Kamis, 06 Maret 2014

KEMATIAN

Kematian merupakan awal perpindahan dari alam dunia yang kelihatan, yang telah diakrabi dan dikenal oleh manusia, menuju alam ghaib. Alam ghaib akan menjadi nyata dalam kehidupannya yang baru setelah kematiannya. Alam barzakh, adalah alam baru tersebut. Disana, manusia akan menemui berbagai peristiwa menggentarkan yang jauh berbeda dengan alam dunia yang pernah dialaminya.

Saat detik-detik kematian itu manusia akan melihat malaikat, dia akan mendengar kalimat yang sangat menentukan nasibnya dari malaikat yang turun kepadanya atas perintah Allâh Yang Maha Kuasa. Kalimat yang akan dia dengar dari malaikat itu merupakan tanda kenikmatan abadi yang akan dia alami, atau kecelakaan abadi yang akan dia temui.

Jika dia seorang Mukmin, maka kalimat yang dia dengar dari malakul maut adalah :

أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ اخْرُجِي إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ

Wahai nafs (jiwa; ruh; nyawa) yang baik, keluarlah menuju ampunan Allâh dan keridhaan-Nya ! [HR. Ahmad; dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ no: 1672 dan Ahkâmul Janâiz]

Sebaliknya, jika dia seorang yang kafir, maka kalimat yang dia dengar dari malakul maut adalah :

أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْخَبِيثَةُ اخْرُجِي إِلَى سَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَغَضَبٍ

“Wahai nafs (jiwa; ruh; nyawa) yang keji, keluarlah menuju kemurkaan Allâh dan kemarahan-Nya ! [HR. Ahmad; dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ no: 1672 dan Ahkâmul Janâiz]

MANUSIA INGIN MENEBUS KECELAKAAN DENGAN SEMUA HARTANYA
Seandainya pada saat detik-detik kematian itu manusia memiliki seluruh isi dunia ini, atau dia memiliki emas sepenuh langit dan bumi, dia pasti akan mengorbankannya, dia akan menyedekahkannya, agar bisa mendengar kalimat ridha dan ampunan dari Allâh Azza wa Jalla . Karena dengan keridhaan Allâh di saat detik-detik kematian itu, dia akan meraih puncak kebahagiaan yang kekal abadi di sisi Allâh Yang Maha Suci. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَوْ أَنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَمِثْلَهُ مَعَهُ لَافْتَدَوْا بِهِ مِنْ سُوءِ الْعَذَابِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ

Dan sekiranya orang-orang yang zhalim mempunyai apa yang ada di bumi semuanya dan (ada pula) sebanyak itu besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat. Dan jelaslah bagi mereka adzab dari Allâh yang belum pernah mereka perkirakan. [az-Zumar/39:47]

Seluruh harta benda yang dikumpulkan oleh seorang manusia, yang dicarinya dengan susah-payah, kurang tidur malam karena harta, kemudian dia habiskan umurnya untuk menyimpannya; Semua tanaman yang dia tanam di sawah, kebun, atau taman-taman; Semua bangunan yang dia tinggikan, rumah megah dan istana yang dia banggakan; Semua anggota keluarga, anak dan istri, pegawai dan pengikut yang selalu mengelilingi; Semuanya itu akan dipandangi dengan penyesalan, ketakutan, keputus-asaan, dan keluh-kesah, ketika malaikat mendatanginya. Karena dia akan meninggalkan semuanya. Dia tidak akan mendapatkan manfaat sama sekali dari semua harta benda yang telah dia kumpulkan dan dia simpan dengan anggapan harta itu akan mengekalkannya.

Pada detik-detik kematian, hanya satu yang dicari manusia, dia meyakini bahwa padanya terdapat keselamatannya dan kebahagiaannya, yaitu amal shalih. Jika dia telah mempersiapkannya, maka hal itu akan menentramkannya. Jika dia tidak mempersiapkan bekal amal shalih, maka dia akan mengatakan :

يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ﴿٢٧﴾مَا أَغْنَىٰ عَنِّي مَالِيَهْ﴿٢٨﴾هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ

Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku daripadaku. [al-Hâqqah/69:27-29]

TERSINGKAP HAKEKAT KEBENARAN
Orang yang menghadapi kematian itu akan semakin menyesal dan kaget serta merasakan musibah itu semakin berat, jika di dunia dahulu dia mengingkari kehidupan akhirat; Atau dia tertipu dengan segala perbuataannya yang selalu bertentangan dengan agama Allâh; Atau dia orang yang menyukai bid’ah dan khurafat. Semua itu menjauhkannya dari iman yang benar dan jalan yang lurus, yang sesuai dengan kitab Allâh, sunnah Rasul-Nya, dan teladan para sahabatnya.

Orang yang tidak meyakini adanya kehidupan setelah kematian, atau meyakininya tetapi dia berada dalam kekafiran dan kebid’ahan, lalu dia menyangka berada di atas kebenaran dan jalan yang terang, kemudian dia selalu menolak al-Qur’an yang merupakan kitab suci, menolak Sunnah yang merupakan ajaran Nabi, maka kematian yang mendatanginya akan menyingkapkan kebenaran hakiki. Dia akan melihat kenyataan yang berbeda dengan dugaannya. Dia akan dikagetkan dengan kenyataan bahwa seluruh logikanya ternyata keliru dan seluruh perkara yang dia anggap hakekat ternyata palsu. Untuk orang-orang semacam inilah Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا﴿١٠٣﴾الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Katakanlah, "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya ?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. [al-Kahfi/18:103-104]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَوْ أَنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَمِثْلَهُ مَعَهُ لَافْتَدَوْا بِهِ مِنْ سُوءِ الْعَذَابِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ

Dan sekiranya orang-orang yang zhalim mempunyai apa yang ada di bumi semuanya dan (ada pula) sebanyak itu besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat. Dan jelaslah bagi mereka adzab dari Allâh yang belum pernah mereka perkirakan. [az-Zumar/39:47]

NILAI SISA UMUR SEORANG MUKMIN
Sesungguhnya detik-detik kematian merupakan waktu penentu umur seseorang, walaupun dia telah melewati umur panjang. Umur manusia di zaman ini umumnya tidak akan melewati 150 tahun. Maka masa umur manusia dalam khidupan dunia yang sementara ini, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan masa ribuan tahun yang akan dialami dalam kubur. Tidak ada bandingannya dengan waktu 50 ribu tahun di mahsyar. Dan tidak ada bandingannya dengan masa yang kekal abadi dalam surga yang penuh kenikmatan, atau dalam neraka jahannam yang penuh dengan siksaan.

Oleh karena itu seandainya ada seseorang yang bernasib sangat buruk di dunia, semenjak lahir sampai wafatnya, namun dia beriman kepada Allâh Yang Maha Esa, maka dia akan lupa terhadap kesusahannya di dunia ketika merasakan sedikit nikmat di surga.

Atau sebaliknya, seandainya ada seseorang yang bernasib sangat baik di dunia, semenjak lahir sampai wafatnya, namun dia kafir kepada Allâh Yang Maha Esa, maka dia akan lupa terhadap kenikmatan dunianya ketika merasakan sedikit siksa dalam neraka, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ : يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِى النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ فَيَقُولُ لاَ وَاللَّهِ يَا رَبِّ. وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِى الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِى الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ فَيَقُولُ لاَ وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا مَرَّ بِى بُؤُسٌ قَطُّ وَلاَ رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Pada hari kiamat akan didatangkan seseorang yang paling banyak mendapatkan kenikmatan dunia yang termasuk penghuni neraka, lalu dia dicelupkan sekali ke neraka, lalu setelah itu dia ditanya, 'Wahai anak Adam, apakah kau pernah melihat kebaikan meskipun sedikit ? Apa kau pernah merasakan kenikmatan meskipun sedikit ? ' Dia menjawab: 'Tidak, demi Allâh, wahai Rabb.'
Kemudian akan didatangkan orang paling sengsara di dunia yang termasuk penghuni surga, kemudian dia ditempatkan dalam surga sebentar, setelah itu dia ditanya, 'Hai anak Adam, apa kau pernah melihat kesengsaraan meski sedikit ? Apa kau pernah merasa kesusahan meski sedikit ? ' Dia menjawab, 'Tidak, demi Allâh, wahai Rabb, aku tidak pernah merasa sengsara sedikit pun dan aku tidak pernah melihat satu kesusahan pun'." [HR. Muslim]

Dalam masa kehidupan manusia yang pendek di dunia ini akan ditentukan tempat kembali manusia di akhirat nanti. Nasib manusia di akhirat tidak ditentukan dengan umur dunia, semenjak diciptakannya sampai kiamat terjadi, namun ditentukan dalam beberapa tahun saja dari umur dunia. Yaitu dalam umur setiap manusia, bahkan bisa jadi ditentukan dalam beberapa hari, atau beberapa jam, atau beberapa menit saja.

Yaitu ketika manusia itu bertaubat dalam masa hidupnya, dia menyesali perbuatannya, dia memohon ampun kepada Rabbnya, dia beriman dengan ikhlas, dia beramal dengan amal shalih, dia tinggalkan syirik, bid’ah dan maksiat, kemudian meraih ridho Rabbnya di saat detik-detik kematiannya, maka itu akan menghantarkannya menuju kemenangan yang sebenarnya.

Aduhai, alangkah agungnya kemenangan hakiki yang bisa digapai oleh setiap insan.

Aduhai, alangkah agungnya masa depan dalam kebahagian abadi, yang bisa diraih oleh manusia dalam beberapa menit kehidupannya dengan idzin Allâh.

Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bercerita :

أَنَّ عَمْرَو بْنَ أُقَيْشٍ كَانَ لَهُ رِبًا فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَكَرِهَ أَنْ يُسْلِمَ حَتَّى يَأْخُذَهُ فَجَاءَ يَوْمَ أُحُدٍ. فَقَالَ : أَيْنَ بَنُو عَمِّى قَالُوا : بِأُحُدٍ. قَالَ : أَيْنَ فُلاَنٌ قَالُوا : بِأُحُدٍ. قَالَ : أَيْنَ فُلاَنٌ قَالُوا : بِأُحُدٍ. فَلَبِسَ لأْمَتَهُ وَرَكِبَ فَرَسَهُ ثُمَّ تَوَجَّهَ قِبَلَهُمْ فَلَمَّا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ قَالُوا : إِلَيْكَ عَنَّا يَا عَمْرُو. قَالَ : إِنِّى قَدْ آمَنْتُ. فَقَاتَلَ حَتَّى جُرِحَ فَحُمِلَ إِلَى أَهْلِهِ جَرِيحًا فَجَاءَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ لأُخْتِهِ : سَلِيهِ حَمِيَّةً لِقَوْمِكَ أَوْ غَضَبًا لَهُمْ أَمْ غَضَبًا لِلَّهِ فَقَالَ : بَلْ غَضَبًا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ فَمَاتَ. فَدَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَا صَلَّى لِلَّهِ صَلاَةً

Bahwa 'Amr bin Uqaisy dahulu memiliki harta riba pada masa jahiliyah dan ia tidak ingin masuk Islam hingga ia mengambil harta tersebut. Kemudian datang waktu perang Uhud, kemudian ia bertanya, "Dimanakah anak-anak pamanku ?" Orang-orang berkata, 'Di Uhud.' Ia berkata, "Dimanakah Fulan ?' Mereka berkata, 'Di Uhud.' Ia berkata, "Dimanakah Fulan ?" Mereka berkata, 'Di Uhud.' Kemudian ia memakai baju besinya dan menaiki kudanya kemudian ia menuju ke arah mereka. Kemudian tatkala orang-orang Muslim melihatnya mereka berkata; “Menjauhlah engkau dari kami wahai 'Amr!”. Ia berkata, 'Aku telah beriman. Kemudian ia bertempur hingga terluka, kemudian ia dibawa kepada keluarganya dalam keadaan terluka. Lalu Sa'd bin Mu'adz datang kepadanya dan berkata kepada saudarinya; tanyakan kepadanya, apakah (dia ikut berperang-red) karena fanatik terhadap kaumnya atau marah karena mereka atau marah karena Allâh ?' Ia berkata, 'Marah karena Allâh dan rasul-Nya.' Kemudian ia meninggal dan masuk surga sementera ia belum pernah melakukan satu shalatpun untuk Allâh.[HR. Abu Dawud; dihasankan oleh syaikh al-Albani]

Dengan penjelasan ini maka jelas bagi kita semua bahwa detik-detik kematian adalah waktu yang paling berbahaya dan paling penting bagi manusia dalam umurnya. Sebagian Ulama menyatakan bahwa sisa umur seorang Mukmin, tidak ternilai harganya’. Maka selayaknya manusia selalu memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar tetap di atas jalan yang lurus dan dianugerahkan husnul khatimah. Ini adalah peringatan dan peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berifrman :

سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَىٰ﴿١٠﴾وَيَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى﴿١١﴾الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَىٰ﴿١٢﴾ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ

Orang yang takut (kepada Allâh) akan mendapat pelajaran, dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. [al-A’la/87:10-13]

(Disadur dari al-Imân bil Yaumil Akhir, dalam pembahasan Sâ’atul Maut Akh-tharu Lahzhatin fii Umuril Insân; karya Dr. Shalabi; dengan tambahan-tambahan dari rujukan lainnya)

APA YANG BERMANFA'AT BAGI ORANG YANG TELAH MATI
Ibadah-ibadah dan ketaatan-ketaatan yang bermanfaat bagi orang yang telah mati, yang berasal dari usaha mereka sendiri:
1. Shadaqah jariyyah (Sedekah mengalir yang pahalanya sampai kepadanya).
2. Ilmu yang bermanfaat.
3. Anak shalih yang mendoakannya.

Disebutkan di dalam hadits shahih dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

"Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakannya". [HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i]

Dan pada riwayat Ibnu Majah dari Abu Qatadah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ مَا يُخَلِّفُ الرَّجُلُ مِنْ بَعْدِهِ ثَلاَثٌ : وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ وَصَدَقَةٌ تَجْرِي يَبْلُغُهُ أَجْرُهَا وَعِلْمٌ يُعْمَلُ بِهِ مِنْ بَعْدِهِ

"Sebaik-baik apa yang ditinggalkan oleh seseorang setelah kematiannya adalah tiga perkara: anak shalih yang mendo’akannya, shadaqah mengalir yang pahalanya sampai kepadanya, dan ilmu yang diamalkan orang setelah (kematian) nya".

Dan disebutkan pada hadits yang lain riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لاِبْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

"Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan menemuinya setelah kematiannya adalah: ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak shalih yang ditinggalkannya, mush-haf yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk ibnu sabil yang dibangunnya, sungai (air) yang dialirkannya untuk umum, atau shadaqah yang dikeluarkannya dari hartanya diwaktu sehat dan semasa hidupnya, semua ini akan menemuinya setelah dia meninggal dunia".

1. Shadaqah Jariyyah

Perngertian shadaqah jariyyah menurut Madzhab Empat ialah: Suatu pemberian untuk mencari pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ada pula yang mengatakan: Memberikan shadaqah yang tidak wajib, dengan cara menguasakan barang dengan tanpa ganti (gratis). Ada pula yang mengatakan: Harta yang diberikan dengan mengharap pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ada pula yang mengatakan: Harta “wakaf”, sedangkan pengertian wakaf itu sendiri yaitu: Apa-apa yang ditahan di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala .

Dari pengertian-pengertian di atas jelas bahwa shadaqah jariyyah adalah suatu ketaatan yang dilakukan oleh seseorang untuk mencari wajah Allah, sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, agar orang-orang umum bisa memanfaatkannya sepanjang waktu tertentu, sehingga pahalanya mengalir baginya sepanjang barang yang dishadaqahkan itu masih ada.

Di antara contoh shadaqah jariyyah yang telah dilakukan di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah : Kebun kurma yang dishadaqahkan oleh Abu Thalhah (seorang sahabat Nabi) ketika turun firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

لَن تّنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

"Dan tidaklah kamu bisa mendapatkan kebaikan sehingga kamu menginfakkan (shadaqahkan) sebagian apa-apa yang kamu sukai". [Ali-Imran: 92]

Kebun yang dishadaqahkan oleh Bani An-Najjar kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam rangka untuk pembangunan masjid di waktu Nabi datang di kota Madinah.

Sumur “ruumah” yang dibeli oleh sahabat Utsman Radhiyallahu 'anhu dan beliau shadaqahkan pada waktu kaum muslimin kekurangan air.

Tanah/kebun yang dishadaqahkan oleh sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu, yang merupakan harta yang berharga baginya (yang dinamakan tsamgh), beliau menshadaqahkan tanah tersebut, dengan syarat tidak boleh dijual, diberikan atau diwariskan, akan tetapi buahnya (kebun/tanah itu), dishadaqahkan untuk budak, orang-orang miskin, tamu, ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal) serta karib kerabat Rasulullah.

Di antara hadits-hadits yang menyebutkan shadaqah jariyyah, adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Sesungguhnya aku telah mendangar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ الهِّ بَنَى الهُب لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang membangun masjid untuk mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga".

Di dalam riwayat Imam Tirmidzi dari Anas bin Malik: (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda):

مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا صَغِيرًا كَانَ أَوْ كَبِيرًا بَنَى الهُل لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

"Barangsiapa yang membangun masjid, kecil maupun besar, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga".

Pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda):

مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا وَلَوْ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أَوْ أَصْغَرَ, بَنَى الهُْ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

"Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah Subhanahu wa Ta'ala walaupun sebesar sarang burung atau lebih kecil darinya, niscaya Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga".

2. Ilmu Bermanfaat
Sesungguhnya di antara yang bisa memberikan manfaat bagi maytit setelah kematiannya adalah ilmu yang ia tinggalkan, untuk diamalkan atau dimanfaatkan. Sama saja, apakah dia mengajarkan ilmu tersebut kepada seseorang atau dia tinggalkan berupa buku yang orang-orang mempelajarinya setelah kematiannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari hadits Abu Hurairah:

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ

"Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan menyusulnya setelah kematiannya adalah ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan".

Ibnu Majah meriwayatkan dari Muadz bin Anas dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا فَلَهُ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الْعَامِلِ

"Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun".

Al-Bazzar meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha dia berkata : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مُعَلِّمُ الْخَيْرِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ شَيْءٍ حَتَّى الْحِيْتَانُ فِي الْبَحْرِ

"Orang yang mengajarkan kebajikan dimintakan ampunan oleh segala sesuatu, sampai ikan-ikan yang ada di dalam lautan".

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

"Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk (kebajikan), maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun".

3. Anak Shaleh Yang Mendoakan Orang Tuanya.
Anak itu termasuk usaha orang-tua, sehingga amalan-amalan sholeh yang diamalkan si anak, juga akan menjadikan orang-tua mendapatkan pahala amalan tersebut, tanpa mengurangi pahala anak tersebut sedikitpun.

Imam Turmudzi, Imam Nasai dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

ِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ

"Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu makan adalah yang (kamu dapatkan) dari usaha kamu, dan sesungguhnya anak-anakmu itu termasuk usaha kamu".

Hadits (di atas) mengkhususkan anak shaleh dan sudah ma’lum kedekatan anak shaleh dari pada yang lainnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, oleh karena itulah Nabi menyebutnya pada hadits itu. Di mana anak shaleh itu selalu berdzikir dan selalu menjaga hubungan baik kepada kepada Allah. Dan ia pun tidak lupa memanjatkan do’a untuk kedua orang tuanya setelah mereka tiada. Selain itu bahwa anak shaleh yang membiasakan diri di dalam mengerjakan amalan-amalan shaleh sewaktu kedua orang tuanya hidup, yang dia mempelajari amalan-amalan shaleh itu dari keduanya, maka kedua orang tuanya mendapatkan pahala dari amalan-amalan anaknya, tanpa mengurangi pahala si anak tersebut.

Seorang bapak membutuhkan waktu yang panjang untuk membentuk anak yang shaleh. Dia memulainya dengan memilih istri yang shalehah, supaya menjadi ibu bagi anak shaleh tersebut. Kemudian mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan syari’at. Dengan ini dia menjadi anak yang shaleh, walaupun kedua orang tuanya sudah wafat.
Perlu diketahui juga bahwa keshalihan oran-tua, bisa menjadi sarana kebaikan anak, walaupun mereka telah meninggal dunia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَكَانَ أَبُوْهُمَا صَالِحًا

"Dan dahulu kedua orang tuanya adalah orang yang shaleh". [Al-Kahfi: 82]

Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang ke lima, pernah berkata:

مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوْتُ إلاَّ حَفِظَهُ اللهُ فِي عُقْبِهِ وَعُقْبِ عُقْبِهِ

"Tidaklah seorang mukmin meninggal dunia kecuali Allah akan menjaga anaknya dan cucunya”.

Ibnul Munkadir berkata:

إِنَّ اللهَ لَيَحْفَظُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ وَلَدَهُ وَوَلَدَ وَلَدِهِ

"Sesungguhnya Allah akan menjaga anak dan cucu seorang yang shalih”.

4. Bersiaga Di Jalan Allah.
Imam Muslim, Turmudzi dan An-Nasai meriwayatkan dari Salman Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ فِيْهِ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ

"Bersiaga (di jalan Allah) sehari semalam lebih baik daripada puasa dan mendirikan sholat satu bulan, dan apabila (orang yang berjaga tersebut) meninggal dunia maka amalan yang sedang dia kerjakan tersebut (pahalanya terus) mengalir kepadanya, rizkinya terus disampaikan kepadanya dan dia terjaga dari ujian (kubur)".

Abu Dawud dan Turmudzi meriwayatkan dari Fudhalah bin Ubaid Radhiyallahu 'anhu : bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ الْمَيِّتِ يُخْتَمُ عَلَى عَمَلِهِ إِلاَّ الْمُرَابِطَ فَإِنَّهُ يُنْمَي لَهُ عَمَلُهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَيُؤَمَّنُ مِنْ فِتْنَةِ الْقَبْرِ

"Setiap orang yang meninggal dunia akan ditutup semua amalannya kecuali orang-orang yang berjaga-jaga (di perbatasan musuh di jalan Allah), karena pahala amalannya akan dikembangkan baginya sampai hari kiamat, dan dia akan diselamatkan dari fitnah kubur".

Imam Nawawi rahimahullah berkata memberikan komentar terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Ini adalah keutamaan yang nyata bagi orang yang berjaga di jalan Allah, dan pahala amalannya yang tetap mengalir kepadanya setelah ia meninggal dunia. Ini merupakan keutamaan yang khusus bagi orang yang berjaga tersebut, tidak ada seorangpun yang ikut di dalamnya. Di dalam hadits lain (yakni riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi, sebagaimana di atas-red) yang tidak diriwayatkan oleh Muslim dinyatakan dengan jelas:

كُلُّ الْمَيِّتِ يُخْتَمُ عَلَى عَمَلِهِ إِلاَّ الْمُرَابِطَ فَإِنَّهُ يُنْمَي لَهُ عَمَلُهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

"Setiap orang yang meninggal dunia akan ditutup semua amalannya kecuali orang yang berjaga, maka sesungguhnya amalannya terus dikembangkan sampai hari Qiamat".

Dan sabda beliau:

وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ

"rizkinya terus disampaikan kepadanya".

Sesuai dengan Firman Allah Azza wa Jalla yang berbunyi.

وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

"Dan janganlah kamu menganggap orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, akan tetapi ia hidup di sisi Tuhannya dengan diberi rizki". [Ali-‘Imran: 169]

5. Barangsiapa Yang Menggali Kubur Untuk Mengubur Seorang Muslim.
Dari Abu Rafi’ Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَكَتَمَ عَلَيْهِ غُفِرَ لَهُ أَرْبَعِيْنَ مَرَّةً, وَ مَنْ كَفَّنَ مَيِّتًا كَسَاهُ اللهُ مِنَ السُّنْدُسِ وَ إِسْتَبْرَقِ الْجَنَّةِ وَمَنْ حَفَرَ لَمَيِّتٍ قَبْرًا فَأَجَنَّهُ فِيْهِ أُجْرِيَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ كَأَجْرِ مَسْكَنٍ أَسْكَنَهُ إِلَيَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

"Barang siapa yang memandikan jenazah/ mayit dan ia menyembunyikan cacat jenazah tersebut, niscaya dosanya diampuni sebanyak 40 dosa. Dan barang siapa yang mengkafani jenazah/ mayit, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya kain sutra yang halus dan tebal dari sorga. Dan barang siapa yang menggali kuburan untuk jenazah/ mayit, dan dia memasukkannya ke dalam kuburan tersebut, maka dia akan diberi pahala seperti pahala membuatkan rumah, yang jenazah/ mayit itu dia tempatkan (di dalamnya) sampai hari kiamat". [HR. Al-Baihaqi dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai syarat Muslim”, dan Imam Ad-Dzahabi menyetujuinya].

Pada hadits riwayat At-Thabrani dari Abi Rafi’, dia berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَكَتَمَ عَلَيْهِ غَفَرَ اللهُ لَهُ أَرْبَعِيْنَ كَبِيْرَةٍ, وَ مَنْ حَفَرَ لأَخِيْهِ قَبْرًا حَتَّى يُجِنَّهُ فَكَأَنَّمَا أَسْكَنَهُ سَكَنًا حَتَّى يُبْعَثُ

"Barang siapa yang memandikan jenazah dan dia menyembunyikan cacat jenazah tersebut, niscaya Allah mengampuni 40 dosa besar yang ada padanya. Dan barang siapa yang membuat lobang kuburan untuk saudaranya, sampai ia memasukkannya kedalam kuburan itu maka seakan-akan ia membuatkan rumah baginya sampai ia dibangkitkan". [Al-Haitsami berkata : “Diriwayatkan oleh At-Tabrani di dalam kitab (Al Kabir) dan para perawinya, adalah para perawi Shahih (Bukhari]".

6. Apabila Manusia, Hewan Atau Burung Memakan Tanaman Milik Mayit.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, dia berkata :

دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أُمِّ مَعْبَدٍ حَائِطًا فَقَالَ يَا أُمَّ مَعْبَدٍ مَنْ غَرَسَ هَذَا النَّخْلَ أَ مُسْلِمٌ أَمْ كَافِرٌ فَقَالَتْ بَلْ مُسْلِمٌ قَالَ فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

"Nabi memasuki kebun Ummu Ma’bad, kemudian beliau bersabda: “Wahai Ummu Ma’bad, siapakah yang menanam kurma ini, seorang muslim atau seorang kafir?.” Ummu Ma’bad berkata: “Bahkan seorang muslim”. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu dimakan oleh manusia, hewan atau burung kecuali hal itu merupakan shadaqah untuknya sampai hari kiamat".

Pada riwayat ( Imam Muslim) yang lain:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ

"Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, kecuali apa yang dimakan dari tanaman tersebut merupakan shadaqahnya (orang yang menanam). Dan apa yang dicuri dari tananman tersebut merupakan shadaqahnya. Dan apa yang dimakan oleh binatang buas dari tanaman tersebut merupakan shadaqahnya. Dan apa yang dimakan oleh seekor burung dari tanaman tersebut merupakan shadaqahnya. Dan tidaklah dikurangi atau diambil oleh seseorang dari tanaman tersebut kecuali merupakan shadaqahnya".

Imam Nawawi rahimahullah berkata mengomentari hadits di atas: “Di dalam hadits ini menunjukkan keutamaan menanam dan mengolah tanah, dan bahwa pahala orang yang menanam tanaman itu mengalir terus selagi yang ditanam atau yang berasal darinya itu masih ada sampai hari kiamat”.

Hal ini berbeda dengan shadaqah jariyyah, yaitu bahwa tanaman itu tidak dimaksudkan (diniatkan) sebagai shadaqah jariyyah, akan tetapi tanaman yang dimakan dari tanaman tersebut (menjadi shadaqah jariyah) tanpa keinginan dari pemiliknya atau ahli warisnya.

7. Apabila Seseorang Melakukan Sunnah (Jalan/Cara/Metode/Kebiasaan) Yang Baik Sebelum Meninggal Dunia.
Apabila seorang muslim mendapatkan pahala dari suatu amalan yang dia amalkan, maka orang yang telah mengajarinya amalan tersebut juga mendapatkan pahala yang serupa, dengan tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkan sedikitpun. Dan bagi guru pertamanya, yaitu Al-Mush-thafa (Muhammad) Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapatkan seluruh pahala tersebut.

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Juhaifah Radhiyallahu 'anhu bahwasannya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ وَمِثْلُ أُجُورِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهُ وَمِثْلُ أَوْزَارِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا

"Barang siapa yang melakukan sunnah (jalan/cara/metode/kebiasaan) yang baik, kemudian diamalkan (oleh orang-orang lain) setelahnya, maka dia mendapatkan pahala hal tersebut dan seperti pahala mereka (orang-orang yang mengikuti), dengan tidak mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa melakukan sunnah (jalan/cara/metode/kebiasaan) yang jelek, kemudian diamalkan (oleh orang-orang lain) setelahnya, maka dia mendapatkan dosa hal tersebut dan seperti dosa mereka (orang-orang yang mengikuti), dengan tidak mengurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka".
Imam Bukhari dan Imam Muslim juga meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا لأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ
"Tidaklah ada satu jiwa yang dibunuh secara zhalim, kecuali anak Adam yang pertama menanggung sebagian dari darahnya, karena dia adalah orang yang pertama kali melakukan sunnah (jalan/cara/metode/kebiasaan) pembunuhan."

Dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al-Anshori Radhiyallahu 'anhu, dia berkata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

"Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala pelakunya".

Dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

"Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang-orang yang mengikutinya, tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun"

Imam Nawawi berkata: “Dua hadits ini nyata menganjuran disukainya melakukan sunnah perkara-perkara yang baik dan larangan melakukan sunnah perkara-perkara yang buruk. Dan bahwa orang yang melakukan sunnah yang baik, dia akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang-orang yang melakukan perbuatannya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa melakukan sunnah yang buruk, dia akan mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang-orang yang melakukan perbuatannya sampai hari kiamat. Dan bahwasannya orang yang menyeru kepada petunjuk, ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya. Dan begitu juga orang yang menyeru kepada kesesatan, dia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya. Sama saja, apakah petunjuk (kebaikan) atau kesesatan (kejelekan) tersebut dia sendiri yang melakukan pertama kali atau sudah ada yang melakukannya sebelumnya. Dan sama saja, apakah hal itu berbentuk: mengajarkan ilmu, ibadah, sopan-santun atau lainnya. Dan sabda Nabi n :
فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ
"Kemudian diamalkan (oleh orang-orang lain) setelahnya".
artinya bahwa ia telah melakukan sunnah tersebut, kemudian sama saja apakah amalan itu diamalkan semasa ia hidup atau setelah ia meninggal.
Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar