MAULID DAN KEKONYOLAN WAHABI
Wahabi: “Berapa kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum merayakan maulid?”
Sunni: “Kalau merayakan maulid dengan berpuasa, maka telah menjadi
sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak bisa dihitung
berapa kali. Tapi kalau maksudnya merayakan maulid dengan acara yang
kami lakukan memang tidak pernah.”
Wahabi: “Kalau tidak pernah
merayakan maulid seperti yang kalian rayakan mengapa kalian tidak cukup
berpuasa saja, tanpa perayaan yang beliau tidak pernah mencontohkan?”
Sunni: “Pertanyaan Anda justru sejak awal salah dan tidak ilmiah.
Sehingga akhirnya Anda mengeluarkan keputusan hukum yang salah pula.
Pertanyaan awam Anda yang selalu diulang-ulang kepada kaum awam adalah:
Berapa kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merayakan maulid?
Berapa kali Khalifah Abu Bakar merayakan maulid?
Berapa kali Khalifah Umar merayakan maulid? Dan seterusnya.
Inilah rangkaian dari banyak pertanyaan Anda yang bodoh dan disebarkan
kepada kaum Muslimin untuk membodohi mereka dengan kedok kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah.”
Wahabi: “Kok bisa, pertanyaan-pertanyaan kami dianggap salah dan suatu kebodohan?”
Sunni: “Dalam teori ilmu ushul fiqih, seorang penuntut/penggugat
(mu’taridh) tidak boleh menanyakan dalil khusus kepada mustadil (ulama
yang berdalil), misalnya harus dalil dari al-Qur’an dan hadits secara
nash (tekstual). Tuntutan semacam ini adalah kebodohan. Karena di dalam
agama, dalil itu ada banyak macamnya. Dalil-dalil yang disepakati oleh
seluruh ulama ada empat; al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sementara
dalil-dalil yang masih diperselisihkan masih banyak lagi, seperti
mashalih mursalah, saddu al-dzari’ah, istihsan, ‘amal ahl al-madinah,
fatwa shahabi, dan lain-lain. Nah, karena dalil dalam pengambilan hukum
tidak hanya terbatas pada al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga mencakup
terhadap Ijma’ dan Qiyas, maka ketika seorang ulama menjawab suatu
persoalan hukum dengan dalil Ijma’ dan Qiyas, jawabannya dapat diterima
dan harus dihargai.”
Wahabi: “Mana dalilnya, bahwa fatwa ulama yang tidak berdasarkan nash al-Qur’an dan Sunnah harus diterima?”
Sunni: “Fatwa ulama yang tidak berdasarkan nash al-Qur’an dan Sunnah
harus diterima apabila memiliki dalil yang lain, seperti Ijma’ dan
Qiyas, atau selain Ijma’ dan Qiyas menurut ulama yang mengakuinya. Ini
yang disebut dengan proses ijtihad atau istinbath. Hal tersebut sesuai
dengan hadits-hadits berikut ini:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي
الله عنه أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ إِذَا
حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا
حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. رواه البخاري (6805).
“Apabila seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka
ia memperoleh dua pahala. Dan apabila melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya
keliru, maka ia memperoleh satu pahala.” (Al-Bukhari [6805]).
Dalam hadits di atas, jelas sekali keutamaan ulama yang mengeluarkan
hukum berdasarkan ijtihad, ketika tidak ada nash dalam al-Qur’an dan
hadits, apabila hasil ijtihadnya benar, maka mendapatkan dua pahala, dan
jika salah maka mendapatkan satu pahala.
Dalam hadits yang sangat populer juga disebutkan:
عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ
مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا
أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ « كَيْفَ تَقْضِى
إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ». قَالَ أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ «
فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ ». قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ
-صلى الله عليه وسلم-. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ
اللهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ فِى كِتَابِ اللهِ ». قَالَ أَجْتَهِدُ
رَأْيِى وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- صَدْرَهُ
وَقَالَ « الْحَمْدُ للهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللهِ لِمَا
يُرْضِى رَسُولَ اللهِ ». رواه أبو داود والترمذي وأحمد
Dari
beberapa orang penduduk Himash dari kalangan sahabat Mu’adz bin Jabal,
bahwa ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam hendak mengutus
Mu’adz ke Yaman (sebagai Qadhi), beliau bersabda: ”Bagaimana cara kamu
memutuskan hukum, apabila menghadapi suatu persoalan?” Mu’adz menjawab:
”Aku akan memutuskan berdasarkan Kitabullah.” Beliau bertnya: ”Apabila
kamu tidak menemukan keputusan dalam Kitabullah? ” Mu’adz menjawab:
”Berdasarkan Sunnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam.” Beliau
bertanya: ”Apabila kamu tidak menemukan dalam Sunnah Rasulullah
shallallahu ’alaihi wasallam dan tidak menemukan pula dalam Kitabullah?”
Mu’adz menjawab: ”Aku berijtihad dengan pendapatku secara
sungguh-sungguh”. Lalu Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam memukul
dada Mu’adz seraya bersabda: ”Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah pada apa yang diridhai
oleh Allah.” (HR. Al-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Perhatikan
dalam hadits di atas, bagaimana Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam
mendidik umatnya, ketika menghadapi persoalan yang tidak terdapat nash
dalam al-Qur’an dan hadits, agar melakukan ijtihad, dan hal itu termasuk
diridhai oleh Allah. Dalam hadits di atas, ketika Mu’adz bin Jabal
ditanya tentang persoalan yang tidak ada nash dalam al-Qur’an dan
hadits, beliau tidak menjawab, aku akan menghukumi bid’ah kepada
persoalan tersebut, karena setiap bid’ah itu sesat dan masuk neraka.
Tetapi Mu’adz akan berijtihad dengan sungguh-sungguh. Semua hukum tidak
bisa didalili dengan hadits kullu bid’atin dholalah.
Dalam hadits lain, juga diriwayatkan:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ رَجُلٌ مِنْ الأَنْصَارِ
يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ وَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً
يَقْرَأُ بِهَا لَهُمْ فِي الصَّلاةِ مِمَّا يُقْرَأُ بِهِ افْتَتَحَ
بِقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا ثُمَّ يَقْرَأُ سُورَةً
أُخْرَى مَعَهَا وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَكَلَّمَهُ
أَصْحَابُهُ فَقَالُوا إِنَّكَ تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ثُمَّ لا
تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِأُخْرَى فَإِمَّا تَقْرَأُ
بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ بِأُخْرَى فَقَالَ مَا أَنَا
بِتَارِكِهَا إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ وَإِنْ
كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِهِمْ
وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ فَلَمَّا أَتَاهُمْ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرُوهُ الْخَبَرَ فَقَالَ يَا فُلانُ
مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ وَمَا
يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُومِ هَذِهِ السُّورَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَقَالَ
إِنِّي أُحِبُّهَا فَقَالَ حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ. (رواه
البخاري).
“Dari Anas radhiyallahu ‘anhu: “Seorang laki-laki dari
kaum Anshar selalu menjadi imam mereka di Masjid Quba’. Kebiasaannya,
setiap ia akan memulai membaca surat dalam shalat selaku imam mereka, ia
akan mendahului dengan membaca surah Qul Huwallaahu ahad sampai
selesai, kemudian membaca surah yang lain bersamanya. Dan ia melakukan
hal itu dalam setiap raka’at. Lalu para jamaahnya menegurnya dan
berkata: “Anda selalu memulai dengan surah (al-Ikhlash) ini, kemudian
Anda merasa tidak cukup sehingga membaca surah yang lain pula. Sebaiknya
Anda membaca surah ini saja, atau Anda tinggalkan dan membaca surah
yang lain saja.” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak akan meninggalkan
surah al-Ikhlash ini dalam setiap raka’at jika kalian senang aku menjadi
imam kalian, aku tetap begitu. Jika kalian keberatan, akan berhenti
menjadi imam kalian.” Sementara para jamaah memandang laki-laki itu
orang yang paling utama di antara mereka. Mereka juga tidak mau jika
selain laki-laki itu yang menjadi imam shalat mereka. Maka ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada mereka, mereka pun
menceritakan perihal imam tersebut. Lalu beliau bertanya kepada
laki-laki itu: “Wahai fulan, apa yang menghalangimu untuk melakukan apa
yang diperintahkan oleh sahabat-sahabatmu dan apabula yang mendorongmu
membaca surat al-Ikhlash ini secara terus menerus dalam setiap raka’at?”
Ia menjawab: “Aku sangat mencintainya.” Beliau bersabda: “Cintamu pada
surah ini akan mengantarmu masuk surga.” (HR. al-Bukhari).
Perhatikan hadits di atas, seorang laki-laki yang menjadi imam kaum
Anshar di Masjid Quba’, memiliki kebiasaan yang berbeda dengan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu membaca surah al-Ikhlash
dalam setiap raka’at shalatnya ketika menjadi imam, sebelum membaca
surah yang lain. Ketika hal tersebut dilaporkan kaumnya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau justru bertanya, apa
dasarnya membuat kebiasaan yang berbeda dengan orang kebanyakan itu.
Lalu laki-laki tersebut menjawab, dasarnya karena sangat mencintai surah
al-Ikhlash. Atas dasar inilah, laki-laki tersebut berijtihad untuk
membaca surah al-Ikhlash dalam setiap raka’at. Dan ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar alasannya, beliau justru
memberinya kabar gembira, bahwa ia akan masuk surga karenanya. Coba Anda
perhatikan, ketika laki-laki tersebut mempunyai kebiasaan dalam shalat
yang berbeda dengan sunnah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
tidak langsung menegurnya dengan berkata: “kullu bid’atin dholalah, wa
kullu dholalatin finnar.” Karena hadits ini tidak bisa diapakai untuk
semua persoalan yang tidak ada nash nya dalam al-Qur’an dan hadits.
Dalam persoalan-persoalan yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan
hadits, masih banyak ruang untuk berijtihad, dan tidak berdasarkan
hadits kullu bid’atin dholalah.
Dalam hadits lain juga diriwayatkan:
عن ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَصَلَّيْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِيَدِي
فَجَرَّنِي فَجَعَلَنِي حِذَاءَهُ فَلَمَّا أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى صَلاتِهِ خَنَسْتُ فَصَلَّى رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لِي مَا شَأْنِي
أَجْعَلُكَ حِذَائِي فَتَخْنِسُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَوَيَنْبَغِي
لِأَحَدٍ أَنْ يُصَلِّيَ حِذَاءَكَ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ الَّذِي
أَعْطَاكَ اللهُ قَالَ فَأَعْجَبْتُهُ فَدَعَا اللهَ لِي أَنْ يَزِيدَنِي
عِلْمًا وَفَهْمًا. رواه أحمد وابو يعلى وصححه الحاكم.
Ibnu Abbas
berkata: “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada
akhir malam, lalu aku shalat (bermakmum) di belakang beliau. Lalu beliau
mengambil tanganku, menarikku, hingga menjadikanku lurus dengan beliau.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam konsentrasi pada
shalatnya, aku mundur. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
shalat. Ketika beliau selesai, beliau bertanya: “Kenapa diriku? Aku
luruskan kamu denganku, kok malah mundur.” Aku menjawab: “Wahai
Rasulullah, apakah pantas bagi seseorang menunaikan shalat, berdiri
lurus dengan engkau, sedangkan engkau adalah Rasulullah yang telah
diberi anugerah oleh Allah.” Lalu beliau kagum dengan jawabanku. Lalu
beliau berdoa kepada Allah agar menambah ilmu dan kecerdasanku.” (HR.
Ahmad dan Abu Ya’la. Dan al-Hakim menilainya shahih).
Perhatikan
dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meluruskan
shaf Ibnu Abbas dengan beliau, karena menjadi makmum sendirian, tanpa
bersama jamaah lain. Tapi kemudian Ibnu Abbas mundur lagi. Setelah
selesai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, justru
bertanya, apa dasar Ibnu Abbas tidak mau lurus dengan beliau dan justru
mundur? Setelah Ibnu Abbas menjawab, bahwa dasar beliau mundur, adalah
karena merasa tidak pantas jika harus lurus dengan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang derajatnya sangat agung, beliau justru
mengagumi dasar tersebut dan mendoakannya agar bertambah alim dan
cerdas. Dalam kejadian tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak langsung marah kepada Ibnu Abbas dan tidak pula berkata kullu
bid’atin dholalah wa kullu dholalatin finnar. Tetapi masih menanyakan
dasarnya apa? Hadits kullu bid’atin dholalah, tidak bisa dijadikan dalil
setiap persoalan hukum yang tidak ada nash nya dalam al-Qur’an dan
hadits. Setiap persoalan ada dalilnya sendiri-sendiri.
Inilah
sebagian dalil yang membuktikan kesalahan pertanyaan-pertanyaan kaum
Wahabi di atas. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu, tidak ilmiah. Hukum
perayaan maulid telah difatwakan oleh para ulama besar, ratusan tahun
sebelum lahirnya aliran Wahabi. Ketika perayaan maulid ditanyakan
hukumnya kepada para ulama ahli hadits, mereka justru berpendapat
positif dan menganjurkan untuk melakukannya. Mereka antara lain
al-Hafizh Ibnu Dihyah al-Kalbi, al-Hafizh Ibnu al-Jauzi, al-Hafizh Ibnu
Katsir, al-Hafizh al-’Iraqi, al-Hafizh Ibnu Nashiruddin al-Dimasyqi,
al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Hafizh al-Sakhawi, al-Hafizh al-Suyuthi dan
lain-lain. Mereka semuanya ahli hadits, dan hafal di luar kepala hadits
kullu bid’atin dholalah.