Minggu, 04 Mei 2014

TENTANG HADITS DHA’IF

Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatanya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin, Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafikkan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya.
Dan telah sepakat Jumhur para Ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal RA, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah RA bersama Rasulullah SAW yang Rasulullah SAW menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum thaharah.
Hadits dhoif ini banyak pembagiannya, sebagian Ulama mengklasifikasikannya menjadi 81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya dalam 42 bagian, namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk Amal Shalih, penyemangat, atau Manaqib, inilah pendapat yang Mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada Hadits palsu.
                 Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, Batil, maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikkan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasulullah SAW, dan tak satu Muhaddits pun yang berani menafikkan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasulullah SAW dan hukumnya kufur.
 Rasulullah SAW bersabda :
"Barangsiapa yg sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" [Shahih Bukhari hadits no.110].
Sabda beliau SAW pula :
 "sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka"[Shahih Bukhari hadits no.1229].
               
Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang sebagian ucapan / sunnah Rasulullah SAW, dan mendustakan ucapan Rasulullah SAW. Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman Rasulullah SAW, ilmu hadits itu adalah Bid'ah hasanah, baru ada sejak Tabi'in, mereka membuat syarat perawi hadits, mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan tak dikenal, namun mereka sangat berhati hati karena mereka mengerti hukum, bila mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak Ummat hingga akhir zaman dalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah SAW.
Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang mengaku-ngaku sebagai pakar hadits, seorang ahli hadits mestilah telah mencapai derajat Al hafidh, Al hafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100 ribu hadits berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal lebih dari 100 ribu hadits?.Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Al hujjah, yaitu yang hafal 300 ribu hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut : Hakim, yaitu yang pakar hadits yang sudah melewati derajat Al hafidh dan Al hujjah, dan mereka memahami banyak lagi hadits hadits yang teriwayatkan.(Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Atsqalaniy). Diatasnya lagi adalah derajat Imam, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1 juta hadits dengan sanad dan matannya, dan Ia adalah murid dari Imam Syafii RA, dan dizaman itu terdapat ratusan Imam-imam pakar hadits.
Perlu diketahui bahwa Imam Syafii ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafii lahir pada Tahun 150 Hijriyah dan wafat pada tahun 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari lahir pada tahun 194 Hijriyah dan wafat pada tahun 256 Hijriyah, maka sebagaimana sebagian kelompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa fatwa Imam syafii dengan berdalilkan Shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafii sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun, maka ia telah menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.
Lalu bagaimana dengan Saudara-saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan pendapat kepada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini?, mereka menusuk fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam-imam lainnya, seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi fatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka?, apa yg mereka fahami dari ilmu hadits?, hanya menukil nukil dari beberapa buku saja lalu mereka sudah berani berfatwa, apalagi bila mereka yang hanya menukil dari buku buku terjemah, memang boleh boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini sangat dhoif bila untuk dijadikan dalil.
Saudara saudaraku yang kumuliakan, kita tak bisa berfatwa dengan buku buku, karena buku tak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yg ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa fatwa Imam Imam terdahulu, terlebih lagi apabila yg dijadikan rujukan untuk merubuhkan fatwa para imam adalah buku terjemahan.
Sungguh buku buku terjemahan itu telah terperangkap dengan pemahaman si penerjemah, maka bila kita bicara misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1 juta hadits, lalu berapa luas pemahaman si penerjemah yg ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad dalam terjemahannya?
Bagaimana tidak?, sungguh sudah sangat banyak hadits hadits yg sirna masa kini, bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1 juta hadits, lalu kemana hadits hadits itu?, Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits no.27.688, maka kira kira 970 ribu hadits yg dihafalnya itu tak sempat ditulis…!
Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan Huffadh lainnya?, lalu logika kita, berapa juta hadits yg sirna dan tak sempat tertuliskan?, mengapa?
Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan, bayangkan saja seorang Imam besar yg menghadapi ribuan murid2nya, menghadapi ratusan pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah dimalam hari, harus pula menyempatkan waktu menulis hadits dengan pena bulu ayam dengan tinta cair ditengah redupnya cahaya lilin atau lentera, atau hadits hadits itu ditulis oleh murid2nya dg mungkin 10 hadits yg ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi sangat panjang bila dg riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya.
Bayangkan betapa sulitnya perluasan ilmu saat itu, mereka tak ada surat kabar, tak ada telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada pula percetakan buku, fotocopy atau buku yg diperjualbelikan..
Penyebaran ilmu dimasa itu adalah dengan ucapan dari guru kepada muridnya (talaqqiy), dan saat itu buku hanyalah 1% saja atau kurang dibanding ilmu yg ada pd mereka.
Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits seperti gurunya, namun paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci dari kejahatan syariah, karena di masa itu seorang yg menyeleweng dari syariah akan segera diketahui karena banyaknya ulama.
Oleh sebab itu sanad guru jauh lebih kuat daripada pedoman buku, karena guru itu berjumpa dengan gurunya, melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya, sebagaimana ibadah yg tertulis di buku, mereka tak hanya membaca, tapi melihat langsung dari gurunya, maka selayaknya kita tidak berguru kepada sembarang guru, kita mesti selektif dalam mencari guru, karena bila gurumu salah maka ibadahmu salah pula.
Maka hendaknya kita memilih guru yg mempunyai sanad silsilah guru, yaitu ia mempunyai riwayat guru guru yg bersambung hingga Rasul saw. Hingga kini kita ahlussunnah waljamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada buku buku, walaupun kita masih merujuk pada buku dan kitab, namun kita tak berpedoman penuh pada buku semata, kita berpedoman kepada guru guru yg bersambung sanadnya kepada Nabi saw, ataupun kita berpegang pada buku yg penulisnya mempunyai sanad guru hingga nabi saw. Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tak sebutkan dalilnya, apakah kita mendustakannya?, cukuplah sosok Imam Syafii yg demikian mulia dan tinggi pemahaman ilmu syariahnya, lalu ucapan fatwa fatwanya itu diteliti dan dilewati oleh ratusan murid2nya dan ratusan Imam sesudah beliau, maka itu sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada ada dan membuat buat hukum semaunya.
Maka muncullah dimasa kini pendapat pendapat dari beberapa saudara kita yg membaca satu dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud, atau berfatwa dengan semaunya dan fatwa fatwa mereka itu tak ada para Imam dan Muhaddits yg menelusurinya sebagaimana Imam imam terdahulu yg bila fatwanya salah maka sudah diluruskan oleh imam imam berikutnya, sebagaimana berkata Imam Syafii : “Orang yg belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yg mengumpulkan kayu baker digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yg terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433), berkata pula Imam Atsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yg tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433)
Semakin dangkal ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin mudah berfatwa dan menghukumi, semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati hati dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi.
Maka fahamlah kita, bahwa mereka mereka yg segera menafikan / menghapus hadits dhoif maka mereka itulah yg dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak tahu mana hadits dhoif yg palsu dan mana hadits dhoif yg masih tsiqah untuk diamalkan, contohnya hadits dhoif yg periwayatnya maqthu’ (terputus), maka dihukumi dhoif, tapi makna haditsnya misalnya keutamaan suatu amal, maka para Muhaddits akan melihat para perawinya, bila para perawinya orang orang yg shahih, tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima walau tetap dhoif, namun boleh diamalkan karena perawinya orang orang terpercaya, Cuma satu saja yg hilang, dan yg lainnya diakui kejujurannya, maka mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw, namun tetap dihukumi dhoif, dan masih banyak lagi contoh contoh lainnya,
Masya Allah dari gelapnya kebodohan.. sebagaimana ucapan para ulama salaf : “dalam kebodohan itu adalah kematian sebelum kematian, dan tubuh mereka telah terkubur (oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan”
‘AQIQOH
Pengertian ‘Aqiqah
Menurut bahasa ‘Aqiqoh artinya : Mmotong. Asalnya dinamakan ‘Aqiqoh, karena dipotongnya leher binatang dengan penyembelihan itu.
Adapula yang mengatakan bahwa ‘aqiqoh itu asalnya ialah : Rambut yang terdapat pada kepala si bayi ketika ia keluar dari rahim ibu, rambut ini de sebut ‘aqiqoh, karena ia mesti di cukur.
Adapun menurut istilah agama, yang di maksud ‘aqiqoh itu ialah : sembelihan yang di sembelih sehubungan dengan kelahiran seorang anak, baik laki-laki ataupun perempuan pada hari yang ketujuh semata-mata mencari ridlo Allah.
Sejarah ‘Aqiqoh
Syari’at ‘aqiqoh yaitu menyembelih 2 ekor kambing jika nakanya laki-laki, dan seekor kambing jika anaknya perempuan, telah di kenal dan biasa di lakukan orang sejak zaman jahiliyyah, namun dengan cara yang berbeda dengan ummat Islam saat ini.
Buraidah berkata :
كُنَّ فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ ِلأَحَدِناَ غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا, فَلَمَّا جَاءَ اللهُ بِاْلأِسْلاَمِ كُنَّ نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلْقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَحُهُ بِزَعْفَرَانِ. ابو داود
Artinya :
Dahuمu kami dimasa jahiliyyah apabila salah seorang diantara kami mempunyai anak, ia menyembelih kambing dan melumuri kepalanya dengan darah kambing itu. Maka setelah Allah mendatangkan Islam kami menyembelih kambing, mencukur ( menggunduli ) kepala si bayi dan melumurinya dengan minyak wangi. ( H.R. Abu Dawud juz 3, hal 107 )
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : كَانُوْا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا عَقُوْا عَنِ الصَّبِيِّ خَضَبُوْا قُطْنَةً. فَإِذَا حَلَقُوْا رَأْسَ الصَّبِيِّ وَضَعُوْهَا عَلَى رَأْسِهِ, فَقَالَ النَبِيُّ ص : إِجْعَلُوْا مَكَانَ الدَّمِ خَلُوْقاً. ابن حبان بترتيب ابن بلبان
Artinya :
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Dahulu orang-orang pada masa jahiliyyah apabila mereka ber’aqiqoh untuk seorang bayi, mereka melumuri kapas dengan darah ‘aqiqoh, lalu ketka mencukur rambut si bayi mereka melumurkan pada kepalanya.” Maka Nabi Muhammad SAW bersabda, “gantilah darah itu dengan minyak wangi. ( H.R. Ibnu Hibban dengan tartib Ibnu Balban juz 12, hal. 124)
Demikianlah sejarah syari’at ‘aqiqoh dalam Islam, dan dari riwayat-riwayat diatas serta riwayat-riwayat lain, tampak jelas bagaimana sikap agama tercinta ini dalam menghadapi adapt yang sudah biasa berjalan dan berlaku pada masyarakat dan masih mungkin diluruskan. Tegasnya, Islam sesuai dengan fungsi diturunkanya yaitu sebagai lambing kasih sayang serta memimpin ke arah jalan yang serba positif, maka dalam menghadapi adat istiadat yang sudah biasa dilakukan sekelompok manusia. Islam mengajarkan untuk meluruskannya dan kemudian berjalan bersama-sama dengan Islam, sebagaimana masalah ‘aqiqoh ini.
Adapun adapt-istiadat yang tidak mengandung unsur-unsur kemusyrikan dan kedholiman serta tidak bertentangan dengan agama, maka islam memelihara dan memberi hak hidup baginya untuk berkembang lebih lanjut dalam masyarakat tersebut tanpa sesuatu perubahanpun.
Dari keterangan hadits-hadits diatas dapat di ambil pelajaran bahwa adapt-istiadat yang berkembang dalam masyarakat tidak boleh di hancurkan, tapi dibenahi biar kondisi masyarakat lebih baik dan tidak terjadi suasana yang menegangkan antara masyarakat awam dengan pemuka agama seperti kyai, habaib, ustadz dll.
Hal-hal yang disyariatkan sehubungan dengan ‘aqiqoh
A.Yang berhubungan dengan sang anak
1.    disunnahkan untuk memberi nama dan mencukur rambut ( menggundul ) pada hari ke 7 sejak hari lahirnya. Misalnya lahir pada Hari Ahad, ‘aqiqohnya jatuh pada hari sabtu.
2.    Bagi anak laki-laki disunnahkan ber’aqiqoh dengan 2 ekor kambing sedang bagi anak perempuan 1 ekor.
3.    ‘Aqiqoh ini terutama dibebankan kepada orang tua si anak, tetapi boleh juga dilakukan oleh keluarga yang lain ( kakek dan sebagainya ).
4.    ‘Aqiqoh ini hukumnya sunnah.
Dalil-dalil Pelaksanaan:
عَنْ يُوْسُوْفَ بْنِ مَاهَكٍ أَنَّهُمْ دَخَلُوْا عَلَى حَصْفَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَسَأَلُوْهاَ عَنِ الْعَقِيْقَةِ, فَأَخْبَرَتْهُمْ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهاَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص اَمَرَهُمْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتاَنِ مَكَافِئَتاَنِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةً. الترمذى
Artinya :
Dari Yusuf bin Mahak bahwasannya orang-orang dating kepada hafsah binti ‘Abdurrahman, mereka menanyakan kepadanya tentang ‘aqiqoh. Maka hafsah memberitahukan kepada mereka bahwasannya ‘Aisyah memberi tahu kepadanya bahwa Rosulullah SAW telah memerintahkan para sahabat ( agar menyembelih ‘aqiqoh ) bagi anak laki-laki 2 ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan 1 ekor kambing. ( H.R. Tirmidzi 3 : 5 )
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ بْنِ الضَّبِيِّ قَالَ : قَالَ رُسُوْلُ اللهِ ص : مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ  فَاَهْرِقُوْا عَنْهُ دَماً وَاَمِيْطُوْا عَنْهُ اْلاَذَى. الخماعة الامسلما
Artinya :
Salman bin ‘Amir Adl-Dlaby, ia berkata : Rosulullah SAW bersabda, “ Tiap-tiap anak itu ada ‘aqiqohnya. Maka sembelihlah biantang ‘aqiqoh darinya dan buanglah kotoran darinya  ( cukurlah rambutnya ).”( H.R. Jama’ah kecuali muslim, nailuil authar 5 hal 149 )
عَنْ عَمْرِ بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ, قَالَ النَّبِيُّ ص مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتاَنِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ. احمد وابو داود والنسائ
Artinya :
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dan kakeknya berkata,telah bersabda Nabi Muhammad SAW, barang siapa yang berkehendak untuk meng’aqiqohkan anaknya maka kerjakanlah. Untuk anak laki-laki 2 ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan 1 ekor kambing.” ( H.R. Ahmad, Abu Dawud dan Nasai, dalam nailul authar 5, hal. 152 )
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ : عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ يَوْمَ السَّابِعِ وَسَمَّاهُمَا وَاَمَرَ اَنْ يُمَاطَ عَنْ رُؤُوْسِهِمَا اْلاَذَى. الحاكم فى المستدرك
Artinya : Dari ‘Aisyah RA, ia bekata, “ Rosulullah SAW pernah ber’aqiqoh untuk Hasan dan Husain pada hari ke-7 dari kelahirannya, beliau memberi nama dan memerintahkan supaya dihilangkan kotoran dari kepalanya ( dicukur ).” ( H.R. Hakim, dalam Al Mustadrok juz4, hal. 264 )
Keterangan :
Hasan dan Husain adalah cucu Rosulullah SAW.
عَنْ سَمُرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص : كُلَّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ
سَابِعِهِ وَيُسَمَّى فِيْهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ. الخمسة وصحصحه الترمذى, فى نيل الاوطار
Artinya : Dari samurah ia berkata : Rosulullah SAW bersabda, “ Tiap-tiap anak tergadai ( tergantung ) dengan ‘aqiqohnya yang disembelih untuknya pada hari ke-7 dan dihari itu ia diberi nama serta di cukur rambut kepalanya”. ( H.R. Khamsah dan dishahihkan oleh Tirmidzi, dalam Nailul Authar 5 : 149 )
B.            Yang berhubungan dengan binatang sembelihan
1. Dalam masalah ‘aqiqoh binatang yang digunakan sebagai sembelihan adalah kambing, tanpa memandang apakah jantan atau betina, sebagaimana riwayat di bawah ini :
عَنْ اُمِّ كُرْزِ الْكَعْبِيَّةِ اَنَّهَا سَاَلَتْ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنِ الْعَقِيْقَةِ فَقَالَ : نَعَمْ. عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ وَعَنِ اْلاُنْثَى وَاحِدَةٌ, لاَيَضُرُّكُمْ ذُكْرَاناً كُنَّ اَوْ اِناَثاً. احمد و الترمذى وصحصحه الترمذى, فى نيل الاوطار
Artinya : Dari ummu kurs Al Ka’bayah, bahwasannya ia pernah bertanya kepada Rosulullah SAW tentang ‘aqiqoh, maka sabda beliau SAW. “Ya, untuk anak laki-laki 2 ekor kambing dan untuk anka perempuan 1 ekor kambing. Tidak menyusahkanmu baik kambing itu jantan atau betina.” ( H.R. Ahmad dan Tirmidzi, dan Tirmidzi menshohihkannya, dalam Nailul Authar 5: 149 )
2. Waktu yang dituntunkan Nabi Muhammad SAW berdasarkan dalil yang shohih ialah pada hari ke-7 semenjak kelahiran anak tersebut ( lihat dalil riwayat ‘Aisyah dan Samurahdi atas ).
1.            Adzan dan Iqomah pada telinga bayi yang baru lahir.
عَنْ اَبِى رَافِعٍ قَالَ : رَاَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص أَذَّنَ فِى اُذُنَيِ الْحَسَنِ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ. احمد
Artinya : Dari Abu Rafi’ ia berkata, “ Saya pernah melihat Rosulullah SAW membaca adzan ( sebagaiman adzan ) sholat, pada kedua telinga Hasan ketika dilahirkan oleh Fatimah.” ( H.R. Ahmad juz 9, hal. 230, no. 23930 )
عَنْ حُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ رض قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص : مَنْ وُلِدَ لَهُ مُوْلُوْدٌ فَاَذَّنَ فِى اُذُنِهِ الْيُمْنَى وَاَقَامَ فِى اُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرُّهُ اُمُّ الصِّبْياَنِ. ابن السنى
Aritnya : Dari Husain bin Ali RA, ia berkata : Rosulullah SAW bersabda, “ Barang siapa mempunyai anak yang baru dilahirkan, kemudian ia mensuarakan adzan di telinga yang kanan, dan Iqomah di telinga yang kiri ( anak itu ) tidak di ganggu oleh Ummush shibyan ( sejenis syaithan ).” ( H.R. Ibnus sunni hal 220 )
Keterangan :
Hadits yang pertama diriwayatkan juga oleh Hakim dan Baihaqi serta diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan lafadz yang agak berbeda. Hadits itu dishahihkan oleh Imam Tirmdzi, dan Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Nu’aim dan Ath-thabrani sebagai berikut :
أَذَّنَ فِى اُذُنِ الْحَسَنِ وَ الْحُسَيْنِ رَضِيَ الله عَنْهُماَ. ابو نعيم والطبرانى
Artyinya :
“Beliau ( Nabi Muhammad SAW) membaca adzan pada telinga Hasan dan Husain RA” [HR Abu Nu’aim dan Thabrani]
Ketiga Hadits diatas menurut sebagian orang dikatakan Dhoif, tapi menurut ulama Hadits yang bernama Tir Imam Tirmidzi hadits – hadits diatas Shahih. Ulama Fiqih memandang boleh mengamalkan Hadits Dhoif seperti dalam keterangan bahwa Imam Nawawi pun mengamalkan Hadits Dhoif untuk Fadhoilul a’mal, contohnya :
Ketika beliau mengarang Kitab Ar Ba’in Nawawi (Kumpulan 40 Hadits Nabi), Keterangan yang sama diungkapkan oleh Syeikh Musthafa Muhammad Imarah :
وَتَفَقَّهَ ( اْلبُخَارِيُّ ) عَلَى مَذْهَبِ اْلإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللهُ عُنْهُ. جواهر البخاري
Artinya :
“Dan Imam Bukhori itu belajar mengikuti Madzab Safi’I RA ( Jawahir Al Bukhori, 10)
Apabila dianalogikan pada keahlian , maka Imam Bukhori diibaratkan pakar bahan baku, tetapi metode pengolahannya tetap mengikuti teori Imam Safi’I RA, disamping ahli “Bahan Baku’, beliau juga ahli mengolah “Bahan Baku” tersebut. Maka tidak heran apabila beliau menghasilkan produk Hukum yang diikuti oleh ummat Islam, termasuk juga para pakar Hadits.
Sebagai salah satu sumber hukum Islam, Hadits berfungsi menjelaskan, mengukuhkan serta ‘melengkapi’ firman Allah SWT yang terdapat dalam Al Qur’an. Diantara berbagai macam Hadits itu, ada istilah Hadits Dho’if. Dalam pengamalannya, terjadi silanng pendapat di antara ulama’. Sebagian ada kalangan yang tidak membenarkan untuk mengamalkan Hadits Dho’if. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Hadits tersebut bukan dari Nabi Muhammad SAW. Lalu apakah sebenarnya yang di sebut Hadits Dho’if itu? Benarkah kita itdak boleh mengamalkannya?
Secara umum Hadits itu ada tiga macam. Pertama, Hadits Shohih, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan kuat, mempunyai sanad ( mata rantai orang yang meriwayatkan Hadits ) yang bersambung ke Rosulullah SAW, tidak memiliki kekurangan serta tidak syadz ( menyalahi aturan umum ). Para Ulama’ sepakat bahwa Hadits ini dapat dijadikan dalil, baik dalam masalah hukum, aqidah dan lainnya. Kedua, Hadits Hasan, yakni Hadits yang tingkatannya berada di bawah Hadits shohih, karena para periwayat Hadits ini mempunyai kualitas yang lebih rendah dari para perawi Hadits Shohih. Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana Hadits Shohih. Ketiga, Hadits Dho’if yakni Hadits yang bukan Shohih dan juga bukan Hasan, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi Hadits, atau para perawinya tidak mencapai tingkat sebagai perawi Hadits Hasan.
                Hadits Dho’if ini dibagi menjadi dua, Pertama, ada riwayat lain yang dapat menghilangkan dari ke-dho’if-annya. Hadits semacam ini disebut Hadits Hasan li Ghairih, sehingga dapat diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar’i. Kedua, Hadits yang tetap dalam ke-dho’i-annya. Hal ini terjadi karena tidak ada riwayat lain yang menguatkan, atau karena para perawi Hadits yang lain itu termasuk orang yang dicurigakan sebagai pendusta, tidak kuat hafalannya atau fasiq.
                Dalam kategori yang kedua ini, para Ulama mengatakan bahwa Hdits Dho’if  hanya dapat diberlakukan dalam fadha’il al-a’mal  ( Yang dimaksud dengan Fadha’il al-a’mal I adalah setiap ketentuan yang tidak berhubungan dengan aqidah, tafsir atau hukum, yakni Hadits-Hadits yang menjelaskan tentang targhib wa tarhib [janji-jani dan ancaman Allah SWT] ). Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa telah terjadi ijma’  dikalangan ulama tentang kebolehan mengamalkan Hadits Dha’if jika berkaitan dengan fadha’il al-a’mal ini. Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat Al-Qur’an, serta akidah, maka apa yang termakstub dalam Hadits Dha’if tersebut tidak dapat dijadikan pedoman. Sebagaimana yang disitir oleh Sayyid ‘Al awi al Maliki dalam Kitabnya Majmu’ Fatawi wa Rasa’il:
أَجْمَعَ اَهْلُ الْحَدِيْثِ وَغَيْرُهُمْ عَلَى اَنَّ الْحَدِيْثَ الضَّعِيْفَ يَعْمَلُ بِهِ فِى فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ وَمِمَّنْ قَالَ بِذَلِكَ اْلإِمَامُ اَحْمَدْ بْنُ حَنْبَلِ وَ ابْنُ الْمُباَرَكِ وَالسُّفْيَانَانِ وَالْعَنْبَرِيُّ وَغَيْرُهُمْ. فَقَدْ نُقِلَ عَنْهُمْ اَنَّهُمْ قَالُوْا اِذَا رَوَيْناَ فِى الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ شَدَدْناَ وَاِذاَ رَوَيْناَ فِى الْفَضِائِلِ تَسَاهَلْناَ. مجموع فتاوى ورسائل
Artinya :
“Para Ulama ahli Hadits dan lainnya sepakat bahwa Hadits Dha’if dapat dijadikan pedoman dalam masalah fadha’il al-a’amal. Diantara Ulama yang mengatakannya adalah Imam Ahmad Bin Hanbal, Ibn Mubarak, dua Sufyan, Al- Anbari, serta Ulama lainnya. (Bahkan) ada yang menyatakan, bahwa mereka pernah berkata “ Apabila kami meriwayatkan (Hadits) menyangkut perkara halal ataupun haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami meriwayatkan hadits tentang fadha’l al-a’mal, maka kami melonggarkanya” (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, 251)
                Bahkan Imam Ahmad mengatakan :
إِنَّ ضَعِيْفَ الْحَدِيْثِ يُقَدَّمُ عَلَى رَأْيِ الرِّجَالِ مجموع فتاوى ورسائل
Artinya :
“sesungguhnya Hadits Dha’if itu didahulukan dari pendapat seseorang” (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, 251)
Namum begitu , kebolehan ini harus memenuhi syarat ( Sebagian Ulama lain mengatakan bahwa kebolehan mengamalkan Hadits Dha’if ada dua syarat. Pertama, lafadz Hadits tersebut tidak disandarkan langsung pada Nabi Muhammad SAW. Kedua, Hadits tersebut tidak bertentangan dengan Hadits Shahih yang lain , atau hukum-hukum yang telah diketahui secara umum (                                           ) lihat..Syeikh Alaudin Ibn Al-Atthar dalam Fatawi ala imam al- Nawawi al-Musammad bi al-masa’il al-mastsurah hal. 302 – 303). Pertama, bukan Hadits yang Dha’if karena itu, tidak boleh mengamalkan Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang sudah terbiasa berbuat salah dan semacamnya. Kedua, masih berada dibawah naungan kententuan umum serta kaidah-kaidah yang universal. Dengan kata lain, Hadits tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah Agama, tidak sampai menghalalkan yang Haram atau mengharamkan yang Halal. Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan Hadits Dha’if, namun perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka ihtiyath (Berhati-hati dalam masalah agama).[ Atas dasar syarat yang ketiga ini, maka perbuatan yang dilakukan sebelumnya bukan semata-mata berdasarkan pada hadits tersebut. Hadits Dha’if hanya dijadikan sebuah tanda yang mempunyai kemungkinan benar. Hadits tersebut diamalkan semata-mata dalam rangka ihtiyath ( berhati-hati dalam masalah Agama). Karena sesuatu yang mempunyai kemungkinan untuk disunahkan, maka dalam rangka ihtiyath, perbuatan tersebut disunnahkan dilakukan. Dan dalam rangka ihtiyath pula, setiap sesuatu yang dikhawatirkan menjadi perbuatan Makruh, maka pekerjaan tersebut harus dimakruhkan. Dengan begitu, mengamalkan Hadits Dha’if pada dasarnya untuk mengamalkan prinsip ihtiyath, yang sudah pasti diakui oleh Syara’. Lihat…Sayyid ‘Alawi al-Maliki, Majmu’ Fatawi wa Rasa’il hal. 250.]
                Maka, dapat kita ketahui, walaupun Hadits Dha’if diragukan kebenarannya, namun tidak serta merta ditolak dan tidak dapat diamalkan. Dalam hal-hal tertentu masih diperkenankan mengamalkannya dengan syarat-syarat sebagaimana tersebut diatas.
                Tentang Aqiqah yang dikerjakan pada selain Hari ke Tujuh (7) yaitu pada hari keempat belas, ke-21, setelah tua dan sebagainya adalah sebagai berikut :
قَالَ أَبُوْ بُرَيْدَةِ : قَالَ النَّبِيُّ ص : اَلْعَقِيْقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ وَ ِلاَرْبَعَ عَشْرَةَ وَ ِلاَحْدَى عِشْرِيْنَ. البيهقى والطبرانى
Artinya :
                Telah berkata Abu Buraidah : “Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Aqiqah itu disembelih pada hari ke tujuh, atau keempat belas, atau kedua puluh satunya. (HR. Baihaqi dan Tabrani)
قَالَ اَنَسٌ : اِنَّ النَّبِيَّ ص عَقَّ نَفْسِهِ بَعْدَ الْبِعْثَةِ. البيهقى والبراز و محمد بن عبد المالك بن ايمان و الطبرانى و الخلال
Artinya :
                Telah berkata Anas, “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW pernah ber-Aqiqah untuk dirinya sesudah beliau menjadi Rasul. (HR. Baihaqi, Bazzar, Muhammad bin Abdul Malik bin Aiman, Tabrani dan Khallal)
Keterangan :
                Hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan Tabrani tentang kebolehan ber-Aqiqah pada hari ke- empat belas, dank ke-dua puluh satu tersebut diatas adalah Dha’if karena dalam Isnadnya terdapat seorang bernama Isma’il bin Muslim yang dilemahkan oleh Imam-imam : Ahmad, Abu Zar’ah, Nasai, dan lain- lain.
                Tentang Shodaqoh seberat ranbut yang dicukur dari kepala si anak.
عَنْ عَلِيٍّ بْنِ اَبِى طَالِبٍ قَالَ : عَقَّ رَسُوْلُ الله ص عَنِ الْحَسَنِ بِشَاةٍ وَ قَالَ : يَا فَاطِمَةُ اِحْلِقِى رَاْسَهُ وَتَصَدَّقِى بِزِنَةِ شَعْرِهِ فَضَّةً فَوَزَنَتْهُ فَكاَنَ وَزْنُهُ دِرْهَماً اَوْ بَعْضَ دِرْهَمٍ. الترمذى وحسنه وزاده غريب
Artinya :
                Dari ali bin Abu Thalib, ia berkata : “Rasulullah SAW telah ber-Aqiqah bagi Hasan se-ekor Kambing dan bersabda, “ Ya Fatimah, cukurlah Rambutnya dan bersedekahlah seberat rambut kepalanya dengan perak.” Maka adalah beratnya satu dirham atau setengah dirham”. [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 37, dan ia menghasankanya dan ditambahkannya Gharib]
Keterangan :
                Hadits tersebut menurut penyelidikan adalah munqathi’ (terputus). Karena dalam Isnadnya terdapat seorang yang bernama Abu Ja’far bin Muhammad bin Ali, yang tidak sezaman dengan Ali bin Abu Thalib.
Hadits dho’if tidaklah sama dengan hadits maudhu’. Hadits dho’if adalah hadits yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bukan hadits yang dikarang-karang atau yang dibuat-buat oleh sembarang manusia. Hanya saja salah satu pemangkunya (sanadnya) ada yang terputus sehingga hadits itu menjadi dhoif, tapi tetap saja hadits dhoif bukan hadits palsu!
Zaman awal Islam mulai berkembang, hadits tidaklah dituliskan oleh para sahabat Nabi. Hal ini terjadi karena nabi melarang menuliskan hadits-hadits baginda yang mulia. Rasul bersabda: “La taktubul hadits!” Janganlah kamu menuliskan hadits,Uktubul Qur’an! Tuliskanlah al Qur’an. (HR Muslim).
Dengan demikian, maka hadits hanya beredar di kalangan sahabat melalui hafalan dari satu orang ke orang lain. Hal ini berlangsung sampai tahun ke-100 Hijriyah. Saat itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai khawatir akan perkembangan hadits. Ada jutaan orang yang sudah memeluk agama islam, dan generasi pun telah berubah, tidak lagi terdiri dari sahabat-sahabat Nabi yang terkenal sangat jujur, tapi juga telah muncul orang-orang di luar komunitas Arab yang sama sekali tidak jumpa Nabi. Dan, di antara mereka ada yang kurang mujahadah dalam agama. Saat itu, mulailah muncul tukang-tukang penjual cerita yang di antara mereka bahkan berani mengarang-ngarang hadits, dan mengatakan bahwa hadits karangannya itu berasal dari Nabi. Hal ini ini membuat para Ulama mulai khawatir.
Akhirnya dibuatlah sebuah tindakan bid’ah hasanah oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan memerintahkan ditulisnya hadits-hadits Nabi, sesuatu yang sebelumnya merupakan hal yang sangat dilarang oleh Baginda Nabi. (Ini membuktikan bahwa para Ulama zaman Ta’biin, yakni orang yang sempat bertemu dengan Sahabat Nabi, telah sepakat bahwa ada bid’ah yang hasanah alias bid’ah yang baik dan akan diberi pahala oleh Allah orang yang melakukannya. Salah satunya adalah dilakukannya penulisan dan pengumpulan hadits. Hal ini sangat bertentangan dengan faham sekelompok kecil umat Islam yang mengatakan bahwa semua bid’ah itu adalah sesat dan semua para pelakunya kelak akan dicampakkan ke dalam neraka).
Alhamdulillah muncullah ilmu baru dalam dunia Islam yakni ilmu Musthalah Hadits. Di antaranya adalah ilmu sanad hadits, yakni memeriksa suatu hadits itu dari orang-orang yang menghafal dan menyampaikannya terus diurut ke atas sampai kepada shahabat dan bersumber kepada Nabi. Jika para pemangkunya (sanadnya) tidak terputus, terus bersambung kepada Nabi, dan secara matan juga bagus maka hadits itu dinyatakan sebagai hadits shohih. Namun, jika ada sanad yang terputus maka hadits tersebut disebut hadits dhoif.
Saat itu jenis hadits hanya ada tiga saja, pertama hadits shohih, kedua hadits dhoif, dan ketiga disebut hadits maudhu’, yang pada hakekatnya hadits palsu.
Kelak Ilmu Hadits makin maju dan berkembang dan istilah derajat hadits pun bertambah pula. Ada hadits shohih, hadits hasan lidzatihi, hadits hasan lighoirihi, hadits mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi, hadits dhoif, munkar, dan maudhu’ dll.
Kedudukan hadits Dhoif
Semua madzhab Imam yang Empat yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali sepakat bahwa hadits dhoif tidak boleh dibuang semuanya, karena hadits dhoif adalah hadits Rasulullah yang berderajat dhoif, bukan hadits maudhu’. Imam Hambali, madzhab beliau dipakai di Saudi Arabia dalam Mahkamah Syari’ah di sana, memutuskan bisa mengambil hukum dengan bersandar pada hadits dhoif sekalipun, jika saja tidak didapati ada hadits yang shohih dalam perkara tersebut. Imam Syafi’i memakai hadits dhoif sebagai penyemangat dalam beramal (fadhoilul a’mal). Demikian juga halnya Imam Hanafi dan Imam Maliki.
Sebagai contoh: Imam Hambali mengambil hukum bersentuhnya kulit antara pria dan wanita dewasa yang bukan mahrom membatalkan wudhu’. Padahal hadits ini kedudukannya dhaif, diriwayatkan dari Aisyah ra. Meskipun demikian ulama empat mazhab tidak pernah menyesatkan Imam Hambali atas tindakan beliau yang mengutip hadits dhaif sebagai dalil untuk menegakkan hukum (hujjah).
Kenapa hadits dhoif tidak serta merta dibuang? Logikanya begini!
Imam Hambali umpamanya. Beliau menghafal sejuta hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Namun kenyataannya, hadits yang beliau hafal itu hanya sempat dituliskan sebanyak 27.688 buah hadits. Nah, kemana perginya yang 970 ribuan hadits lagi? Semua yang tersisa itu Tentu karena TIDAK DAPAT DITULISKAN, BUKAN KARENA DIBUANG begitu saja! Hal ini disebabkan karena kesibukan sang Imam dalam mengajar sehari-hari, menjawab pertanyaan masyarakat, memberi fatwa dan juga beribadah untuk dirinya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Imam Hambali setiap malam melakukan sholat sekitar 300 rakaat banyaknya. Belum lagi karena keterbatasan peralatan saat itu. Kertas belum banyak, juga tinta dan pena masih sangat sederhana. Sementara mesin ketik, alat cetak, apalagi computer sama sekali belum ada. Sebab itulah sedikit sekali hadits yang beliau hafal itu yang sempat ditulis dan sampai kepada kita.
Namun demikian, tidaklah serta merta hadits-hadits yang tidak sempat ditulis itu terbusng dan hilang begitu saja. Para murid yang setiap hari bergaul dengan sang guru pasti sempat memperhatikan dan menghafal setiap gerak langkah sang guru. Dan, gerak langkah sang guru ini pastilah sesuai dengan tuntunan sejuta hadits yang beliau hafal di dadanya. Sehingga kelak setelah sang guru wafat para muridnya mulai menulis dalam berbagai masalah dengan rujukan perilaku atau fiil sang guru tersebut. Prilaku sang guru tersebut kemudian hari dituliskan juga sebagai hadits yang terwarisi oleh kita sehingga kini.
Dalam rangka memilah dan memilih hadits dhaif para ulama hadits empat mazhab membagi-baginya dalam berbagai bagian. Ada yang membaginya ke dalam 42 bagian, ada yang membaginya menjadi 49 bagian dan ada yang membaginya ke dalam 89 bagian. Hadits-hadits inilah yang dipilah dan dipilih dan sebagiannya dapat diamalkan juga karena dhaifnya tidak keterlaluan.
Ulama hadits bukanlah sembarangan orang. Mereka memiliki ukuran tersendiri agar masuk ke dalam golongan ulama hadits. Ada ulama hadits yang sampai derajathafizh, yakni mereka yang telah menghafal 100 ribu hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Di atas derajat hafizh ada yang disebut ulama hujjah, yakni mereka yang menghafal 300 ribu hadits beserta sanad-sanadnya. Di atas kedua derajat ini ada lagi yang dinamai hakim, yakni yang kemampuannya diatas hafizh dan hujjah. Dahsyat bukan?
Sayangnya, ada segelintir manusia akhir zaman, yang mana dia bukan seoranghafizh, bukan pula seorang hujjah apalagi seorang hakim, tetapi anehnya mereka berani bersuara lantang mengkritik dan menuduh sesat amal serta keputusan ulama-ulama hadits terdahulu. Kata mereka hadits ini dhoif, hadits itu mauhdu’, hadits ini munkar menyalahi pendapat ahli hadits tempo dulu, padahal mereka tidak pernah sekalipun bertemu dengan salah seorang pemangku (sanad) dari hadits yang mereka kritik itu. Sementara yang mereka caci itu justru orang-orang yang pernah kenal, bertemu dan bergaul langsung dengan para sanad tersebut. Lantas, ketika mereka sudah mengatakan sanad ini dan sanad itu terpercaya, tiba-tiba muncul manusia yang lahir entah zaman kapan dan hanya bermodal membaca buku di perpustakaan, seenaknya saja menyalahkan ulama-ulama hadits tempo dulu, dan merasa paling benar. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un! . Lalu mereka yang manakah yang patut kita percaya?
Sebagai contoh sebuah persoalan adalah masalah qunut shubuh. Imam Syafi’I, Imam Hakim, Imam Daruquthni, dan Imam Baihaqi sepakat mengatakan bahwa hadits qunut shubuh adalah shahih, sanadnya bagus, dan mengamalkannya adalah sunat. Tiba-tiba muncul manusia zaman sekarang dengan modal nekat berani mengatakan qunut shubuh itu bid’ah, dan seluruh pelakunya akan dicampakkan ke dalam neraka. Padahal, seluruh ulama Imam Empat Madzhab tidak pernah mengatakan qunut shubuh itu bid’ah meskipun mereka tidak mengamalkannya.
Sekarang terserah anda mau percaya ulama hadits yang telah teruji tempo dulu, atau orang-orang nekat akhir zaman yang rusak ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar