Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum
sanad periwayatanya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif
merupakan hal yang diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin, Hadits dhoif
tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak
sepantasnya kita menafikkan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits
dhoif banyak pembagiannya.
Dan telah sepakat Jumhur
para Ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan dengan hadits
dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal RA, menjadikan hukum bahwa
bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu,
dengan berdalil pada hadits Aisyah RA bersama Rasulullah SAW yang Rasulullah SAW
menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini
dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum thaharah.
Hadits dhoif ini banyak pembagiannya, sebagian
Ulama mengklasifikasikannya menjadi 81 bagian, adapula yang
menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya dalam 42 bagian, namun para
Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk Amal
Shalih, penyemangat, atau Manaqib, inilah pendapat yang Mu’tamad,
namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada Hadits
palsu.
Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits
yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti
secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits
munkar, atau mardud, Batil, maka tidak sepantasnya kita
menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikkan
(menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih
diakui sebagai ucapan Rasulullah SAW, dan tak satu Muhaddits pun yang
berani menafikkan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif
sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasulullah SAW dan
hukumnya kufur.
Rasulullah SAW
bersabda :
"Barangsiapa yg sengaja
berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap siap mengambil tempatnya di
neraka" [Shahih
Bukhari hadits no.110].
Sabda beliau SAW pula :
"sungguh dusta atasku tidak sama dengan
dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka
ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka"[Shahih Bukhari hadits no.1229].
Cobalah anda bayangkan, mereka yang
melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang
sebagian ucapan / sunnah Rasulullah SAW, dan mendustakan ucapan Rasulullah
SAW. Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits
itu tak ada di zaman Rasulullah SAW, ilmu hadits itu adalah Bid'ah
hasanah, baru ada sejak Tabi'in, mereka membuat syarat perawi hadits,
mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan tak dikenal, namun mereka
sangat berhati hati karena mereka mengerti hukum, bila mereka salah walau satu
huruf saja, mereka bisa menjebak Ummat hingga akhir zaman dalam kekufuran,
maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka ini yang
dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah SAW.
Sebagaimana para pakar hadits
bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang mengaku-ngaku sebagai pakar hadits,
seorang ahli hadits mestilah telah mencapai derajat Al hafidh, Al
hafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100 ribu
hadits berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila
panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut
hukum sanad dan hukum matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal lebih dari 100
ribu hadits?.Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang
disebut Al hujjah, yaitu yang hafal 300 ribu hadits dengan hukum matan
dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut : Hakim, yaitu
yang pakar hadits yang sudah melewati derajat Al hafidh dan Al
hujjah, dan mereka memahami banyak lagi hadits hadits yang
teriwayatkan.(Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Imam Al Hafidh
Ibn Hajar Al Atsqalaniy). Diatasnya lagi adalah derajat Imam,
sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1 juta hadits dengan sanad dan
matannya, dan Ia adalah murid dari Imam Syafii RA, dan dizaman itu terdapat
ratusan Imam-imam pakar hadits.
Perlu diketahui bahwa Imam Syafii
ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafii lahir pada Tahun 150 Hijriyah
dan wafat pada tahun 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari lahir pada tahun 194
Hijriyah dan wafat pada tahun 256 Hijriyah, maka sebagaimana sebagian kelompok
banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa fatwa Imam
syafii dengan berdalilkan Shahih Bukhari, maka hal ini salah
besar, karena Imam Syafii sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun,
maka ia telah menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.
Lalu bagaimana dengan Saudara-saudara
kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan pendapat kepada hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh para Imam ini?, mereka menusuk fatwa Imam
Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam-imam lainnya, seorang
periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini
memberi fatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka?,
apa yg mereka fahami dari ilmu hadits?, hanya menukil nukil dari beberapa
buku saja lalu mereka sudah berani berfatwa, apalagi bila mereka yang
hanya menukil dari buku buku terjemah, memang boleh boleh saja dijadikan
tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini sangat dhoif bila untuk
dijadikan dalil.
Saudara saudaraku yang kumuliakan,
kita tak bisa berfatwa dengan buku buku, karena buku tak bisa dijadikan rujukan
untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tak boleh
membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yg ada zaman sekarang ini adalah
pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa fatwa Imam Imam terdahulu,
terlebih lagi apabila yg dijadikan rujukan untuk merubuhkan fatwa para imam
adalah buku terjemahan.
Sungguh buku buku terjemahan itu
telah terperangkap dengan pemahaman si penerjemah, maka bila kita bicara
misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin
Hanbal ini hafal 1 juta hadits, lalu berapa luas pemahaman si penerjemah yg
ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad dalam terjemahannya?
Bagaimana tidak?, sungguh sudah sangat banyak hadits
hadits yg sirna masa kini, bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam
Ahmad bin Hanbal hafal 1 juta hadits, lalu kemana hadits hadits itu?, Imam
Ahmad bin Hanbal dalam Musnad haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits no.27.688,
maka kira kira 970 ribu hadits yg dihafalnya itu tak sempat ditulis…!
Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan Huffadh lainnya?,
lalu logika kita, berapa juta hadits yg sirna dan tak sempat tertuliskan?,
mengapa?
Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang,
kitab mereka itu ditulis tangan, bayangkan saja seorang Imam besar yg
menghadapi ribuan murid2nya, menghadapi ratusan pertanyaan setiap harinya,
banyak beribadah dimalam hari, harus pula menyempatkan waktu menulis hadits
dengan pena bulu ayam dengan tinta cair ditengah redupnya cahaya lilin atau
lentera, atau hadits hadits itu ditulis oleh murid2nya dg mungkin 10 hadits yg
ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi sangat
panjang bila dg riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya.
Bayangkan betapa sulitnya perluasan ilmu saat itu, mereka
tak ada surat kabar, tak ada telepon, tak ada
internet, bahkan barangkali pos jasa surat
pun belum ada, tak ada pula percetakan buku, fotocopy atau buku yg
diperjualbelikan..
Penyebaran ilmu dimasa itu adalah
dengan ucapan dari guru kepada muridnya (talaqqiy), dan saat itu buku hanyalah
1% saja atau kurang dibanding ilmu yg ada pd mereka.
Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits
seperti gurunya, namun paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka
itu adalah kaum shalihin, suci dari kejahatan syariah, karena di masa itu
seorang yg menyeleweng dari syariah akan segera diketahui karena banyaknya
ulama.
Oleh sebab itu sanad guru jauh
lebih kuat daripada pedoman buku, karena guru itu berjumpa dengan gurunya,
melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya, sebagaimana ibadah yg tertulis di buku,
mereka tak hanya membaca, tapi melihat langsung dari gurunya, maka selayaknya
kita tidak berguru kepada sembarang guru, kita mesti selektif dalam mencari
guru, karena bila gurumu salah maka ibadahmu salah pula.
Maka hendaknya kita memilih guru
yg mempunyai sanad silsilah guru, yaitu ia mempunyai riwayat guru guru yg
bersambung hingga Rasul saw. Hingga kini kita ahlussunnah waljamaah lebih berpegang
kepada silsilah guru daripada buku buku, walaupun kita masih merujuk pada buku
dan kitab, namun kita tak berpedoman penuh pada buku semata, kita berpedoman
kepada guru guru yg bersambung sanadnya kepada Nabi saw, ataupun kita berpegang
pada buku yg penulisnya mempunyai sanad guru hingga nabi saw. Maka bila
misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tak sebutkan
dalilnya, apakah kita mendustakannya?, cukuplah sosok Imam Syafii yg demikian
mulia dan tinggi pemahaman ilmu syariahnya, lalu ucapan fatwa fatwanya itu
diteliti dan dilewati oleh ratusan murid2nya dan ratusan Imam sesudah beliau,
maka itu sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada ada dan
membuat buat hukum semaunya.
Maka muncullah dimasa kini
pendapat pendapat dari beberapa saudara kita yg membaca satu dua buku, lalu
berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam hakim dhoif, hadits ini
munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud, atau berfatwa
dengan semaunya dan fatwa fatwa mereka itu tak ada para Imam dan Muhaddits yg
menelusurinya sebagaimana Imam imam terdahulu yg bila fatwanya salah maka sudah
diluruskan oleh imam imam berikutnya, sebagaimana berkata Imam Syafii : “Orang
yg belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yg mengumpulkan kayu baker
digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yg terdapat padanya ular
berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433), berkata pula Imam
Atsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya
senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula Imam Ibnul Mubarak :
“Pelajar ilmu yg tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya
tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul
Qadir juz 1 hal 433)
Semakin dangkal ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin
mudah berfatwa dan menghukumi, semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka
semakin ia berhati hati dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi.
Maka fahamlah kita, bahwa mereka
mereka yg segera menafikan / menghapus hadits dhoif maka mereka itulah yg
dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak tahu mana hadits dhoif yg palsu dan
mana hadits dhoif yg masih tsiqah untuk diamalkan, contohnya hadits dhoif yg
periwayatnya maqthu’ (terputus), maka dihukumi dhoif, tapi makna haditsnya misalnya
keutamaan suatu amal, maka para Muhaddits akan melihat para perawinya, bila
para perawinya orang orang yg shahih, tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits
itu diterima walau tetap dhoif, namun boleh diamalkan karena perawinya orang
orang terpercaya, Cuma satu saja yg hilang, dan yg lainnya diakui kejujurannya,
maka mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw, namun tetap dihukumi dhoif,
dan masih banyak lagi contoh contoh lainnya,
Masya Allah dari gelapnya
kebodohan.. sebagaimana ucapan para ulama salaf : “dalam kebodohan itu adalah
kematian sebelum kematian, dan tubuh mereka telah terkubur (oleh dosa dan
kebodohan) sebelum dikuburkan”
‘AQIQOH
Pengertian ‘Aqiqah
Menurut bahasa ‘Aqiqoh artinya :
Mmotong. Asalnya dinamakan ‘Aqiqoh, karena dipotongnya leher binatang dengan
penyembelihan itu.
Adapula yang mengatakan bahwa ‘aqiqoh itu asalnya ialah :
Rambut yang terdapat pada kepala si bayi ketika ia keluar dari rahim ibu,
rambut ini de sebut ‘aqiqoh, karena ia mesti di cukur.
Adapun menurut istilah agama, yang di maksud ‘aqiqoh itu
ialah : sembelihan yang di sembelih sehubungan dengan kelahiran seorang anak,
baik laki-laki ataupun perempuan pada hari yang ketujuh semata-mata mencari
ridlo Allah.
Sejarah ‘Aqiqoh
Syari’at ‘aqiqoh yaitu menyembelih
2 ekor kambing jika nakanya laki-laki, dan seekor kambing jika anaknya
perempuan, telah di kenal dan biasa di lakukan orang sejak zaman jahiliyyah,
namun dengan cara yang berbeda dengan ummat Islam saat ini.
Buraidah berkata :
كُنَّ فِى الْجَاهِلِيَّةِ
إِذَا وُلِدَ ِلأَحَدِناَ غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا,
فَلَمَّا جَاءَ اللهُ بِاْلأِسْلاَمِ كُنَّ نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلْقُ رَأْسَهُ
وَنَلْطَحُهُ بِزَعْفَرَانِ. ابو داود
Artinya :
Dahuمu
kami dimasa jahiliyyah apabila salah seorang diantara kami mempunyai anak, ia
menyembelih kambing dan melumuri kepalanya dengan darah kambing itu. Maka
setelah Allah mendatangkan Islam kami menyembelih kambing, mencukur (
menggunduli ) kepala si bayi dan melumurinya dengan minyak wangi. ( H.R. Abu Dawud juz 3, hal 107 )
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ :
كَانُوْا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا عَقُوْا عَنِ الصَّبِيِّ خَضَبُوْا قُطْنَةً.
فَإِذَا حَلَقُوْا رَأْسَ الصَّبِيِّ وَضَعُوْهَا عَلَى رَأْسِهِ, فَقَالَ
النَبِيُّ ص : إِجْعَلُوْا مَكَانَ الدَّمِ خَلُوْقاً. ابن حبان بترتيب ابن بلبان
Artinya :
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Dahulu orang-orang pada masa
jahiliyyah apabila mereka ber’aqiqoh untuk seorang bayi, mereka melumuri kapas
dengan darah ‘aqiqoh, lalu ketka mencukur rambut si bayi mereka melumurkan pada
kepalanya.” Maka Nabi Muhammad SAW bersabda, “gantilah darah itu dengan minyak
wangi. ( H.R. Ibnu Hibban dengan tartib Ibnu Balban juz 12, hal. 124)
Demikianlah sejarah syari’at
‘aqiqoh dalam Islam, dan dari riwayat-riwayat diatas serta riwayat-riwayat
lain, tampak jelas bagaimana sikap agama tercinta ini dalam menghadapi adapt
yang sudah biasa berjalan dan berlaku pada masyarakat dan masih mungkin
diluruskan. Tegasnya, Islam sesuai dengan fungsi diturunkanya yaitu sebagai
lambing kasih sayang serta memimpin ke arah jalan yang serba positif, maka
dalam menghadapi adat istiadat yang sudah biasa dilakukan sekelompok manusia.
Islam mengajarkan untuk meluruskannya dan kemudian berjalan bersama-sama dengan
Islam, sebagaimana masalah ‘aqiqoh ini.
Adapun adapt-istiadat yang tidak
mengandung unsur-unsur kemusyrikan dan kedholiman serta tidak bertentangan
dengan agama, maka islam memelihara dan memberi hak hidup baginya untuk
berkembang lebih lanjut dalam masyarakat tersebut tanpa sesuatu perubahanpun.
Dari keterangan hadits-hadits
diatas dapat di ambil pelajaran bahwa adapt-istiadat yang berkembang dalam
masyarakat tidak boleh di hancurkan, tapi dibenahi biar kondisi masyarakat
lebih baik dan tidak terjadi suasana yang menegangkan antara masyarakat awam
dengan pemuka agama seperti kyai, habaib, ustadz dll.
Hal-hal yang disyariatkan sehubungan dengan ‘aqiqoh
A.Yang berhubungan dengan sang anak
1. disunnahkan untuk memberi nama dan mencukur
rambut ( menggundul ) pada hari ke 7 sejak hari lahirnya. Misalnya lahir pada
Hari Ahad, ‘aqiqohnya jatuh pada hari sabtu.
2. Bagi anak laki-laki disunnahkan ber’aqiqoh
dengan 2 ekor kambing sedang bagi anak perempuan 1 ekor.
3. ‘Aqiqoh ini terutama dibebankan kepada orang
tua si anak, tetapi boleh juga dilakukan oleh keluarga yang lain ( kakek dan
sebagainya ).
4. ‘Aqiqoh ini hukumnya sunnah.
Dalil-dalil Pelaksanaan:
عَنْ يُوْسُوْفَ بْنِ مَاهَكٍ أَنَّهُمْ
دَخَلُوْا عَلَى حَصْفَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَسَأَلُوْهاَ عَنِ الْعَقِيْقَةِ,
فَأَخْبَرَتْهُمْ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهاَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص اَمَرَهُمْ
عَنِ الْغُلاَمِ شَاتاَنِ مَكَافِئَتاَنِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةً. الترمذى
Artinya :
Dari Yusuf bin Mahak bahwasannya orang-orang dating kepada
hafsah binti ‘Abdurrahman, mereka menanyakan kepadanya tentang ‘aqiqoh. Maka
hafsah memberitahukan kepada mereka bahwasannya ‘Aisyah memberi tahu kepadanya
bahwa Rosulullah SAW telah memerintahkan para sahabat ( agar menyembelih
‘aqiqoh ) bagi anak laki-laki 2 ekor kambing yang sebanding dan untuk anak
perempuan 1 ekor kambing. ( H.R. Tirmidzi 3 : 5 )
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ بْنِ الضَّبِيِّ
قَالَ : قَالَ رُسُوْلُ اللهِ ص : مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ فَاَهْرِقُوْا عَنْهُ دَماً وَاَمِيْطُوْا عَنْهُ
اْلاَذَى. الخماعة
الامسلما
Artinya :
Salman bin ‘Amir Adl-Dlaby, ia berkata : Rosulullah SAW
bersabda, “ Tiap-tiap anak itu ada ‘aqiqohnya. Maka sembelihlah biantang
‘aqiqoh darinya dan buanglah kotoran darinya ( cukurlah rambutnya ).”( H.R. Jama’ah
kecuali muslim, nailuil authar 5 hal 149 )
عَنْ عَمْرِ بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ
عَنْ جَدِّهِ قَالَ, قَالَ النَّبِيُّ ص مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يَنْسُكَ عَنْ
وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتاَنِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ
شَاةٌ. احمد
وابو داود والنسائ
Artinya :
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dan kakeknya
berkata,telah bersabda Nabi Muhammad SAW, barang siapa yang berkehendak
untuk meng’aqiqohkan anaknya maka kerjakanlah. Untuk anak laki-laki 2 ekor
kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan 1 ekor kambing.” ( H.R.
Ahmad, Abu Dawud dan Nasai, dalam nailul authar 5, hal. 152 )
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ :
عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ يَوْمَ السَّابِعِ
وَسَمَّاهُمَا وَاَمَرَ اَنْ يُمَاطَ عَنْ رُؤُوْسِهِمَا اْلاَذَى. الحاكم
فى المستدرك
Artinya : Dari ‘Aisyah RA, ia bekata, “ Rosulullah SAW
pernah ber’aqiqoh untuk Hasan dan Husain pada hari ke-7 dari kelahirannya,
beliau memberi nama dan memerintahkan supaya dihilangkan kotoran dari kepalanya
( dicukur ).” ( H.R. Hakim, dalam Al Mustadrok juz4, hal. 264 )
Keterangan :
Hasan dan Husain adalah cucu Rosulullah SAW.
عَنْ سَمُرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ ص : كُلَّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ
سَابِعِهِ وَيُسَمَّى فِيْهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ.
الخمسة وصحصحه
الترمذى, فى نيل الاوطار
Artinya : Dari samurah ia berkata : Rosulullah SAW bersabda,
“ Tiap-tiap anak tergadai ( tergantung ) dengan ‘aqiqohnya yang disembelih
untuknya pada hari ke-7 dan dihari itu ia diberi nama serta di cukur rambut
kepalanya”. ( H.R. Khamsah dan dishahihkan oleh Tirmidzi, dalam Nailul Authar 5
: 149 )
B. Yang
berhubungan dengan binatang sembelihan
1. Dalam masalah ‘aqiqoh binatang yang digunakan sebagai
sembelihan adalah kambing, tanpa memandang apakah jantan atau betina,
sebagaimana riwayat di bawah ini :
عَنْ اُمِّ كُرْزِ الْكَعْبِيَّةِ
اَنَّهَا سَاَلَتْ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنِ الْعَقِيْقَةِ فَقَالَ : نَعَمْ. عَنِ
الْغُلاَمِ شَاتَانِ وَعَنِ اْلاُنْثَى وَاحِدَةٌ, لاَيَضُرُّكُمْ ذُكْرَاناً
كُنَّ اَوْ اِناَثاً. احمد و الترمذى وصحصحه الترمذى, فى نيل الاوطار
Artinya : Dari ummu kurs Al Ka’bayah, bahwasannya ia
pernah bertanya kepada Rosulullah SAW tentang ‘aqiqoh, maka sabda beliau SAW.
“Ya, untuk anak laki-laki 2 ekor kambing dan untuk anka perempuan 1 ekor
kambing. Tidak menyusahkanmu baik kambing itu jantan atau betina.” ( H.R. Ahmad
dan Tirmidzi, dan Tirmidzi menshohihkannya, dalam Nailul Authar 5: 149 )
2. Waktu yang dituntunkan Nabi Muhammad SAW berdasarkan
dalil yang shohih ialah pada hari ke-7 semenjak kelahiran anak tersebut ( lihat
dalil riwayat ‘Aisyah dan Samurahdi atas ).
1. Adzan
dan Iqomah pada telinga bayi yang baru lahir.
عَنْ اَبِى رَافِعٍ قَالَ : رَاَيْتُ
رَسُوْلَ اللهِ ص أَذَّنَ فِى اُذُنَيِ الْحَسَنِ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ
بِالصَّلاَةِ. احمد
Artinya : Dari Abu Rafi’ ia berkata, “ Saya pernah melihat
Rosulullah SAW membaca adzan ( sebagaiman adzan ) sholat, pada kedua telinga
Hasan ketika dilahirkan oleh Fatimah.” ( H.R. Ahmad juz 9, hal. 230, no. 23930
)
عَنْ حُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ رض قَالَ :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص : مَنْ وُلِدَ لَهُ مُوْلُوْدٌ فَاَذَّنَ فِى اُذُنِهِ
الْيُمْنَى وَاَقَامَ فِى اُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرُّهُ اُمُّ الصِّبْياَنِ.
ابن السنى
Aritnya : Dari Husain bin Ali RA, ia berkata : Rosulullah
SAW bersabda, “ Barang siapa mempunyai anak yang baru dilahirkan, kemudian ia
mensuarakan adzan di telinga yang kanan, dan Iqomah di telinga yang kiri ( anak
itu ) tidak di ganggu oleh Ummush shibyan ( sejenis syaithan ).” ( H.R. Ibnus
sunni hal 220 )
Keterangan :
Hadits yang pertama diriwayatkan juga oleh Hakim dan
Baihaqi serta diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan lafadz yang
agak berbeda. Hadits itu dishahihkan oleh Imam Tirmdzi, dan Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Imam Abu Nu’aim dan Ath-thabrani sebagai berikut :
أَذَّنَ فِى اُذُنِ الْحَسَنِ وَ
الْحُسَيْنِ رَضِيَ الله عَنْهُماَ. ابو نعيم والطبرانى
Artyinya :
“Beliau ( Nabi Muhammad SAW) membaca adzan pada telinga
Hasan dan Husain RA” [HR Abu Nu’aim dan Thabrani]
Ketiga Hadits diatas menurut sebagian orang dikatakan
Dhoif, tapi menurut ulama Hadits yang bernama Tir Imam Tirmidzi hadits – hadits
diatas Shahih. Ulama Fiqih memandang boleh mengamalkan Hadits Dhoif seperti
dalam keterangan bahwa Imam Nawawi pun mengamalkan Hadits Dhoif untuk Fadhoilul
a’mal, contohnya :
Ketika beliau mengarang Kitab Ar Ba’in Nawawi (Kumpulan 40
Hadits Nabi), Keterangan yang sama diungkapkan oleh Syeikh Musthafa Muhammad
Imarah :
وَتَفَقَّهَ ( اْلبُخَارِيُّ ) عَلَى
مَذْهَبِ اْلإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللهُ عُنْهُ. جواهر البخاري
Artinya :
“Dan Imam Bukhori itu belajar mengikuti Madzab Safi’I RA (
Jawahir Al Bukhori, 10)
Apabila dianalogikan pada keahlian , maka Imam Bukhori diibaratkan
pakar bahan baku, tetapi metode pengolahannya tetap mengikuti teori Imam Safi’I
RA, disamping ahli “Bahan Baku’, beliau juga ahli mengolah “Bahan Baku”
tersebut. Maka tidak heran apabila beliau menghasilkan produk Hukum yang
diikuti oleh ummat Islam, termasuk juga para pakar Hadits.
Sebagai salah satu sumber hukum Islam, Hadits berfungsi
menjelaskan, mengukuhkan serta ‘melengkapi’ firman Allah SWT yang terdapat
dalam Al Qur’an. Diantara berbagai macam Hadits itu, ada istilah Hadits Dho’if.
Dalam pengamalannya, terjadi silanng pendapat di antara ulama’. Sebagian ada
kalangan yang tidak membenarkan untuk mengamalkan Hadits Dho’if. Bahkan ada
yang mengatakan bahwa Hadits tersebut bukan dari Nabi Muhammad SAW. Lalu apakah
sebenarnya yang di sebut Hadits Dho’if itu? Benarkah kita itdak boleh
mengamalkannya?
Secara umum Hadits itu ada tiga macam. Pertama, Hadits
Shohih, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan
kuat, mempunyai sanad ( mata rantai orang yang meriwayatkan Hadits ) yang
bersambung ke Rosulullah SAW, tidak memiliki kekurangan serta tidak syadz (
menyalahi aturan umum ). Para Ulama’ sepakat bahwa Hadits ini dapat dijadikan
dalil, baik dalam masalah hukum, aqidah dan lainnya. Kedua, Hadits Hasan, yakni
Hadits yang tingkatannya berada di bawah Hadits shohih, karena para periwayat
Hadits ini mempunyai kualitas yang lebih rendah dari para perawi Hadits Shohih.
Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana Hadits Shohih. Ketiga,
Hadits Dho’if yakni Hadits yang bukan Shohih dan juga bukan Hasan, karena
diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi
Hadits, atau para perawinya tidak mencapai tingkat sebagai perawi Hadits Hasan.
Hadits
Dho’if ini dibagi menjadi dua, Pertama, ada riwayat lain yang dapat
menghilangkan dari ke-dho’if-annya. Hadits semacam ini disebut Hadits Hasan li
Ghairih, sehingga dapat diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar’i.
Kedua, Hadits yang tetap dalam ke-dho’i-annya. Hal ini terjadi karena tidak ada
riwayat lain yang menguatkan, atau karena para perawi Hadits yang lain itu
termasuk orang yang dicurigakan sebagai pendusta, tidak kuat hafalannya atau
fasiq.
Dalam
kategori yang kedua ini, para Ulama mengatakan bahwa Hdits Dho’if hanya dapat diberlakukan dalam fadha’il
al-a’mal ( Yang dimaksud dengan Fadha’il
al-a’mal I adalah setiap ketentuan yang tidak berhubungan dengan aqidah, tafsir
atau hukum, yakni Hadits-Hadits yang menjelaskan tentang targhib wa tarhib [janji-jani
dan ancaman Allah SWT] ). Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa telah
terjadi ijma’ dikalangan ulama tentang
kebolehan mengamalkan Hadits Dha’if jika berkaitan dengan fadha’il al-a’mal
ini. Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat Al-Qur’an, serta akidah, maka
apa yang termakstub dalam Hadits Dha’if tersebut tidak dapat dijadikan pedoman.
Sebagaimana yang disitir oleh Sayyid ‘Al awi al Maliki dalam Kitabnya Majmu’
Fatawi wa Rasa’il:
أَجْمَعَ اَهْلُ الْحَدِيْثِ وَغَيْرُهُمْ
عَلَى اَنَّ الْحَدِيْثَ الضَّعِيْفَ يَعْمَلُ بِهِ فِى فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ وَمِمَّنْ
قَالَ بِذَلِكَ اْلإِمَامُ اَحْمَدْ بْنُ حَنْبَلِ وَ ابْنُ الْمُباَرَكِ
وَالسُّفْيَانَانِ وَالْعَنْبَرِيُّ وَغَيْرُهُمْ. فَقَدْ نُقِلَ عَنْهُمْ
اَنَّهُمْ قَالُوْا اِذَا رَوَيْناَ فِى الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ شَدَدْناَ
وَاِذاَ رَوَيْناَ فِى الْفَضِائِلِ تَسَاهَلْناَ. مجموع فتاوى ورسائل
Artinya :
“Para Ulama ahli Hadits dan lainnya sepakat bahwa Hadits
Dha’if dapat dijadikan pedoman dalam masalah fadha’il al-a’amal. Diantara Ulama
yang mengatakannya adalah Imam Ahmad Bin Hanbal, Ibn Mubarak, dua Sufyan, Al-
Anbari, serta Ulama lainnya. (Bahkan) ada yang menyatakan, bahwa mereka pernah
berkata “ Apabila kami meriwayatkan (Hadits) menyangkut perkara halal ataupun
haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami meriwayatkan hadits
tentang fadha’l al-a’mal, maka kami melonggarkanya” (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il,
251)
Bahkan
Imam Ahmad mengatakan :
إِنَّ ضَعِيْفَ الْحَدِيْثِ يُقَدَّمُ
عَلَى رَأْيِ الرِّجَالِ مجموع فتاوى ورسائل
Artinya :
“sesungguhnya Hadits Dha’if itu didahulukan dari pendapat
seseorang” (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, 251)
Namum begitu , kebolehan ini harus memenuhi syarat (
Sebagian Ulama lain mengatakan bahwa kebolehan mengamalkan Hadits Dha’if ada
dua syarat. Pertama, lafadz Hadits tersebut tidak disandarkan langsung pada
Nabi Muhammad SAW. Kedua, Hadits tersebut tidak bertentangan dengan Hadits
Shahih yang lain , atau hukum-hukum yang telah diketahui secara umum ( )
lihat..Syeikh Alaudin Ibn Al-Atthar dalam Fatawi ala imam al- Nawawi
al-Musammad bi al-masa’il al-mastsurah hal. 302 – 303). Pertama, bukan Hadits
yang Dha’if karena itu, tidak boleh mengamalkan Hadits yang diriwayatkan oleh
orang yang sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang sudah terbiasa
berbuat salah dan semacamnya. Kedua, masih berada dibawah naungan kententuan
umum serta kaidah-kaidah yang universal. Dengan kata lain, Hadits tersebut
tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah Agama, tidak sampai menghalalkan yang
Haram atau mengharamkan yang Halal. Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa perbuatan
tersebut berdasarkan Hadits Dha’if, namun perbuatan itu dilaksanakan dalam
rangka ihtiyath (Berhati-hati dalam masalah agama).[ Atas dasar syarat yang
ketiga ini, maka perbuatan yang dilakukan sebelumnya bukan semata-mata
berdasarkan pada hadits tersebut. Hadits Dha’if hanya dijadikan sebuah tanda
yang mempunyai kemungkinan benar. Hadits tersebut diamalkan semata-mata dalam
rangka ihtiyath ( berhati-hati dalam masalah Agama). Karena sesuatu yang
mempunyai kemungkinan untuk disunahkan, maka dalam rangka ihtiyath, perbuatan
tersebut disunnahkan dilakukan. Dan dalam rangka ihtiyath pula, setiap sesuatu
yang dikhawatirkan menjadi perbuatan Makruh, maka pekerjaan tersebut harus
dimakruhkan. Dengan begitu, mengamalkan Hadits Dha’if pada dasarnya untuk
mengamalkan prinsip ihtiyath, yang sudah pasti diakui oleh Syara’. Lihat…Sayyid
‘Alawi al-Maliki, Majmu’ Fatawi wa Rasa’il hal. 250.]
Maka,
dapat kita ketahui, walaupun Hadits Dha’if diragukan kebenarannya, namun tidak
serta merta ditolak dan tidak dapat diamalkan. Dalam hal-hal tertentu masih
diperkenankan mengamalkannya dengan syarat-syarat sebagaimana tersebut diatas.
Tentang
Aqiqah yang dikerjakan pada selain Hari ke Tujuh (7) yaitu pada hari keempat
belas, ke-21, setelah tua dan sebagainya adalah sebagai berikut :
قَالَ أَبُوْ بُرَيْدَةِ : قَالَ
النَّبِيُّ ص : اَلْعَقِيْقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ وَ ِلاَرْبَعَ عَشْرَةَ وَ
ِلاَحْدَى عِشْرِيْنَ. البيهقى والطبرانى
Artinya :
Telah
berkata Abu Buraidah : “Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Aqiqah itu
disembelih pada hari ke tujuh, atau keempat belas, atau kedua puluh satunya.
(HR. Baihaqi dan Tabrani)
قَالَ اَنَسٌ : اِنَّ النَّبِيَّ ص عَقَّ
نَفْسِهِ بَعْدَ الْبِعْثَةِ. البيهقى والبراز و محمد بن عبد المالك بن ايمان و
الطبرانى و الخلال
Artinya :
Telah
berkata Anas, “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW pernah ber-Aqiqah untuk dirinya
sesudah beliau menjadi Rasul. (HR. Baihaqi, Bazzar, Muhammad bin Abdul Malik
bin Aiman, Tabrani dan Khallal)
Keterangan :
Hadits
yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan Tabrani tentang kebolehan ber-Aqiqah pada
hari ke- empat belas, dank ke-dua puluh satu tersebut diatas adalah Dha’if
karena dalam Isnadnya terdapat seorang bernama Isma’il bin Muslim yang
dilemahkan oleh Imam-imam : Ahmad, Abu Zar’ah, Nasai, dan lain- lain.
Tentang
Shodaqoh seberat ranbut yang dicukur dari kepala si anak.
عَنْ عَلِيٍّ بْنِ اَبِى طَالِبٍ قَالَ :
عَقَّ رَسُوْلُ الله ص عَنِ الْحَسَنِ بِشَاةٍ وَ قَالَ : يَا فَاطِمَةُ اِحْلِقِى
رَاْسَهُ وَتَصَدَّقِى بِزِنَةِ شَعْرِهِ فَضَّةً فَوَزَنَتْهُ فَكاَنَ وَزْنُهُ
دِرْهَماً اَوْ بَعْضَ دِرْهَمٍ. الترمذى وحسنه وزاده غريب
Artinya :
Dari
ali bin Abu Thalib, ia berkata : “Rasulullah SAW telah
ber-Aqiqah bagi Hasan se-ekor Kambing dan bersabda, “ Ya Fatimah, cukurlah
Rambutnya dan bersedekahlah seberat rambut kepalanya dengan perak.” Maka adalah
beratnya satu dirham atau setengah dirham”. [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 37, dan
ia menghasankanya dan ditambahkannya Gharib]
Keterangan :
Hadits
tersebut menurut penyelidikan adalah munqathi’ (terputus). Karena dalam
Isnadnya terdapat seorang yang bernama Abu Ja’far bin Muhammad bin Ali, yang
tidak sezaman dengan Ali bin Abu Thalib.
Hadits dho’if tidaklah sama dengan
hadits maudhu’. Hadits dho’if adalah hadits yang bersumber dari Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bukan hadits yang dikarang-karang atau yang
dibuat-buat oleh sembarang manusia. Hanya saja salah satu pemangkunya
(sanadnya) ada yang terputus sehingga hadits itu menjadi dhoif, tapi tetap saja
hadits dhoif bukan hadits palsu!
Zaman awal Islam mulai berkembang,
hadits tidaklah dituliskan oleh para sahabat Nabi. Hal ini terjadi karena nabi
melarang menuliskan hadits-hadits baginda yang mulia. Rasul bersabda: “La
taktubul hadits!” Janganlah kamu menuliskan hadits,Uktubul Qur’an! Tuliskanlah
al Qur’an. (HR Muslim).
Dengan demikian, maka hadits hanya
beredar di kalangan sahabat melalui hafalan dari satu orang ke orang lain. Hal
ini berlangsung sampai tahun ke-100 Hijriyah. Saat itu, Khalifah Umar bin Abdul
Aziz mulai khawatir akan perkembangan hadits. Ada jutaan orang yang sudah
memeluk agama islam, dan generasi pun telah berubah, tidak lagi terdiri dari
sahabat-sahabat Nabi yang terkenal sangat jujur, tapi juga telah muncul
orang-orang di luar komunitas Arab yang sama sekali tidak jumpa Nabi. Dan, di
antara mereka ada yang kurang mujahadah dalam agama. Saat itu, mulailah muncul
tukang-tukang penjual cerita yang di antara mereka bahkan berani
mengarang-ngarang hadits, dan mengatakan bahwa hadits karangannya itu berasal
dari Nabi. Hal ini ini membuat para Ulama mulai khawatir.
Akhirnya dibuatlah sebuah tindakan
bid’ah hasanah oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan memerintahkan
ditulisnya hadits-hadits Nabi, sesuatu yang sebelumnya merupakan hal yang
sangat dilarang oleh Baginda Nabi. (Ini membuktikan bahwa para Ulama zaman Ta’biin,
yakni orang yang sempat bertemu dengan Sahabat Nabi, telah sepakat bahwa ada
bid’ah yang hasanah alias bid’ah yang baik dan akan diberi pahala oleh Allah
orang yang melakukannya. Salah satunya adalah dilakukannya penulisan dan
pengumpulan hadits. Hal ini sangat bertentangan dengan faham sekelompok kecil
umat Islam yang mengatakan bahwa semua bid’ah itu adalah sesat dan semua para
pelakunya kelak akan dicampakkan ke dalam neraka).
Alhamdulillah muncullah ilmu baru
dalam dunia Islam yakni ilmu Musthalah Hadits. Di antaranya adalah ilmu sanad
hadits, yakni memeriksa suatu hadits itu dari orang-orang yang menghafal dan
menyampaikannya terus diurut ke atas sampai kepada shahabat dan bersumber
kepada Nabi. Jika para pemangkunya (sanadnya) tidak terputus, terus bersambung
kepada Nabi, dan secara matan juga bagus maka hadits itu dinyatakan sebagai
hadits shohih. Namun, jika ada sanad yang terputus maka hadits tersebut disebut
hadits dhoif.
Saat itu jenis hadits hanya ada
tiga saja, pertama hadits shohih, kedua hadits dhoif, dan ketiga disebut hadits
maudhu’, yang pada hakekatnya hadits palsu.
Kelak Ilmu Hadits makin maju dan
berkembang dan istilah derajat hadits pun bertambah pula. Ada hadits shohih, hadits hasan lidzatihi,
hadits hasan lighoirihi, hadits mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi, hadits
dhoif, munkar, dan maudhu’ dll.
Kedudukan hadits Dhoif
Semua madzhab Imam yang Empat
yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali sepakat bahwa
hadits dhoif tidak boleh dibuang semuanya, karena hadits dhoif adalah hadits
Rasulullah yang berderajat dhoif, bukan hadits maudhu’. Imam Hambali, madzhab
beliau dipakai di Saudi Arabia dalam Mahkamah Syari’ah di sana, memutuskan bisa
mengambil hukum dengan bersandar pada hadits dhoif sekalipun, jika saja tidak
didapati ada hadits yang shohih dalam perkara tersebut. Imam Syafi’i memakai
hadits dhoif sebagai penyemangat dalam beramal (fadhoilul a’mal). Demikian juga
halnya Imam Hanafi dan Imam Maliki.
Sebagai contoh: Imam Hambali
mengambil hukum bersentuhnya kulit antara pria dan wanita dewasa yang bukan
mahrom membatalkan wudhu’. Padahal hadits ini kedudukannya dhaif, diriwayatkan
dari Aisyah ra. Meskipun demikian ulama empat mazhab tidak pernah menyesatkan
Imam Hambali atas tindakan beliau yang mengutip hadits dhaif sebagai dalil
untuk menegakkan hukum (hujjah).
Kenapa hadits dhoif tidak serta merta dibuang? Logikanya
begini!
Imam Hambali umpamanya. Beliau
menghafal sejuta hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Namun kenyataannya,
hadits yang beliau hafal itu hanya sempat dituliskan sebanyak 27.688 buah
hadits. Nah, kemana perginya yang 970 ribuan hadits lagi? Semua yang tersisa
itu Tentu karena TIDAK DAPAT DITULISKAN, BUKAN KARENA DIBUANG begitu saja! Hal
ini disebabkan karena kesibukan sang Imam dalam mengajar sehari-hari, menjawab
pertanyaan masyarakat, memberi fatwa dan juga beribadah untuk dirinya sendiri.
Sebagaimana diriwayatkan bahwa Imam Hambali setiap malam melakukan sholat
sekitar 300 rakaat banyaknya. Belum lagi karena keterbatasan peralatan saat itu.
Kertas belum banyak, juga tinta dan pena masih sangat sederhana. Sementara
mesin ketik, alat cetak, apalagi computer sama sekali belum ada. Sebab itulah
sedikit sekali hadits yang beliau hafal itu yang sempat ditulis dan sampai
kepada kita.
Namun demikian, tidaklah serta
merta hadits-hadits yang tidak sempat ditulis itu terbusng dan hilang begitu
saja. Para murid yang setiap hari bergaul
dengan sang guru pasti sempat memperhatikan dan menghafal setiap gerak langkah
sang guru. Dan, gerak langkah sang guru ini pastilah sesuai dengan tuntunan
sejuta hadits yang beliau hafal di dadanya. Sehingga kelak setelah sang guru
wafat para muridnya mulai menulis dalam berbagai masalah dengan rujukan
perilaku atau fiil sang guru tersebut. Prilaku sang guru tersebut kemudian hari
dituliskan juga sebagai hadits yang terwarisi oleh kita sehingga kini.
Dalam rangka memilah dan memilih
hadits dhaif para ulama hadits empat mazhab membagi-baginya dalam berbagai
bagian. Ada yang membaginya ke dalam 42 bagian, ada yang membaginya menjadi 49
bagian dan ada yang membaginya ke dalam 89 bagian. Hadits-hadits inilah yang
dipilah dan dipilih dan sebagiannya dapat diamalkan juga karena dhaifnya tidak
keterlaluan.
Ulama hadits bukanlah sembarangan
orang. Mereka memiliki ukuran tersendiri agar masuk ke dalam golongan ulama
hadits. Ada
ulama hadits yang sampai derajathafizh, yakni mereka yang telah menghafal 100
ribu hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Di atas derajat hafizh ada yang
disebut ulama hujjah, yakni mereka yang menghafal 300 ribu hadits beserta
sanad-sanadnya. Di atas kedua derajat ini ada lagi yang dinamai hakim, yakni
yang kemampuannya diatas hafizh dan hujjah. Dahsyat bukan?
Sayangnya, ada segelintir manusia
akhir zaman, yang mana dia bukan seoranghafizh, bukan pula seorang hujjah
apalagi seorang hakim, tetapi anehnya mereka berani bersuara lantang mengkritik
dan menuduh sesat amal serta keputusan ulama-ulama hadits terdahulu. Kata
mereka hadits ini dhoif, hadits itu mauhdu’, hadits ini munkar menyalahi
pendapat ahli hadits tempo dulu, padahal mereka tidak pernah sekalipun bertemu
dengan salah seorang pemangku (sanad) dari hadits yang mereka kritik itu.
Sementara yang mereka caci itu justru orang-orang yang pernah kenal, bertemu
dan bergaul langsung dengan para sanad tersebut. Lantas, ketika mereka sudah
mengatakan sanad ini dan sanad itu terpercaya, tiba-tiba muncul manusia yang
lahir entah zaman kapan dan hanya bermodal membaca buku di perpustakaan,
seenaknya saja menyalahkan ulama-ulama hadits tempo dulu, dan merasa paling
benar. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un! . Lalu mereka yang manakah yang
patut kita percaya?
Sebagai contoh sebuah persoalan
adalah masalah qunut shubuh. Imam Syafi’I, Imam Hakim, Imam Daruquthni, dan
Imam Baihaqi sepakat mengatakan bahwa hadits qunut shubuh adalah shahih,
sanadnya bagus, dan mengamalkannya adalah sunat. Tiba-tiba muncul manusia zaman
sekarang dengan modal nekat berani mengatakan qunut shubuh itu bid’ah, dan
seluruh pelakunya akan dicampakkan ke dalam neraka. Padahal, seluruh ulama Imam
Empat Madzhab tidak pernah mengatakan qunut shubuh itu bid’ah meskipun mereka
tidak mengamalkannya.
Sekarang terserah anda mau percaya
ulama hadits yang telah teruji tempo dulu, atau orang-orang nekat akhir zaman
yang rusak ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar