Kamis, 06 Maret 2014

ADAB ADAB DI HARI JUM'AT

Orang yang bertakwa adalah orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan berbagai kebaikan, baik terkait dengan dirinya maupun orang lain. Termasuk kebaikan yang muncul dari ketakwaan adalah amalan yang mengagungkan syiar-syiar Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana firman-Nya,
ذَالِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَآءِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ۝
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (al-Hajj: 32)
Yang perlu diperhatikan, mengagungkan syiar-syiar Islam harus dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, amalan-amalan ini termasuk ibadah yang agung, yang tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wata’ala selain dengan dua syarat tersebut. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَآ اُمِرُوْآ اِلَّا لِيَعْبُدُ اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh selain untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (al-Bayyinah: 5)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa melakukan sebuah amalan yang tidak ada perintah dari kami padanya, amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)
Mengagungkan syiar-syiar Allah Subhanahu wata’ala bukan dengan cara-cara yang mengandung syirik, bid’ah, dan mungkar, seperti yang dilakukan oleh ahlul bid’ah dan mayoritas orang-orang jahil. Mereka ingin mengagungkan syiar-syiar Islam, namun dengan cara-cara yang mungkar. Na’udzubillah min dzalik. Allah Subhanahu wata’ala dengan keadilan dan hikmah-Nya yang sempurna menjadikan masjid-masjid dan hari Jumat sebagai bagian dari syiar-syiar yang mulia. Masjid adalah markas dakwah dan ibadah, sedangkan hari Jumat adalah hari raya kaum muslimin setiap pekan, dengan berbagai ibadah dan keutamaan-keutamaan yang khusus. Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan kemuliaan masjid di dalam kitab-Nya,
فِى بُيُوْتٍ اَذِنَ اللهُ اَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيْهَا السْمُهُ ۙ يُسَبِّحُ لَهُ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ۝ رِجَالٌ لَاتُلْهِيْهِمْ تِجَا رَةٌ بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَاِقَامِ الصَّلٰوْةِ وَاِتَآءِ الزَّكٰوةِ ۙ يَخَافُوْنَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيْهِ الْقُلُوْبُ وَالْاَبْصَارُ۝
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jualbeli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan(dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.” (an-Nur : 36-37)

Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,
مَاكَانَ لِلْمُشْرِكِيْنَ اَنْ يَعْمُرُوْا مَسَاجِدَاللهِ شَاهِدِيْنَ عَلٰى اَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ ۗ اُوْلٰئِكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ ۚ وَفِى النَّارِ هُمْ خَالِدُوْنَ۝اِنَّمَا يَعْمُرُمَسَاجِدَاللهِ مَنْ اٰمَنَ بِااللهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَقامَ الصَّلَاةَ وَاٰتى الزَّكٰوةَ وَلَمْ يَخْشَ اِلَّا اللهَ ۗ فَعَسٰى اُولٰئِكَ اَنْ يَكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ۝
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedangkan mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (at-Taubah: 17-18)
Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman tentang ibadah yang khusus pada hari Jumat,
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ ذٰالِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ اِنْكُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ۝
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Hal itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”( al-Jumu’ah : 9 )
Adapun salah satu dalil yang menunjukkan bahwa hari Jumat adalah hari raya pekanan kaum muslimin adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَضَلَّ اللهُ عَنِ الْجُمُعَةِ مَنْ كَانَ قَبْلَنَا، فَكَانَ لِلْيَهُودِ يَوْمُ السَّبْتِ ، وَكَانَ لِلنَّصَارَ ى يَوْمُ الْأَحَدِ، فَجَاءَ اللهُ بِنَا فَهَدَانَا اللهُ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ
“Allah Subhanahu wata’ala menjadikan umat-umat sebelum kita tidak mengetahui keutamaan hari Jumat. Orang-orang Yahudi menjadikan hari raya pekanan pada hari Sabtu, sedangkan orang-orang Nasrani mendapatkan hari raya pekanan pada hari Ahad. Kemudian Allah menunjuki kita untuk memilih hari Jumat (sebagai hari raya pekanan).” (HR. Muslim)
Kami akan menjelaskan beberapa hal terkait dengan tata cara mengagungkan masjid dan hari Jumat sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
1. Mengagungkan dan memakmurkan masjid dengan membersihkannya dari berbagai kotoran dan hal-hal yang berbau tidak sedap, memberi pengharum ruangan setiap hari, terkhusus hari Jumat
a. Disunnahkan menyapu dan membersihkan masjid dari benda-benda najis dan menjijikkan, seperti kencing, kotoran manusia, ludah, ingus, dahak, dan lain-lain. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh beberapa hadits berikut.
• Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللهِ صل الله عليه وسلم فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ فَقَالُوا: مَاتَ. قَالَ: أَفَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي؟ قَالَ: فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ. فَقَالَ: دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ. فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ: إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَ تَالِي عَلَيْهِمْ
“Seorang wanita hitam -atau seorang pemuda- yang biasa membersihkan (menyapu) masjid meninggal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam merasa kehilangan sehingga bertanya tentangnya. Mereka menjawab, “Dia sudah meninggal.” Beliau berkata,“Mengapa kalian tidak memberitahukannya kepadaku?” Seakan-akan mereka menganggap kecil urusannya. Beliau berkata, “Tunjukkanlah kuburannya kepadaku!” Merekapun menunjukkan kuburannya lantas beliau menshalatkannya. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya kuburan-kuburan ini telah dipenuhi oleh kegelapan bagi para penghuninya, dan sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala meneranginya dengan sebab shalatku (ini) atas mereka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaikh bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Termasuk faedah hadits ini adalah bolehnya seorang wanita mengurusi kebersihan masjid dan hal ini tidak terbatas bagi kaum laki-laki saja. Bahkan, siapa saja yang mengharapkan pahala dengan membersihkan masjid, dia akan mendapatkannya. Sama saja, wanita itu sendiri yang membersihkannya atau dia menyuruh orang lain dan dia membayar upahnya.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/29)
• Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صل الله عليه وسلم رَأَى فِي جِدَارِ الْقِبْلَةِ مُخَاطًا أَوْ بُصَاقًا أَوْ نُخَامَةً فَحَكَّهُ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat ingus, ludah, atau dahak menempel ditembok masjid sebelah kiblat, maka beliau mengeriknya (membersihkannya).” (Muttafaqun ‘alaih)
• Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا
“Meludah di masjid adalah sebuah kesalahan dan penghapusnya adalah menimbunnya (membersihkannya).” (Muttafaqun alaih)
• Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
نَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَ الْقَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّ ةَالِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya, masjid ini tidak dibenarkan padanya air kencing dan kotoran, tetapi masjid-masjid itu hanyalah untuk dzikrullah, shalat, dan membaca al-Qur’an.” (HR. Muslim)
b. Disunnahkan memberi wangi-wangian atau pengharum ruangan
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Disunnahkan member pengharum di dalam masjid karena Sa’id bin Manshur menyebutkan dari Nu’aim bin Abdillah al-Mujmir bahwa ‘Umar bin al-Khaththab menyuruh memberi pengharum masjid setiap hari Jumat ketika masuk siang hari.” (Zadul Ma’ad, 1/382)
2. Adab-adab sebelum dan ketika berangkat ke masjid
a. Mandi, bersiwak (menggosok gigi), dan memakai minyak wangi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَأَنْ يَسْتَنَّ وَأَنْ يَمَسَّ طِيبًا إِنْ وَجَدَ
“Mandi pada hari Jum’at hukumnya wajib bagi tiap orang yang sudah baligh, bersiwak (menggosok gigi), dan memakai minyak wangi apabila dia mendapatkannya.”
Oleh karena itulah, seorang yang hendak pergi ke masjid tidak boleh memakan dan meminum segala sesuatu yang berbau tidak sedap karena akan mengganggu orang lain, seperti bawang putih, bawang merah, daun bawang, dan lebih-lebih rokok. Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَ فَلْيَعْتَزِلْنَا-أَوْ قَالَ:فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا
“Barangsiapa yang makan bawang putih atau bawang merah, hendaknya dia menjauhi kami atau menjauhi masjid kami.” (Muttafaqun alaih)
Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah pada hari Jumat dan berkata di dalam khutbahnya,
ثُمَّ إِنَّكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ أَرَاهُمَا إِ خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صل الله عليه وسلم إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنَ الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ أَكَلَهُمَا فَلْيُمِتْهُمَا طَبْخًا
“Selanjutnya, kalian, wahai manusia, sungguh telah memakan dua buah tanaman yang tidaklah tampak olehku selain busuk (baunya), yaitu bawang merah dan bawang putih. Sungguh, aku melihat ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendapati bau busuk keduanya dari seseorang di dalam masjid maka beliau memerintahkan agar orang itu dikeluarkan dari masjid hingga ke Baqi’. Oleh karena itu, barangsiapa ingin memakan keduanya, hendaknya ia menghilangkan bau busuknya dengan memasaknya terlebih dahulu.” (HR. Muslim)
Adapun seorang muslimah yang ingin menghadiri shalat Jumat atau shalat berjamaah bersama kaum muslimin, tidak boleh memakai minyak wangi yang menyebabkan orang lain mencium bau wangi darinya sehingga akan menimbulkan godaan. Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَ تَمَسَّ طِيبًا
“Apabila salah seorang diantara kalian para wanita ikut shalat berjamaah di masjid, janganlah memakai minyak wangi.” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengancam seorang wanita yang memakai wangi lalu melewati kaum laki-laki agar mereka mencium bau wanginya dalam sabdanya,
إِذَا اسْتَعْطَرَتْ الْمَرْأَةُ فَمَرَّتْ عَلَى الْقَوْمِ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Apabila seorang wanita memakai minyak wangi lalu dia melewati kaum laki-laki agar mereka mencium bau wanginya, dia adalah seorang pezina.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasai)
b. Dianjurkan memakai pakaian bersih yang bagus dan syar’i yang dimilikinya
Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى يَأْتِيَ الْمَسْجِدَ فَيَرْكَعَ إِنْ بَدَا لَهُ وَلَمْ يُؤْذِ أَحَدًا ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يُصَلِّيَ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى
“Barangsiapa mandi pada hari Jumat, memakai minyak wangi (apabila dia memilikinya), memakai pakaian (syar’i) yang paling bagus, kemudian keluar menuju ke masjid, lantas dia shalat dan tidak mengganggu orang lain, kemudian diam (mendengar khutbah) apabila imam berkhutbah sampai dia shalat, hal-hal itu menjadi penghapus dosa-dosanya antara Jumat tersebut dan Jumat berikutnya.” (HR. Ahmad, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani)
c. Berdoa ketika keluar dari rumah menuju masjid
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar (dari rumahnya) untuk shalat dan berdoa,
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا ، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا ، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللَّهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا
“Ya Allah, jadikanlah cahaya di dalam hatiku, jadikanlah cahaya di lisanku, jadikanlah cahaya dibelakangku, jadikanlah cahaya di depanku, jadikanlah cahaya dari atasku, dan jadikanlah cahaya dari bawahku. Ya Allah, berilah aku cahaya.” (HR. Muslim)
d. Berpagi-pagi berangkat, lebih baik dengan berjalan kaki dan tenang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَ ئَالِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
“Barangsiapa mandi sebagaimana mandi junub pada hari Jumat kemudian dia berangkat (pada waktu pertama), seakan-akan dia telah berkurban seekor unta. Barangsiapa datang di masjid pada waktu kedua, seakan-akan dia telah berkurban seekor sapi. Barang siapa datang pada waktu ketiga, seakan-akan dia telah berkurban dengan seekor domba yang bertanduk. Barang siapa datang pada waktu keempat, seakan-akan dia telah berkurban seekor ayam. Barangsiapa datang pada waktu kelima, seakan-akan dia telah berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar, para malaikat menutup (melipat) lembaran-lembaran catatannya lalu (para malaikat) mendengarkan khutbah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Suri teladan kita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, telah menjelaskan keutamaan berjalan kaki tatkala pergi ke masjid dengan tenang dan tidak tergesa-gesa dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barangsiapa bersuci dirumahnya kemudian berjalan menuju ke salah satu masjid Allah Subhanahu wata’ala untuk menunaikan salah satu kewajiban (shalat) yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wata’ala (atasnya), pada setiap dua langkah kakinya, satu langkah akan menggugurkan satu dosa dan satu langkah yang lain akan mengangkat derajat.” (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّ ةَالِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Apabila kalian mendengar iqamah, berjalanlah menuju shalat dan wajib atas kalian tenang dan tidak mempercepat jalan. Apa yang kalian dapatkan, shalatlah (bersama imam), sedangkan apa yang kalian tertinggal darinya, sempurnakanlah (setelah imam salam).” (Muttafaqun ‘alaih)
Apabila seorang muslim pergi ke masjid dengan kendaraan, tetap wajib baginya tenang dan tidak tergesa-gesa dalam perjalanan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ، فَإِنَّ الْبِرَّ لَيْسَ باِلْإيِضَاعِ
“Wahai sekalian umat manusia, wajib atas kalian untuk tenang karena kebaikan itu bukan dengan tergesa-gesa.” (HR. al-Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
3. Adab-Adab di Masjid
a. Doa ketika masuk dan keluar masjid
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ؛ وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
“Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid maka hendaknya dia berdoa,
اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
“Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu”. Apabila dia keluar hendaknya dia berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon keutamaan dari-Mu’.” (HR. Muslim)
Ketika masuk, dahulukan kaki kanan dan tatkala keluar, dahulukan kaki kiri. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam senang mendahulukan sebelah kanan dalam hal memakai sandal, bersisir, bersuci, dan pada seluruh urusannya.” (Muttafaqun‘alaih)
b. Berusaha mencari tempat di shaf yang paling depan dan dekat dengan imam tanpa memisahkan dua orang yang sedang duduk berdampingan dan tidak melangkahi pundak-pundak jamaah yang telah duduk.
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
أَ تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَ ئَالِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَ ئَالِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟ قَالَ : يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ
“Mengapa kalian tidak bershaf sebagaimana para malaikat bershaf disisi Rabbnya?” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara malaikat bershaf disisi Rabbnya?” Beliau menjawab,“Mereka menyempurnakan shaf-shaf di depan dan merapatkannya.” (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memotivasi umatnya untuk berlomba-lomba mencari shaf yang terdepan dalam sabdanya,
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ سَالْتَهَمُوا
“Seandainya umat manusia mengetahui keutamaan (menjawab) panggilan azan dan keutamaan shaf terdepan dan mereka tidak bisa mendapatkannya selain dengan berundi, sungguh mereka akan berundi (untuk mendapatkannya).” (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya tentang cara mengatur shaf dalam sabdanya,
أَتِمُّوا الصَّفَّ الْمُقَدَّمَ ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ، فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ
“Sempurnakanlah shaf yang depan kemudian shaf yang berikutnya (di belakangnya). Adapun shaf yang masih kurang hendaknya di akhir .”(HR. Abu Dawud dan an-Nasai dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memisahkan dua orang yang duduk berdampingan, baik dengan cara duduk di antara keduanya maupun mengusir salah satunya lantas menduduki tempat duduknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ
“Kemudian dia tanpa memisahkan dua orang yang duduk berdampingan.” (HR. al-Bukhari dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu)
Larangan di atas dikecualikan bagi orang yang mendapatkan izin dari keduanya sebagaimana dalam hadits,
يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَ اثْنَيْنِ إِ بِإِذْنِهِمَا
“Tidak halal bagi seorangpun memisahkan dua orang (yang duduk berdampingan) selain dengan izin dari keduanya.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Sebaik-baik pembimbing umat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, melarang seorang muslim mengusir saudaranya dari tempat duduknya lantas mendudukinya. Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُقَامَ الرَّجُلُ مِنْ مَجْلِسِهِ وَيَجْلِسَ فِيهِ آخَرُ وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا وَتَوَسَّعُوا
“Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang diusir dari tempat duduknya lantas orang lain mendudukinya. Akan tetapi, (yang boleh dilakukan) mereka bergeser dan berlapang-lapang (supaya orang lain bisa masuk dan duduk).” (Muttafaqun ‘alaih)
Apabila seseorang berdiri dan meninggalkan tempat duduknya karena kebutuhannya kemudian kembali, dia paling berhak atas tempat duduknya semula, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ
“Apabila salah seorang diantara kalian berdiri dari tempat duduknya lantas kembali, dia paling berhak atasnya.” (HR. Muslim)
Termasuk adab-adab di dalam masjid, tatkala seseorang berusaha mendapatkan shaf awal (depan), ia tidak boleh melangkahi punggung-punggung jamaah yang sedang duduk. Hal ini diterangkan oleh hadits Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu,
جَاءَ رَجُلٌ يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالنَّبِيُّ صل الله عليه وسلم يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم : اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ وَآنَيْتَ
“Seorang laki-laki datang pada hari Jumat lalu melangkahi punggung-punggung jamaah yang sedang duduk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda,‘Duduklah! Sungguh engkau telah mengganggu (menyakiti) dan mengakhirkan (jamaah).” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i, asy-Syaikh al-Albani menyatakannya sahih dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Syaikhul Islam menjelaskan, seseorang tidak boleh mengisi shaf-shaf di belakang padahal shaf di depan masih longgar. Demikian pula, tidak boleh membuat shaf di jalan-jalan dan toko-toko padahal di dalam masjid masih longgar. Barang siapa melakukan perbuatan seperti itu, dia berhak mendapatkan hukuman. Orang-orang yang datang setelahnya boleh melangkahinya dan masuk menyempurnakan shaf-shaf yang di depan karena hal ini tidak dilarang baginya.
Hal ini sebagaimana tidak bolehnya seseorang meletakkan tempat duduknya terlebih dahulu (misal: sajadah) di masjid namun dia berangkat terlambat (demi mengaveling tempat duduk di shaf awal) sehingga orang lain tidak berhak mendudukinya. Justru tempat duduknya itu (harus dihilangkan), dan boleh dipakai (oleh orang lain) untuk shalat menurut pendapat yang benar.
Apabila masjid telah penuh dengan shaf, mereka boleh membuat shaf di luar masjid. Apabila shaf-shaf itu bersambung dengan masjid, walaupun di jalan-jalan dan di pasar-pasar, shalat Jumatnya sah. Adapun apabila mereka membuat shaf dalam keadaan ada jarak (jalan) yang memisahkan shaf-shaf mereka dengan shaf-shaf yang ada di masjid, shalatnya tidak sah berdasarkan pendapat yang paling jelas di antara dua pendapat para ulama. (al-Kubra, 1/137)
c. Shalat sunnah tahiyatul masjid walaupun imam telah berkhutbah
Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid, hendaknya dia shalat dua rakaat sebelum duduk.” (Muttafaqun ‘alaih)
Tatkala imam sudah berkhutbah, hendaknya shalat tahiyatul masjid dikerjakan dengan ringan, sebagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
“Apabila salah seorang diantara kalian datang dan imam sedang berkhutbah, hendaknya dia shalat dua rakaat dan mengerjakannya dengan ringan.” (Muttafaqun ‘alaih)
d. Duduk mendengarkan khutbah dan menghadap kepada khatib
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam kitab Shahih-nya Bab “Mendengarkan Khutbah”. Beliau berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila hari Jumat telah tiba, para malaikat berdiri di depan pintu untuk menulis orang-orang yang datang, satu demi satu. Permisalan orang yang berpagi-pagi (berangkat ke masjid) seperti orang yang berkurban seekor unta, kemudian seperti orang yang berkurban seekor sapi, kemudian seekor domba, kemudian seekor ayam, kemudian seekor telur. Apabila imam telah keluar mereka (para malaikat) menutup lembaran-lembaran catatannya dan mendengarkan khutbah.” (HR. al-Bukhari, 929)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan tentang wajibnya seseorang diam mendengarkan khutbah dalam sabdanya,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Apabila engkau berkata kepada temanmu pada hari Jumat,‘Diam, dengarkanlah (khutbah),’ padahal imam sedang berkhutbah, itu berarti engkau telah berbuat sia-sia.” (Mutttafaqun ‘alaih)
Demikian pula disunnahkan bagi jamaah untuk menghadap kepada imam tatkala dia berkhutbah, sebagaimana perkataan al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya “Bab Imam menghadap kaum (hadirin) dan kaum itu menghadap imam tatkala berkhutbah”. Beliau berdalil dengan hadits Abu Sa’id al-Khudri,
أَنَّ النَّبِيَّ صل الله عليه وسلم جَلَسَ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى الْمِنْبَر وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ
“Pada suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di atas mimbar1 dan kami pun duduk di sekelilingnya.”
e. Apabila mengantuk, hendaknya ia berpindah (bergeser) dari tempat duduknya selama tidak mengganggu orang lain.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِي مَجْلِسِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ مِنْهُ إِلَى غَيْرِهِ
“Apabila salah seorang diantara kalian mengantuk di tempat duduknya, hendaknya dia pindah ke tempat lain.” (HR. Ahmad, AbuDawud, dan at-Tirmidzi dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)
f. Boleh memakai hibwah2 (melakukan ihtiba) pada hari Jumat ketika mendengarkan khutbah imam karena hadits-hadits yang melarangnya dhaif.
Banyak ulama salafus shalih yang memakainya, selama tidak menyebabkan auratnya tersingkap dan mengantuk.
Al-Imam Abu Dawud rahimahullah berkata, “Ibnu Umar memakai hibwah ketika imam berkhutbah, demikian juga Anas bin Malik, Syuraih, Sha’sha’ah bin Shuhan, Sa’id bin al-Musayib, Ibrahim an-Nakha’i, Makhul, dan Ismail bin Muhammad bin Sa’d.”
Beliau berkata, “Tidak ada yang sampai kepadaku berita dari seorang salaf pun yang membencinya (hibwah), selain Ubadah bin Nusaiya.” (Sunan Abu Dawud, no. 191)
Al-Iraqi rahimahullah berkata, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa hibwah tidak makruh. Adapun tentang hadits-hadits dalam hal ini, mereka menjawab bahwa seluruh hadits tersebut dhaif.” (Nailul Authar, 2/299)
Kalaupun dianggap semuanya sahih, larangan itu dimaksudkan agar seseorang tidak mulai memasang hibwah ketika imam sudah berdiri untuk berkhutbah, sampai ia menyelesaikan khutbahnya. (Syarh Musykil al-Atsar, 7/344-345, -ed.)
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala senantiasa melimpahkan hidayah taufik kepada kita. semua untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya, baik dalam ilmu maupun amal, baik secara lahir maupun batin.
Amin.
—————————————————————-
1. Mimbar di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berupa tiga anak tangga sehingga bisa diduduki. Berbeda halnya dengan mimbar yang ada di zaman sekarang pada umumnya. (-red.)
2. Al-hibwah yaitu seorang mengikat/mendekatkan kedua lututnya ke perut dengan tali atau pakaiannya, lalu mendekatkan keduanya ke punggungnya. Terkadang, hal ini dilakukan dengan tangan sebagai pengganti tali/pakaian. (an-Nihayah li Ibni Atsir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar