SEMANGAT PARA ULAMAA' DALAM MENUNTUT 'ILMU
Abu Darda mengatakan: “Carilah ilmu! Jikalau kalian bukan pencari ilmu, cintailah ahli ilmu! Jika kalian tidak bisa mencintai ahli ilmu, jangan kalian membenci mereka!” (Kitab az-Zuhd, karya Imam Ahmad hal. 200)
Semua dari kita tentu sangat membutuhkan 'ilmu, bahkan telah banyak dicontohkan oleh para ulama' ahlussunnah betapa semangatnya mereka semua menuntut 'ilmu syar'i, padahal mereka adalah ulamaa' yang memiliki 'ilmu yang luas, akan tetapi tidak malu untuk tetap terus belajar dan berguru pada ulama' yang lainya. Subhanallah..begitu tawadhu'nya para ulama' tersebut, bagaimana di zaman kita ini??
Betapa banyak manusia yang ingin disebut sebagai ulama' akan tetapi banyak yang tidak memiliki sifat sifat sebagaimana para ulama' yang sebenarnya.
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang sombong dan merasa malu untuk belajar, berpangku tangan, bermalas-malasan dan lalai dari mempelajari ilmu agama. Semoga juga kita bukan orang-orang yang belajar agama ala kadarnya dan seadanya, padahal ilmu agama ini begitu penting lebih penting dari makan dan minum. Semoga Allah Azza wa Jalla menghindarkan kita dari sifat sifat tersebut.
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Manusia lebih membutuhkan ilmu agama daripada roti dan air minum. Karena manusia butuh kepada ilmu agama setiap waktu, sedangkan mereka membutuhkan roti dan air hanya sekali atau dua kali dalam sehari” (Thabaqat Al Hanabilah, 1/390)
Kita perlu bercermin kepada para ulama salaf, yang telah memberi contoh terbaik dan teladan yang agung tentang bagaimana bersemangat dalam menuntut ilmu agama, meraihnya serta rindu kepadanya. Marilah wahai saudaraku tercinta, kita simak bagaimana mereka menuntut ilmu dan renungkanlah dimana kita dibanding mereka?
Semangat Mendatangi Majelis Ilmu
Syaikh Abdullah bin Hamud Az Zubaidi belajar kepada Syaikh Abu Ali Al Qaali. Abu Ali memiliki kandang ternak di samping rumahnya. Beliau mengikat tunggangannya di sana. Suatu ketika, murid beliau, Abdullah bin Hamud Az Zubaidi, tidur di kandang ternaknya agar bisa mendahului murid-murid yang lain menjumpai sang guru sebelum mereka datang. Agar bisa mengajukan pertanyaan sebanyak mungkin sebelum orang berdatangan. Allah mentakdirkan Abu Ali keluar dari rumahnya sebelum terbit fajar. Az Zubaidi mengetahui hal tersebut dan langsung berdiri mengikutinya di kegelapan malam. Merasa dirinya dibuntuti oleh seseorang dan khawatir kalau itu seorang pencuri yang ingin mencelakai dirinya, Abu Ali berteriak, “celaka, siapa anda?”. Az Zubaidi berkata, “aku muridmu, Az Zubaidi”. Abu Ali berkata, “sejak kapan anda membuntuti saya? Demi Allah tidak ada di muka bumi ini orang yang lebih tahu tentang ilmu Nahwu selain anda, maka pergilah tinggalkan saya” (Inaabatur Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/119).
Ibnu Jandal Al Qurthubi berkata, saya pernah belajar pada Ibnu Mujahid. Suatu hari saya mendatanginya sebelum fajar agar saya bisa duduk lebih dekat dengannya. Ketika saya sampai di gerbang pintu yang menghubungkan ke majelisnya, saya dapati pintu itu tertutup dan saya kesulitan membukanya. Saya berkata dalam hati, “Subhaanallah, saya sudah datang sepagi ini tapi tetap saja tidak bisa duduk di dekatnya?”. Kemudian saya melihat sebuah terowongan di samping rumahnya. Saya membuka dan masuk ke dalamnya. (Itu adalah sebuah terowongan di dalam tanah, saya masuk agar bisa sampai ke ujung terowongan hingga keluar darinya menuju ke majelis ilmu). Ketika sampai di pertengahan terowongan yang semakin menyempit, saya tidak bisa keluar ataupun kembali. Maka saya mencoba melebarkan terowongan selebar-lebarnya agar bisa keluar. Pakaian saya terkoyak, dinding terowongan membekas di tubuh saya, dan sebagian daging badan saya terkelupas. Allah menolong saya untuk bisa keluar darinya, mendapatkan majelis Syaikh dan menghadirinya. Sementara saya dalam keadaan yang sangat memalukan seperti itu (Inaabatur Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/363 dengan saduran).
Semangat Belajar Dalam Keterbatasan
Imam Asy Syafi’i berkata, “saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid). Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya mengajari saya. Saya mendengar hadits atau pelajaran dari sang pengajar, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya mengambilnya dan menulis di atasnya. Apabila sudah penuh tulisannya, saya menaruhnya di dalam botol yang sudah tua” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/98).
Salim Ar Razy menceritakan bahwa Syaikh Hamid Al Isfirayaini pada awalnya adalah seorang penjaga (satpam) di sebuah rumah. Beliau belajar ilmu dengan cahaya lampu di tempat jaganya karena terlalu fakir dan tidak mampu membeli minyak tanah untuk lampunya. Beliau makan dari gajinya sebagai penjaga (Thabaqatus Syafi’iyah Al Kubra, Tajuddin As Subki, 4/61).
Semangat Mencari Ilmu Walaupun Harus Melakukan Perjalanan Jauh
Abu Ad Darda radhiallahu’ahu mengatakan. “seandainya saya mendapatkan satu ayat dari Al Qur’an yang tidak saya pahami dan tidak ada seorang pun yang bisa mengajarkannya kecuali orang yang berada di Barkul Ghamad (yang jaraknya 5 malam perjalanan dari Mekkah), niscaya aku akan menjumpainya”. Sa’id bin Al Musayyab juga mengatakan, “saya terbiasa melakukan rihlah berhari-hari untuk mendapatkan satu hadits” (Al Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir, 9/100).
Ibnul Jauzi menceritakan, “Imam Ahmad bin Hambal sudah mengelilingi dunia sebanyak 2 kali hingga ia bisa menulis kitab Al Musnad” (Al Jarh Wat Ta’dil, Ibnu Abi Hatim).
Imam Baqi bin Makhlad melakukan rihlah dua kali: dari Mesir ke Syam (sekitar Suriah) dan dari Hijaz (sekitar Mekkah) ke Baghdad (Irak) untuk menuntut ilmu agama. Rihlah pertama selama 14 tahun dan yang kedua selama 20 tahun berturut-turut (Tadzkiratul Huffadz, 2/630).
Rela Membelanjakan Banyak Harta Demi Ilmu
Khalaf bin Hisyam Al Asadi berkata, “saya mendapatkan kesulitan dalam salah satu bab di kitab Nahwu. Maka saya mengeluarkan 80.000 dirham hingga saya bisa menguasainya” (Ma’rifatul Qurra’ Al Kibar, Adz Dzahabi, 1/209)
Ayah dari Yahya bin Ma’in adalah seorang sekretaris Abdullah bin Malik. Ketika wafat, beliau meninggalkan 100.000 dirham untuk Yahya. Namun Yahya bin Ma’in membelanjakan semuanya untuk belajar hadits, tidak ada yang tersisa kecuali sandal yang bisa ia pakai (Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar, 11/282)
Ali bin Ashim bercerita, “ayahku memberiku 100.000 dirham dan berkata kepadaku: ‘pergilah (untuk belajar hadits) dan saya tidak mau melihat wajahmu kecuali kamu pulang membawa 100.000 hadits’” (Tadzkiratul Huffadz, Adz Dzahabi, 1/317).
Berdesakan Hingga Mengakibatkan Kematian
Ishaq bin Abi Israil mengatakan: “Para penuntut ilmu hadits
berdesakan pada Husyaim sehingga membuatnya terjatuh dari keledainya,
dan itulah faktor penyebab kematiannya.” (Manaqib Imam Syafi’i hlm. 167–168 oleh al-Aburri dan al-’Uzlah hlm. 89 oleh al-Khothobi)
Mirip dengan ini adalah kisah tentang sebab kematian
seorang ahli nahwu tersohor yaitu Tsa’lab. Dikisahkan bahwa dia pernah
keluar dari masjid usai sholat ashar pada hari Jum’at. Beliau memang
sedikit tuli. Di tengah-tengah sedang asyik membaca kitab sambil
berjalan, tiba-tiba ada kuda yang menabraknya sehingga dia tersungkur di
sebuah lubang. Akhirnya dia ditolong dan dikeluarkan dalam keadaan
berlumpur kemudian diantarkan ke rumah. Setelah itu dia merasakan sakit
di bagian kepalanya dan keesokan harinya meninggal dunia. (Wafayatul A’yan 1/104 oleh Ibnu Khollikan)
Tetap Belajar Sekalipun di Depan Singa
Abul Hasan Bunan bin Muhammad bin Hamdan adalah salah
seorang ulama yang dikenal banyak memiliki karomah. Suatu saat karena
dia berani mengingkari Ibnu Thulun, maka dia dihukum dan dicampakkan di
depan singa. Sang singa pun menciuminya tetapi anehnya dia tidak
menerkam Abul Hasan. Akhirnya, dia pun dibebaskan. Orang-orang merasa
heran dengan kejadian tersebut. Seorang pernah bertanya kepada beliau:
“Bagaimana perasaan Anda tatkala berada di depan singa?” Beliau
menjawab: “Saya tidak cemas sama sekali, bahkan saat itu saya sedang
memikirkan tentang air liur binatang buas serta perbedaan pendapat di
kalangan ulama ahli fiqih, apakah suci ataukah najis!!!” (al-Bidayah wa Nihayah 12/158 oleh Ibnu Katsir)
Mau Dipukul Asalkan Mendapat Hadits
Dalam biografi Hisyam bin Ammar disebutkan bahwa dia pernah
masuk kepada Imam Malik tanpa izin seraya mengatakan: “Ceritakanlah
kepadaku hadits.” Imam Malik mengatakan: “Bacalah.” Hisyam berkata:
“Tidak, yang saya ingin adalah engkau menceritakan kepadaku hadits.”
Tatkala Hisyam sering mengulang-ngulang hal itu, maka Imam Malik
mengatakan: “Wahai pelayan, pukullah dia sebanyak lima belas kali.”
Pelayan pun memukul Hisyam lima belas kali lalu membawanya kepada Imam
Malik. Hisyam berkata kepada Imam Malik: “Kenapa engkau menzholimiku?
Engkau telah memukulku tanpa dosa yang kuperbuat. Aku tidak
menghalalkanmu.” Imam Malik berkata: “Terus, apa tebusannya?” Hisyam
menjawab: “Tebusannya adalah engkau menceritakan kepadaku lima belas
hadits.” Maka beliau pun menceritakan lima belas hadits kepada Hisyam.
Hisyam berkata lagi kepada Imam Malik: “Tolong tambahi lagi pukulannya
sehingga Anda menambahi lagi hadits untukku.” Mendengar itu, Imam Malik
tertawa seraya mengatakan: “Pergilah kamu.” (Siyar A’lam Nubala 3/4093 oleh adz-Dzahabi, cetakan Baitul Afkar)
Mirip dengan hal ini adalah kisah rihlah (perjalanan
jauh untuk menuntut ilmu) yang dilakukan oleh Yahya bin Ma’in dan Ahmad
bin Hanbal. Dikisahkan, ketika mereka hendak pulang, mereka singgah di
Imam Abu Nu’aim Fadhl bin Dukain karena Yahya bin Ma’in ingin mengetes
hafalannya. Setelah Imam Abu Nu’aim tahu bahwa dirinya sedang dites,
maka dia menendang Yahya bin Ma’in. Akhirnya, Imam Ahmad berkata kepada
Yahya: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu jangan mengetesnya karena dia
adalah seorang yang kuat hafalannya.” Yahya berkata: “Demi Alloh,
sungguh tendangannya lebih aku sukai daripada semua perjalananku ini.” (ar-Rihlah fi Tholabil Hadits hlm. 207 oleh al-Khothib al-Baghdadi)
Semangat Menulis yang Menakjubkan
As-Sam’ani menceritakan bahwa Imam al-Baihaqi pernah
tertimpa penyakit di tangannya, sehingga jari-jemarinya dipotong semua,
hanya tinggal pergelangan tangan saja. Sekalipun demikian, beliau tidak
berhenti dari menulis, beliau mengambil pena dengan pergelangan
tangannya dan meletakkan kertas di tanah seraya memeganginya dengan
kakinya, lalu menulis dengan tulisan yang indah dan jelas. Demikianlah
hari-harinya, sehingga setiap hari dia dapat menulis dengan tangannya
kurang lebih sepuluh lembar. “Sungguh, ini adalah pemandangan sangat
menakjubkan yang pernah saya lihat darinya,” kata as-Sam’ani. (at-Tahbir fil Mu’jam Kabir 1/223)
Termasuk semangat yang menakjubkan pula adalah semangat Imam Ibnu Aqil yang telah menulis sebuah karya terbesar di dunia yaitu al-Funun.
Tahukah Anda berapa jilid kitab tersebut? Sebagian mengatakan sebanyak
800 jilid dan ada yang mengatakan 400 jilid. Imam adz-Dzahabi berkata:
“Belum pernah ada di dunia ini kitab yang lebih besar darinya. Seseorang
pernah menceritakan kepadaku bahwa dia pernah mendapati juz yang empat
ratus lebih dari kitab tersebut.” (Tarikh Islam 4/29)
Sekalipun demikian besarnya kitab ini, tetapi sayangnya
kitab ini termasuk perbendaharan umat Islam yang hilang, belum diketahui
sampai sekarang kecuali hanya satu jilid saja yang ditemukan di
perpustakaan Paris dan dicetak dalam dua jilid pada tahun 1970–1971.
(Muqoddimah Kamil Muhammad Khorroth terhadap Zahrul Ghushun min Kitabil Funun hlm. 6)
Kitab Bikin Pusing Istri Ulama
Kebiasaan Imam Zuhri, kalau masuk rumah maka beliau
meletakkan kitab-kitabnya bertumpukan di sekitarnya. Beliau menikmati
kesibukannya tersebut sehingga lalai dari segala urusan dunia lainnya.
Suatu saat istrinya pernah berkata padanya: “Demi Alloh, sungguh
kitab-kitab ini lebih berat bagiku daripada tiga istri sainganku!!!” (Wafayatul A’yan 4/177–178 oleh Ibnu Khollikan)
Berkali-Kali Khatam Kitab, Tidak Bosan
Al-Muzani berkata: “Saya membaca kitab ar-Risalah
karya asy-Syafi’i sejak lima tahun yang lalu, setiap kali aku membacanya
saya mendapatkan faedah baru yang belum aku dapatkan sebelumnya.” (Manaqib Syafi’i hlm. 114 oleh al-Aburri)
Ibnu Basykuwal menceritakan bahwa Abu Bakr bin Athiyyah mengulang-ngulang membaca kitab Shohih Bukhori sebanyak 700 kali.” (ash-Shilah 2/433)
Disebutkan dalam biografi Abbas bin Walid al-Farisi bahwa
ditemukan dalam sebagian akhir kitabnya suatu tulisan: “Saya telah
membacanya sebanyak 1.000 kali.” !!! (Thobaqot Ulama Afrika wa Tunis hlm. 224)
Abdulloh bin Muhammad, ahli fiqih dari Irak, beliau pernah membaca kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah (sekarang tercetak dengan 15 jilid) sebanyak 23 kali!! (Dzail Thobaqot Hanabilah 2/411)
Mengusir Kantuk Dengan Membaca
Ibnul Jahm berkata: “Apabila kantuk menyerangku pada selain
waktu tidur, maka saya segera mengambil kitab hikmah, lalu saya
mendapati hatiku berbunga-bunga kegirangan ketika mendapatkan ilmu.” (al-Hayawan 1/53 oleh al-Jahidz)
Subhanalloh, bandingkan hal ini dengan perbuatan sebagian kita yang membaca justru dengan niat sebagai pengantar tidur!!!
Dilarang Oleh Ibunya Tetapi Dia Bersiasat
Imam Ibnu Tabban adalah seorang ulama yang bersemangat sangat tinggi dalam menuntut ilmu, sehingga dia pernah mempelajari kitab al-Mudawwanah
sebanyak 1000 kali!!! Dia pernah berkata tentang dirinya: “Dahulu
ketika saya awal-awal menuntut ilmu, saya gunakan seluruh malam untuk
belajar, sehingga ibuku pernah melarangku dari membaca di malam hari.
Akhirnya saya bersiasat untuk membuat lampu dan menaruhnya di bawah
tempat tidur lalu saya berpura-pura tidur. Ketika saya rasa bahwa ibuku
benar-benar telah tidur, maka saya keluarkan lampu dan melanjutkan
belajar.” (Tartibul Madarik 1/78 al-Qodhi Iyadh)
Puluhan Ribu Orang Hadir di Majelis Mereka
Sejarah ulama dahulu sangat harum dengan semangat menuntut
ilmu. Banyak di antara mereka berdesak-desakan membanjiri majelis ilmu.
Berikut ini beberapa buktinya:
- Diperkirakan bahwa jumlah orang yang hadir di majelis ilmu Ashim bin Ali sebanyak seratus enam puluh ribu orang. (Tarikh Baghdad 12/248)
- Diperkirakan bahwa jumlah orang yang hadir di majelis ilmu Sulaiman bin Harb sebanyak empat puluh ribu orang. (al-Jarh wa Ta’dil 4/108)
- Diperkirakan bahwa jumlah orang yang hadir di majelis ilmu Imam Bukhori sebanyak dua puluh ribu orang lebih. (al-Jami’ li Akhlaq Rowi 2/53)
- Diperkirakan bahwa jumlah orang yang hadir di majelis ilmu Abu Muslim al-Kajji sebanyak empat puluh ribu orang lebih. (Tarikh Baghdad 6/121)
Dan masih banyak lagi data lainnya. (Dinukil dari Qoshoshun wa Nawadir li Aimmatil Hadits hlm. 70–72 oleh Dr. Ali bin Abdillah ash-Shoyyah)
Subhanalloh, pemandangan yang menakjubkan. Adapun
pada zaman sekarang, kebanyakan manusia malah membanjiri tempat-tempat
maksiat. Hanya kepada Alloh kita mengadukan semua ini!!!
Waktu Libur Tetapi Dia Tetap Hadir
Jika Alloh telah memberimu nikmat semangat untuk menuntut
ilmu maka jagalah nikmat tersebut. Jangan sampai ia menghilang darimu
karena ia adalah pertanda bahwa Alloh menghendaki kebaikan bagimu.
Al-Askari menyebutkan bahwa Abul Hasan al-Karkhi berkata: “Saya selalu
menghadiri majelis ilmu Abu Hazim pada hari Jum’at padahal hari itu
tidak ada pelajaran. Aku lakukan hal itu agar kebiasaanku menghadiri
majelis ilmu tidak hilang.” (al-Hatstsu ’ala Tholabil Ilmi hlm. 78)
Saudaraku, renungkanlah kisah di atas baik-baik. Dia
meninggalkan keinginan dirinya dan berjuang melawan hawa nafsunya demi
menuntut ilmu dan menjaga semangat tersebut agar tidak luntur. (Ma’alim fi Thoriq Tholabil Ilmi hlm. 69 oleh Abdul Aziz as-Sadhan)
ULAMAA' PUN TETAP MENCARI 'ILMU PADA ULAMAA' YANG LAIN
ULAMAA' PUN TETAP MENCARI 'ILMU PADA ULAMAA' YANG LAIN
Abdun bin Humaid berkata, ketika pertama kali duduk, Yahya bin Ma’in bertanya kepada saya tentang sebuah hadits. Saya sampaikan kepadanya, “haddatsana Hammad bin Salamah ‘an …“, Yahya bin Ma’in pun memotong “seandainya engkau membacakan hadits dari kitabmu niscaya itu lebih baik dan lebih kuat (validitasnya)”. Lalu aku katakan, “kalau demikian saya akan pergi untuk mengambil kitab saya”. Tiba-tiba Yahya bin Ma’in memegang bajuku dan berkata, “kalau begitu bacakan saja dari hafalanmu, karena saya khawatir tidak bertemu anda lagi (maksudnya ia khawatir Abdun bin Humaid wafat ketika mengambil kitab)”. Maka aku pun membacakannya dari hafalanku, lalu saya pergi mengambil kitabku dan membacakannya lagi (Al Jami’ li Akhlaqir Rawi Wa Adabis Sami’, Al Khatbib Al Baghdadi).
Ja’far bin Durustuwaih berkata, “kami harus mengambil tempat duduk di sebuah majelis sejak ashar untuk mengikuti kajian esok hari, karena saking padatnya pengajian Ali bin Al Madini. Kami menempatinya sepanjang malam karena khawatir esoknya tidak mendapatkan tempat untuk mendengarkan kajiannya karena saking penuh sesaknya manusia. Saya melihat seorang yang sudah tua di majelis tersebut buang air kecil di jubahnya karena khawatir tempat duduknya diambil apabila ia berdiri untuk buang air” (Al Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’, Al Khatib Al Baghdadi, 2/199).
Abu Hatim berkata, saya mendengar Al Muzani mengatakan, Imam Asy Syafi’i pernah ditanya, “bagaimana semangatmu dalam menuntut ilmu?”. Beliau menjawab, “saya mendengar kalimat yang sebelumnya tidak pernah saya dengar. Maka anggota tubuh saya yang lain ingin memiliki pandangan untuk bisa menikmati ilmu tersebut sebagaimana yang dirasakan telinga”. Lalu beliau ditanya lagi, “bagaimana kerakusan anda terhadap ilmu?”. Beliau menjawab, “seperti rakusnya orang penimbun harta, yang mencapai kepuasan dengan hartanya”. Ditanya lagi, “bagaimana anda mencarinya?”. Beliau menjawab, “sebagaimana seorang ibu mencari anaknya yang hilang, yang ia tidak memiliki anak lain selain dia” (Tawaalit Ta’sis bin Manaqibi Muhammad bin Idris, Ibnu Hajar Al Asqalani, 106).
Salim Ar Razy menceritakan bahwa Syaikh Hamid Al Isfirayaini pada awalnya adalah seorang penjaga (satpam) di sebuah rumah. Beliau belajar ilmu dengan cahaya lampu di tempat jaganya karena terlalu fakir dan tidak mampu membeli minyak tanah untuk lampunya. Beliau makan dari gajinya sebagai penjaga (Thabaqatus Syafi’iyah Al Kubra, Tajuddin As Subki, 4/61).
Ibnu Asakir ketika menyebutkan biografi seorang hamba yang shalih, Abu Manshur Muhammad bin Husain An Naisaburi, beliau berkata, “beliau (Abu Manshur) adalah orang yang selalu giat dan semangat dalam belajar. Meski dalam keadaan faqir dan tidak punya. Sampai-sampai beliau menulis pelajarannya dan mengulangi membacanya di bawah cahaya rembulan. Karena tidak punya sesuatu untuk membeli minyak tanah. Walaupun beliau dalam keadaan faqir, namun beliau selalu hidup wara’ dan tidak mengambil harta yang syubhat sedikitpun” (Tabyiin Kidzbil Muftari, Ibnu Asakir Ad Dimasyqi).
Demikianlah para ulama kita. Semoga Allah membakar semangat-semangat kita untuk mempelajari agama ini, walaupun tidak bisa seperti semangatnya para ulama, setidaknya kita berupaya agar bisa menempuh usaha yang mendekati usahanya para ulama' dalam mencari 'ilmu. Allahulmuwafiq.
—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar