PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANG TAHLILAN
Maha Suci Allah SWTyang telah
menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai penjelas dan
pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi
umat manusia. Semoga Allah SWT mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita
semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima
kebenaran hakiki.
Telah kita ketahui bersama bahwa Acara
Tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh umumnya
masyarakat di Indonesia
untuk mengenang hari kematian seseorang. Secara bersama-sama, berkumpul sanak
keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat
Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan
kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil
yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan
ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah
“Tahlilan”.
Termasuk perkara
penting yang sering
menjadi perdebatan sengit,
bahkan terkadang menyebabkan putusnya hubungan yaitu
berkumpulnya keluarga orang yang meninggal di suatu tempat untuk menyambut orang‐orang yang datang
untuk melayat jenazahnya,
dan telah menjadi tradisi kalau
keluarga dari orang
yang telah meninggal dunia
berkumpul dalam satu tempat
(di rumah duka), demi memudahkan para
pelayat. daripada harus mengunjungi satu persatu dari keluarga orang yang telah
meninggal tersebut. Terutama jika ia tidak sempat mengantarkan jenazahnya, yang
terkadang disediakan makanan, seperti pada pesta kecil-kecilan.
Sebenarnya acara tahlilan telah
lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang
selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada
Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki
oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Hal ini jelas kita temui pada Firman Allah SWT
pada Surah An Nisaa’: 59 (artinya) : “Maka jika kalian berselisih pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul
(As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang
demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.”
Untuk itu perlu kita melihat dasar-dasar pemikiran dan
dalil-dalil yang diambil oleh kalangan yang pro maupun yang kontra tentang
Tahlilan ini.
KALANGAN YANG MENDUKUNG
TAHLILAN
Madzhab Ahlussunnah
wal Jama’ah mempergunakan
Ijma’ dan Qiyas
kalau tidak mendapatkan
dalil nash yang
shahih (jelas) dari Al‐Qur’an dan As‐Sunnah. Kita tidak
dapat menghalalkan sesuatu atau mengharamkan sesuatu, kecuali dengan
dalil‐dalil yang jelas berdasarkan ke 4
sumber hukum di atas. Janganlah kita
mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah
SWT dan Rasul‐Nya, dan jangan
pula menghalalkan apa yang
diharamkan Allah SWT dan Rasul‐Nya. Di dalam Ilmu Fiqih apabila kita melihat suatu
perbuatan di tengah‐tengah masyarakat,
kita tidak bisa dengan secepat mungkin
berkata halal atau haram. Kita sebaiknya mengikuti dan mengambil pelajaran dari
kisah sahabat Mu’adz r.a. ketika beliau
di utus oleh Rasulullah saw ke negeri Yaman.
“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke
Yaman, Rasulullah bersabda
bagaimana engkau menentukan apabila
tampak kepadamu suatu
ketentuan? Mu’adz menjawab; saya
akan menentukan hukum dengan
kitab Allah? kemudian nabi bersabda; kalau
tidak engkau jumpai
dalam kitab Allah? Mu’adz
menjawab; dengan Sunnah Rasulullah
s.aw. kemudian nabi
bersabda; kalau tidak
engkau jumpai dalam Sunnah
Rasulullah dan dalam
kitab Allah? Mu’adz menjawab;
saya akan berijtihad dengan pendapat
saya dan saya
tidak kembali; Mu’adz
berkata: maka Rasulullah memukul dadanya,
kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah
yang telah memberikan
taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai‐Nya."
Langkah yang
di ambil dari
sahabat Mu’adz r.a. di
atas dapat kita
jadikan pedoman dalam mengambil
suatu langkah‐langkah hukum
agama apabila kita
melihat dan mendapati amalan baru‐baru yang berkembang di
masyarakat.
Pengiriman hadiah pahala bagi
mayit ini sunnah
secara syariat sebagaimana Rasulullah SAW. mencontohkan
dan membolehkannya, ketika
salah seorang yang
menemui Rasulullah SAW dan
bertanya tentang suatu
hal sebagaimana teriwayat
dalam hadist berikut:
- “ Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dluha.” (Hadits riwayat: Muslim).
- Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, Bolehkah aku bersedekah atas namanya?”, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
- Seorang laki‐laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ayahku meninggal dunia, dan ia meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan?” Ujar Nabi SAW, “Dapat!” [HR. Ahmad, Muslim dari Abu Hurairah]
Memang hadist di atas adalah berhubungan dengan sedeqah jariyah bagi
si mayit namun jelas sekali kejadian di
atas adalah ketika orang tua dari sang lelaki
itu telah meninggal, bukan ketika
orang tua masih hidup pada saat sang anak menyedekahkan harta sang Ibu dan
pahalanya bagi orang tua mereka.
Jadi jelaslah bahwa
sang anak mensedeqahkan harta
dari orang tuanyadan mengirim menghadiahkan pahala sedeqah tersebut bagi
orang tuanya yang telah meninggal dunia.
Banyak hadist hadist dari Rasulullah saw. dan riwayat sahabat r.a.
yang nyata dan kuat membolehkan mengirim
pahala bagi mayit khususnya lewat bacaan
Al‐Qur’an, doa dan sedeqah adalah dari
hadist‐hadist berikut ini :
- Abu Muhammad As Samarkandy, Ar Rafi’iy dan Ad Darquthniy, masing‐masing menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib k.w. bahwa Rasul saw bersabda: “Barangsiapa lewat melalui kuburan, kemudian ia membaca “Qul Huwallahu Ahad” sebelas kali dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur, ia sendiri akan memperoleh sebanyak yang diperoleh semua penghuni kubur”.
- Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: “Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘Al Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhakumut takatsur’, lalu ia berdoa Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firmanMu pada kaum Mu’minin dan Mu’minat penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya(pemberi syafaat) pada hari kiamat”.
- Diriwayatkan oleh Daruquthni bahwa seorang laki‐laki bertanya, “Ya Rasulullah SAW, saya mempunyai ibu bapak yang selagi mereka hidup, saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana caranya saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia?” Ujar Nabi SAW, “Berbakti setelah mereka meninggal, caranya ialah dengan melakukan shalat untuk mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu!”
- Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda: “Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar‐benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar‐benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!”
- Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata; Nabi SAW telah menunaikan shalat jenazah, aku mendengar Nabi SAW berdoa; Ya Allah!! ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkan dia.”
- Dalam riwayat lainnya dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Apabila seorang mukmin membaca ayat Kursi dan menghadiahkan pahalanya kepada para penghuni kubur, maka Allah akan memasukkan empat puluh cahaya ke setiap kubur orang mukmin mulai dari ujung dunia bagian timur sampai barat, Allah akan melapangkan liang kubur mereka, memberi pahala enam puluh orang nabi kepada yang membaca, mengangkat satu derajat bagi setiap mayit, dan menuliskan sepuluh kebajikan bagi setiap mayit.”
- Al‐Baihaqiy di dalam Sya’bul‐Iman mengetengahkan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Mi’qal bin Yassar r.a., dan dalam Al‐Jami’ush‐Shaghir dan Misykatul‐Mashabih bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa membaca Yasin semata‐mata demi keridhoan Allah, ia memperoleh ampunan atas dosa‐dosanya yang telah lalu. Karena itu hendaknya kalian membacakan Yasin bagi orang – orang yang telah meninggal dunia di antara kalian.”
- Diriwayatkan pula bahwa Siti Aisyah pernah beritikaf atas nama adiknya Abdurrahman bin Abu Bakar yang telah meninggal dunia. Bahkan Siti Aisyah juga memerdekakan budak atas namanya (adiknya). (Al Imam Qurthubi di dalam kitab At‐Tadzkirat Bi Ahwali al‐Mauta wa Umur al‐Akhirat.
Hadits‐hadits di atas dijadikan dalil oleh para ulama salaf dan kalaf untuk menfatwakan
kebolehan mengirim / menghadiahkan pahala
baik sedeqah, bacaan Al Qur’an dan
mendoakan bagi mayit.
Sedangkan mengenai tentang jamuan
makanan / minuman ala kadarnya bagi tamu ketika
tahlilan (para pelayat
/ pentakziyah) merupakan amalan mulia
yang sangat dianjurkan
untuk memuliakan mereka (tamu).
Jamuan sederhana (ala kadarnya) ini bisa di kategorikan sebagai
sedeqah dari keluarga (shohibul
bait) yang mana pahala dari sedeqah ini bisa
di hadiahkan kepada mayyit (yang meninggal) atau untuk dirinya sendiri
(keluarga mayyit). Memberi jamuan yang
biasa diadakan ketika
ada orang meninggal,
hukumnya boleh (mubah),
dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi
jamuan itu termasuk
ibadah yang terpuji
dan dianjurkan. Sebab,
jika dilihat dari
segi jamuannya termasuk
sedekah yang dianjurkan
oleh Islam yang
pahalanya dihadiahkan pada
orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati
tamu), dengan bersabar menghadapi musibah dan
tidak menampakkan rasa susah dan
gelisah kepada orang lain.
Mengenai makan
dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya,
dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy : “Riwayat Hadits
riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya
dengan sanad shahih,
dari ayahnya, dari
seorang lelaki anshar,
berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam
suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan
dari arah kepala,
ketika selesai maka
datanglah seorang utusan
istri almarhum, mengundang
Nabi saw untuk
bertandang kerumahnya, lalu
Rasul saw menerima undangannya dan
kami bersamanya, lalu
dihidangkan makanan, lalu
Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun
menaruh tangan kami dimakanan itu
lalu kesemuanyapun makan.
Riwayat Abu
Dawud dan Baihaqi
dalam Dalail Nubuwwah,
demikian pula diriwayatkan
dalam AL Misykaah,
di Bab Mukjizat,
dikatakan bahwa ketika
beliau saw akan
pulang maka datanglah
utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg
jelas bahwa Rasulullah saw
mendatangi undangan keluarga
duka, dan berkumpul
bersama sahabat beliau
saw setelah penguburan dan makan”. (Tuhfatul Ahwadziy Juz
4 hal 67).
Imam Thawus berkata: Seorang yang
mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya selama
7 hari. Untuk
itu, sebaiknya mereka (yang masih
hidup) mengadakan jamuan makan
(sedekah) untuknya selama hari‐hari
tersebut. Sahabat Ubaid ibn Umair
berkata: “Seorang mukmin dan seorang munafiq sama‐sama akan mengalami ujian
dalam kubur.
Bagi
seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama
40 hari di waktu pagi.” (Al Hawi lil Fatawa as Suyuti, Juz II hal
178)
KALANGAN YANG MENOLAK
TAHLILAN
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu
agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam
sebagai agamamu.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 3). disini Allah mengatakan bahwa Agama
Islam telah sempurna.
Dalam memahami Ayat ini Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah mempunyai Paham sempurna secara pemikiran dan poko-pokok Agama (hal yang penting-penting), tidak kok
menyangkut seluruh teknis pelaksanaan ibadah. Hal-hal yang tidak diterangkan
Nabi Muhammad SAW diterangkan oleh Ulama
ahli Ijtihad, karena sabda Nabi :”Ulama adalah pewaris Nabi”, seperti kisah Hadits
Muadz ketika diutus ke Yaman.
Sebagai pembanding hadits tentan Bid’ah
adalah hadits lain yaitu, Hadits Muslim No. 1017 :
“Barangsiapa memulai perbuatan baik dalam
Islam ( Bid’ah Khasanah) maka is dapat pahala dan tambahan pahala, dari oang
yang ikut-ikutan tanpa mengurangi pahala orang yang ikut-ikutan tersebut”
“Barangsiapa memulai perbuatan jelek dalam
Islam (Bid’ah Dholalah) maka ia dapat dosa dan tambahan dosa dari orang yang
ikut-ikutan tanpa mengurangi dosanya orang yang ikut-ikutan.”
·
Segala bentuk bid’ah dalam
Ad-Dien hukum ialah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam “Arti : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan
yg baru, krn sesungguh mengadakan hal yg baru ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah
sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].
·
Dan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,“Arti : Barangsiapa mengadakan hal yg baru yg
bukan dari kami maka peruntukan tertolak”.
a) Menurut mayoritas Ulama seperti sang pendekar Hadits Imam Nawawi, dalam
Fathul Bar ( Syarah Hadits Bukhori ) juz 4 hal 253 :
b)
Al Baihaqi dalam manaqib Imam
Syafi’I Juz 1 hal 469.
c)
Imam Muhammad in Ismail dalam
kitab Subulus salam syarah / penjelasan kitab Hadits Bulughul Marom juz 2 hal
48.
d)
Imam Muhammad bin ali dalam
Nailul Author juz 3 hal 25.
e)
Syeikh Ibnu Taimiyah dalam
majmuk Fatawa juz 2 hal 163.
f)
Dan ratusan Ulama Ahli Hadits
lain menyatakan Hadits tentang Bid’ah yang dipahami mayoritas Bid’ah sesat
tetapi tidak seluruhnya, sehingga Bid’ah dibagi menjadi 2 yaitu : Bid’ah
Khasanah (Bid’ah yang baik ) dan Bid’ah Dholalah ( Bid’ah
yang Buruk ).
Hadis riwayat Muslim : “Jika
manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga : “sedekah jariyah,
ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya”. Mereka
berkata : “Kata-kata “terputuslah
amalnya” menunjukkan bahwa amal-amal apapun kecuali yang tiga itu
tidak akan sampai pahalanya kepada mayit.
- Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-39). Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: “Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”
Jawaban
Ahlus Sunnah pada bab Berikutnya dengan Judul Dalil yang dikemukakan oleh
orang-orang yang membantah.
Islam telah menunjukkan hal yang
dapat dilakukan oleh mereka yang telah ditinggal mati oleh teman, kerabat atau
keluarganya yaitu dengan mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan
ditempatkan di surga Alloh subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal
adalah orang tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah
do’a anak yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di
dunia.
Ayat dan hadits di atas
menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak
butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan
maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam.
Memang secara sepintas pula,
penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan
dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan
tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan
tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja
tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan
perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir
bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di
rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan
bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211), tetapi dalam Kitab-kitab Madzhab Safi’I terdapat ratusan keterangan yang membolehkan berkumpul.
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami.
Sebagaimana bimbingan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya: “Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara
(kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya). Kenyataan di Masyarakat
secara tidak langsung tetangga dan orang lain yang memberi Gula, Beras, The,
Mie dan bahan makan lainya. Jadi pengamal Yaasin dan Tahlil sudah melaksanakan
Hadits di atas.
Sekali lagi, bukan pihak yang
sedang berduka yang harus menyajikan makanan untuk para pelawat .
1. Ulama sepakat bahwa amal jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang
soleh, pahalanya akan tetap mengalir kepada si mayit.
2. Ulama menyepakati doa akan sampai kepada mayit, sedangkan masalah bacaan
Al-Qur'an, tahmid, tahlil yang dilakukan orang lain kepada si mayit ulama masih
berbeda pendapat. Tidakkah lebih baik apabila anak sendiri yang memberikan
sedekah tahmid, tahlil kepada orang tua dan baru beramai2 berdoa untuk si
mayit?? Kalau keluarga mampu dan bila Keluarga tidak paham Agama bisa minta
tolong Ustad atau Kyai yang mampu dan bisa.
3. Penyediaan makanan dan minuman bagi para penta’ziyah atau para hadirin
haruslah disiapkan oleh para tetangga atau keluarga jauh dari si mayit tanpa
membebankan keluarga dekat si mayit. Dalam penyediaan ini juga harus dihindari
kemubadziran dalam penyediaannya.Adapun berkumpulnya masyarakat di rumah
keluarga si mayit bisa dikategorikan kedalam bentuk ta’ziyah dan menghibur
Keluarga yang ditinggalkan mayit.
DALIL YANG DIKEMUKAKAN
OLEH ORANG-ORANG YANG MEMBANTAH
Orang-orang yang membantah
pendirian ini, yaitu orang-orang yang ber-I’itiqad, bahwa setiap orang hanya menerima pahala yaitu dari umatnya
saja memajukan pula beberapa dalil dari ayat-ayat Qur’an, tetapi syang
mereka tersalah dalam memahamkan ayat itu, karena kekurangan ilmu pengetahuan
atau karena kekurangan kitab-kitab Hadits.
Mereka memajukan dalil-dalil
begini :
v
Dalil Pertama.
Dalan Qur’an, kata mereka, ada
sebuah ayat yang berbunyi : “dan
bahwasanya manusia tidak akan mendapat (pahala) melainkan dari usaha yang telah
dikerjakan” (Surat
An Najmi – Ayat 39) Ini ayat terang benderang, bahwa manusia tidak akan
mendapat pahal dari amal orang lain bagaimana jugapun.
Orang yang ber-I’ituqad bahwa
boleh menghadiahkan pahala dan pahala itu sampai kepada mayat tidak mengetahui
ini, termasuk orang orang yang bodoh yang tidak pandai, kata mereka.
Jawab Kita :
Ayat
ini menerangkan apa hokum yang terjadi pada syari’at Nabi Musa dan Nabi
Ibrahim, bukan hokum yang terjadi dalam syari’at Nabi Muhammad SAW. Dalam
syari’at Nabi Musa dan Nabi Ibrahim memang begitu, tetapi dalam syari’at Nabi
Muhammad SAW, Tidak! Dalam menunjukan dalil harus jujur, jangan mengelabuhi
mata orang, dan jangan mengambil dalil sepotong-sepotong saja.
Pangkal Ayat ini
berbunyi seluruhnya begini :
“Atau belumkah dikabarkan kepadanya apa yang
ada dalam kitab-kitab Nabi Musa dan kitab Nabi Ibrahim yang memenuhi
kewajibannya, bahwa tiada memikul seorang akan dosa orang lain, dan bahwasannya
tiada yang didapat oleh manusia selain yang diusahakannya” ( Surat An Najmi : 36-39)
Jelas
dalam susunan ayat ini adalah dalam syari’at Nabi Musa dan Nabi Ibrahim AS.,Berkata Ahli tafsir Khazin :“Adalah yang demikian itu untuk kaum Ibrahim
dan Musa, dan adapun bagi ini (Ummat Islam) maka mereka bias mendapat pahala
dari usahanya dan dari usaha orang lain”. (lihat tafsir khazin jilid VI, pagina 223)
Dan
berkata Sahabat Nabi, ahli tafsir yang utama. Saidina Ibnu Abbas RA. Dalam
menafsirkan ayat surat An Najmi 39 itu: “ini dibatalkan hukumnya dalam syari’at ini
dengan perkataan tuhan pada Surat
At Thur, ayat 21, maka dimasukan anak kedalam syurga dengan kebajikan yang
diperbuat Bapaknya” (lihat Khazin,
juzu’ VI, pagina 223)
Jadi ayat yang dimajukan mereka
ini sudah masuk dalam syari’at Islam dari Nabi Muhammad SAW, tak boleh
dimajukan lagi menjadi dalil.
v
Dalil yang kedua :
Ada orang yang memajukan
dalil yang membatalkan hadiah pahala, yaitu Firman Tuhan :“Allah tidak membebani seseorang melainkan hanya sekedar kesanggupannya,
baginya apa yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
diperbuatnya” ( Al Baqarah : 286 )
Mereka
berkata : Lihatlah ayat ini menerangkan
bahwa setiap orang hanya mendapat apa yang diusahakannya, dan ia mendapat
hukuman dari kejahatan yang diperbuatnya. Usaha orang lain tidak akan didapat
pahalanya, dan kejahatan orang lain tidak akan dipikulkan dosanya.
Jawab
Kita :
- Mereka keliru dalam mengartikan ayat ini, karena dalam ayat ini tidak ada pengertian “hanya”, yaitu bahwa setiap orang “hanya” mendapat pahala (upah) dari usahanya saja, bukan, bukan. Ayat ini hanya mengkhabarkan bahwa setiap orang mendapat upah dari usahanya yang baik, dan setiap orang mendapat siksa dari usahanya yang jahat. Adapun kalau ada orang memberi atau menghadiahkan pahala, maka itu didapatnya juga.
Sama keadaanya denga ucapan
seseorang bahwa setiap orang mendapat untung dari usahanya. Ucapan begini tidak
menghalangi bahwa orang bias juga mendapat uang dari bukan hasil usahanya,
umpamanya harta pusaka ibunya, yang diberika kepadanya, hadiah dari sanak
saudaranya, dan lain-lain sebagainya.
Perhatikan ayat ini bukan berbunyi
:
“ia tidak mendapat pahala melainkan dari kebajikan yang diusahakannya,
dan ia tidak disiksa, melainkan dari kejahatan yang dikerjakan”. Tetapi ayat ini berbunyi : “ia mendapat pahala dari kebajikan yang
diusahakanny, dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya”.
Perhatikanlah baik-baik supaya
jangan keliru dalam mengartikan sesuatu ayat Qur’an suci.
Dalam dalil-dalil yang kita majukan boleh dilihat bahwa :
- Pahala naik Haji didapat oleh ibu, sedang yang mengerjakan adalah anaknya atau karib kerabatnya.
- Pahala Ibadat puasa didapat oleh seseorang, walaupun mengerjakan hanya anaknya atau walinya ( Ahli Warisnya).
- Pahal Qurban didapat oleh setiap orang mukmin, walaupun yang mengerjuakan hanya Nabi.
- Pahala membaca ayat-ayat Suci diterima oleh seseorang, walaupun yang membaca hanya orang lain.
- Pahal tasbih kayu didapat oleh mayat, walaupun bukan ia yang membaca tasbihy itu.
- Pahala keimanan seorang Bapak bias diterima anaknya.
- Pahala do’a orang yang hidup memberi Faedah kepada orang-orang yang telah wafat, walaupun bukan pekerjaannya.
- Pahala orang sembahyang jenazah yang tiga Saf diterima oleh mayat itu, walaupun ia tidak ikut sembahyang.
- dan begitulah seterusnya.
Jadi
Hadits-hadits itu tegas menyatakan bahwa seseorang yang telah meninggal akan
mendapat keringanan kalau didoakan, ditahlilkan, kalau dibacakan ayat-ayat
Qur’an, kalau dipuasakan, kalau dihajikan, dan lain-lain sebagainya.
Dari
itu maka layaklah dinamai orang-orang yang menentang Hadits-hadits yang shahih
ini, kaum yang sesat lagi menyesatkan, naudzubillah.
v Dalil yang ketiga:
Ada orang yang memajukan
dalil begini :“Mempercayai bahwa
seseorang bisa menerima hadiah pahala kalau ia sudah meninggal dan pahala itu
bias menolongnya di akhirat, bias melemahkan orang-orang yang hendak beribadat,
karena ia sudah mengharapkan saja pahala yang akan diberikan orang kepadanya
kalau ia sudah meninggal”, demikian kata mereka,
Jawab Kita :
1.
Ini bukan dalil yang boleh dibawa ketengah untuk
hukum-hukum agama. Ini hanya sekedar pendapat
Dalil-dalil dalam memperkatakan
agama hanyalah Qur’an, Hadits, Itjma’, dan Qias. Pendapat seseotang tidak boleh
menjadi dalil, karena setiap orang mempunyai pendapat, dan kadang-kadang
berlainan pendapat itu.
2.
Logika pendapat itu tidak kena, tidak tepat.
Setiap ummat Islam yakin bahwa ia
akan mendapat Pusaka dari peninggalan Ibu Bapaknya. Apakah hal ini akan
membikin ia malas berusaha? Tidak! Buktinya lihat dipasar, berjuta-juta orang
Islam berdagang dan berusaha.
v
Dalil yang keempat
Ada orang yang bernafsu dan beringas mengatakan bahwa
imam safi’I berpendapat bahwa pahala-pahala bacaan ayat suci tidak sampai
kepada mayat, walaupun dihadiahkan dan didoakan kepada Tuhan untuk
menyampaikannya. Kalau Tuan menganut madzab safi’I – katanya – Tuan harus
mengikuti ini.
JAWAB KITA :
ü Yang pertama :
Baik! Kami ternagkan bahwa didalam
kalangan madzab Safi’I, dan bahkan dalam kalangan ummat Islam sepakat bahwa pahala
sedekah itu sampai kepada mayat, juga imam Safi’I berpendapat begini.
Imam Nawawi, seorang Ulama
Mujtahid Fatwa dalam madzab Safi’I mengatakan dalam kitab Syarah Hadits muslim
begini :“Barangsiapa yang hendak berbuat
kebajikan kepada Ibu Bapaknya,
ia boleh bersedekah, dan pahala
sedekah itu sampai kepada mayat, dan mayat mendapat manfaat dari padanya. Hal
ini taka ada pertikaian antara kaum muslimin dan inilah pendapat yang benar”.
( Syarah Muslim Juzu’ 1, pagina 89 )
Lalu Imam Nawawi sesudah menerangkan
ini, lantas menyambung ucapan beliau, begini :
“ Adapun yang dikabarkah oleh qadhi Abu Hasan Almawardi dalam kitabnya
Al Hawi, bahwa sebagian ahli berpendapat banwa mayat itu tida akan menerima
apa-apa lagi sesudah wafatnya, maka itu adalah madzhab yang salah, jelasa
batalnya, karana berlawanan dengan nash-nash kitabullah, sunnah dan ijma’
ummat. Pendapat itu tidak layak untuk di perhatikan. “ (Syarah Muslim,juzu’ 1, pagina 90 )
ü
Yang kedua :
Dalam soal bacaan Al Qur’an Imam
Syafi’I rohoma kumullah mempunyai dua fatwa, sekali beliau mengatakan pahala
bacaan bisa sampai kepada mayat, dan sekali beliau mengatakan banwa pahala
bacaan ayat suci tidak bisa di hadiahkan.
Tetapi fatwa kedua, walaupun
masyhur tetap fatwa yang dho’if yang tidak terpakai dalam madzhab Syafi’i. Berkata
Imam Nawawi dalam syarah Muslim :
“ adapun bacaan Al Qur’an maka yang masthur
dalam madzhab Imam Syafiu’i tidaklah sampai pahalanya kalau dihadiahkan, tetapi
sebagian sahabat-sahabat beliua berftawa bahwa pahala bacaanpun boleh
dihadiahkan dan sampai kepada mayat”. ( Sahih Muslim juzu 1, pagina 90)
Tersebut dalam kitab I’anatut
Tholibin, sebuah kitab Fiqih Syafi’I yang terpakai di Indonesia, begini : “
Perkataan tidak sampai pahala bacaan kepada mayat” adalah pendapat yang dho’if,
dan berfatwa sebagian sahabat katanya sampai! Begitu dalam kitab Bujairimi. (
I’anatut Tholibin juz 3. Pagina 221 )
Jadi jelaslah ada dua fatwa Imam
Syafi’I dalam soal bacaan ayat-ayat suci untuk mayat. Sekali beliau berfatwa
sampai pahala bacaan, dan sekali berfatwa tidak sampai, tetapi kata Imam
Bujairimim, bahwa perkataan yang kedua ini adalah perkataan yang dho’if, tidak
terpakai dalam madzhab Syafi’i.
Tersebut dalam Kitab Fatkhul Muin yang artinya begini :
“ berfatwa dengan sampai pahala
bacaan kebanyakann dari imam-imam madzhab kita, ( maksudkan madzhab Imam
Syafi’I ) begitu juga yang mu’tamad dari imam Subkhi ( seorang ulama syafi’iyah
yang terkenal) dan lain-lain”. ( Fathul
muin dalam bab wasiat ).
Lantas
pengarang fathul muin menyimpulkan :
“ Fatwa imam syafi’I yang
mengatakan tidak sampai itu ialah bacaan itu tidak dilakukan dihadapan mayat,
dan pula tidak diniatkan untuk mayat itu, atau ia niatkan tetapi tidak
dimintakan ( didoakan ) kepada Tuhan untuk menyampaikannya “.
Dan
tersebut dalam kitab Al Adzkar, karangan imam nawawi begini : “Berkata Imam Syaf’I dan kebanyakan
sahabat-sahabat beliau : Sunat membacakan sedikit ayat Qur’an dihadapan mayat.
Kalau dapat dibacakan sekhatam Qur’an dihadapan mayat adalah baik sekali”. ( Al Adzkar. Pagina 147 )
Nah,
Imam Syafi’I mengatakan bahwa sunat membacakan Qur’an dihadapan mayat. Sahabat
beliau mengatakan bahwa kalau dibacakan Qur’an sampai tammat sekhatam di
hadapan maya adalah baik sekali.
Dari uraian di atas dapat di
ambil kesimpulan :
1. Dalam madzhab Syafi’I sepakat berfatwa
pahala doa, pahala sedekah, pahala waqaf, dapat dihadiahkan kepada mayat dan
sampai kepadanya.
2. Tetapi pahala bacaan ayat-ayat suci, ada
fatwa Imam Syafi’i yang mengatakan sampai, dan adapula perkataan beliau yang
mengatakan tidak sampai, tetapi perkataan paling akhir ini dho’if ( lemah )
walaupun banyak tersiar.
3. Kebanyakan sahabat Imam Syafi’I berpegang
kepada kata yang pertama, yaitu sampai pahala bacaan, sama juga dengan do’a,
sedekah, dan lain-lain.Pendapat inilah yang dipegang dan diamalkan dalam
lingkungan madzhab Syafi’I sekarang.
4. Hadits-hadits Nabi banyak sekali yang
mengatakan sampai itu. Menutup permasalahan pahala ini kami ambil kesimpulan,
bahwa barang siapa yang beri’itaq bahwasanya seseorang manusia tidak akan dapat
manfa’at atau faedah melainkan hanya dari amalannya sendiri, maka orang itu
telah melawan ijma’ Ulama-ulama yang besr, dan keluar dari I’itiqad Kaum
Ahlusunnah Wal Jama’ah.
Alasan-alasannya adalah :
1. Orang
mu’min dan mu’minat yang telah terdahulu wafat, mendapat faedah do’a, mu’min
dan mu’minat yang masih hidup.
2. Nabi
Muhammad SAW, memberi syafa’at kepada manusia nanti di akhirat (di padang Mahsyar ) dan
syafa’at itu dapat menolong manusia.
3. Nabi
Muhammad memberi Syafa’at kepada sebagian manusia nanti di akhirat. Mereka
dikeluarkan dari Neraka dan dimasukan kedalam Syurga dengan Syafa’at Nabi
Muhammad SAW.
4. Malaikat-malaikat
ada yang Berdo’a minta ampunkan orang di bumi, do’a malaikat dikabulkan Allah
SWT.
5. Allah SWT akan memberikan Rahmat mengeluarkan sebagian orang dari dalam neraka, dan memasukkannya ke dalam Syurga, padahal orang itu tidak pernah membuat kebaikan sedikitpun sewaktu di dunia.
6. Bahwasannya
orang-orang yang telah mati mendapat manfa’at dari sedekah-sedekah orang yang
hidup.
7. Anak-anak
mendapat manfa’at dari amalan bapaknya sebagai tersebut dalam kisah dua orang
anak yatim tersebut dalam surat
Kahfi ayat 80 dan 81.
8. Anak-anak
Mu’min masuk Syurga dengan amalan Bapaknya.
9. Hutang
ibadah Haji boleh dibayar oleh Ahli Warisnya.
10. Zakat Fitrah anak-anak dikeluarkan oleh ibu bapaknya.
11. Zakat harta anak-anak dan orang gila yang dikeluarkan dari hartanya
oleh orang lain adalah sah dan mereka mendapat pahala dari itu padahal ia tidak
berusaha mengeluarkan Zakat itu.
12. Sembahyang Jum’at maka sah ialah tersebab berkaum-kaum (Berjama’ah).
13. Allah SWT tidak akan menyiksa sesuatu kaum yang durhaka, kalau Nabi
masih ada disisinya. ( Anfaal :33 ).
14. Menyembahyangkan Jenazah dan mendoakan Jenazah berfaedah kepada
yang disembahyangkan itu.
15. Haji nazar atau puasa nazar boleh dibayar oleh orang lain, kalau
yang bersangkutan tak sempat membayarnya.
16. Nabi tidak mau menyembahyangkan orang yang berhutang, kalau
hutangnya belum dibayar oleh ahli warisnya.
17. Hutang manusia ketika hidup, bisa dibayar oleh orang lain sesudah
yang berhutang itu meninggal, dan hutang itu lunas dunia akhirat.
18. Orang yang aniaya kalo dima’afkan oleh yang dianiaya lepas
hutangnya.
19. Setiap Manusia mendapat manfa’at dari tetangga yang baik.
20. Orang yang duduk dalam lingkungan orang Dzikir, disayangi Allah SWT
walaupun ia tidak ikut dzikir.
21. Anak boleh menggantikan Bapaknya yang tua dalam ibadah Haji.
22. Oranglain boleh menggantikan orang lain dalam ibadah Haji, kalau
yang digantikanya itu sudah wafat, asal yang menggantikan itu sudah mengerjakan
haji wajib untuk dirinya.
23. Pahala Qurban Nabi Muhammad SAW, diberikan sebagian kepada ummat
beliau.
24. Ibadah seseorang tergantung pahalanya, kalau hutangnya belum
dibayar oleh orang yang hidup.
25. Tiga Saf menyebahyangkan Jenazah berfaedah
kepada mayat itu.
26. Orang dalam kubur, dapat faedah dari kayu yang ditanam oleh orang
yang hidup di atas kuburnya.
27. Dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar