikan dengan hukum-hukum furu’ tersebut. Jadi para
ulama dalam aliran ini selalu menjaga persesuaian antara kaidah dengan hukum
furu’ yang diterima dari imam-imam mereka.[10]
Terlepas dari berbagai aliran dalam ushul fiqh di atas, sebagaimana
fungsi dari ushul fiqh yang telah dipaparkan, dengan ushul fiqh orang akan
memahami fiqh dengan lebih baik sehingga membuka pintu ijtihad atau minimal
seorang muslim akan menjadi muttabi’ bukannya muqallid, yang pada akhirnya
pertentangan dan permusuhan antar umat islam yang berselisih faham dalam hal
furu’iyyah dapat diminimalisir.
6.
Pembelajaran
Fiqh dan Ushul Fiqh
Belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam mmbangun makna dan
pemahaman. Dengan demikian guru perlu memberikan dorongan kepada siswa untuk
menggunakan otoritasnya dalam membangun gagasan. Tanggung jawab belajar
berada pada diri siswa, tetapi guru bertanggung jawab untuk menciptakan
situasi yang mendorong prakarsa, motivasi dan tanggung jawab siswa untuk
belajar sepanjang hayat. Oleh karena itu, dalam mengembangkan kegiatan
pembelajaran guru harus memperhatikan beberapa prinsip kegiatan
pembelajaran.
Pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses interaksi antara
guru dengan siswa, baik interaksi secara langsung maupun secara tidak langsung,
yaitu dengan menggunakan berbagai media pembelajaran. Didasari oleh adanya
perbedaan interaksi tersebut, maka kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan
menggunakan berbagai pola pembelajaran.[11]
Diantara prinsip dan pola kegiatan pembelajaran yang dianggap lebih
relevan pada sebagian materi pembelajaran fiqh adalah belajar dengan melakukan
(learning by doing). Melakukan aktifitas adalah bentuk pernyataan diri
anak. Pada hakikatnya anak belajar sambil melakukan aktifitas. Karena itu,
siswa perlu diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan nyata yang
melibatkan dirinya. Dengan demikian, apa yang diperoleh siswa tidak akan mudah
dilupakan. Pengetahuan tersebut akan tertanam dalam hati sanubari dan pikiran
siswa karena ia belajar secara aktif. Siswa akan memperoleh harga diri dan
kegembiraan kalau diberi kesempatan menyalurkan kemampuan dan melihat hasil
kerjanya.
Dalam pembelajaran fiqh, mengajarkan materi shalat dengan praktek lebih
efektif dan berkesan bagi siswa ketimbang dengan mengharuskan siswa untuk
menghafal kaifiyah shalat. Tetapi, ada hal-hal lain juga yang perlu dihafal
misalnya bacaan shalat. Demikian pula dalam pembelajaran manasik haji, tata
cara pembagian harta warisan, pengurusan jenazah, kompetensi dasarnya akan
tercapai secara efektif apabila ditempuh dengan siswa melakukannya
(mempraktekkannya).
II.
SIMPULAN
Ushul fiqh merupakan khazanah kekayaan ilmu yang secara langsung atau
tidak langsung, turut memperkaya model keagamaan. Pelaksanaan syariat Islam
akan susah seandainya ilmu ini tidak ada, sebab ushul fiqh dianggap sebagai
penuntun fiqih yang merupakan jawaban bagi kehidupan. Ilmu ini dapat menjawab
beberapa masalah yang diajukan, agar dapat memanfaatkan ilmu ini, harus
mengetahui jawaban apa yang disampaikan oleh ilmu ini, yang akan timbul setelah
mengajukan pertanyaan.
Dalam pembelajaran fiqh di sekolah, guru harus dapat memberikan pola dan
metode pembelajaran yang kreatif dan inovatif agar pelajaran fiqh lebih mudah
dipahami oleh peserta didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar