Zikir Jahar Setelah Shalat Itu Sunnah,
Tapi Kenapa Anda Berani Bilang Bid’ah ?
KESUNNAHAN
ZIKIR JAHAR SETELAH SHOLAT WAJIB
BismillahhiRrahmaniRahim ….
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah dengan segala limpahan nikmat-nikmat-Nya
yang zhahir maupun yang batin. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada hamba
dan utusan-Nya, Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Berzikir sesudah shalat merupakan sunnah yang sudah diamalkan dan dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hendaknya kita mengikuti beliau dalam amal ini dan mencontoh bagaimana beliau melaksanakannya.
Sebagian saudara kita (kaum muslimin) ada yang memandang bahwa zikir sesudah shalat harus lirih, tidak boleh mengeraskannya karena bisa mengganggu orang di sekitarnya yang juga berdzikir atau mengganggu mereka yang sedang menyelesaikan shalatnya. Sehingga ketika ada ikhwan yang mengeraskan suara dzikir diingkari dan dianggap bid’ah. Bagaimana tatacara dzikir sesudah shalat yang sesuai sunnah? Apakah disunnahkan mengeraskannya atau melirihkannya?
أَنَّ
رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ
كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ
عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
“Sesungguhnya mengeraskan suara
zikir ketika orang-orang usai melaksanakan shalat wajib merupakan kebiasaan
yang berlaku pada zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ibnu Abbas menambahkan, ‘Aku mengetahui mereka
selesai shalat dengan itu, apabila aku mendengarnya.”
Masih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
Masih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
كُنْتُ
أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِالتَّكْبِيرِ
“Aku megetahui selesainya shalat
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan takbir.” (HR. al-Bukhari)
Hadits-hadits di atas merupakan
dalil tentang sunnahnya menjaharkan (mengeraskan) suara zikir sesudah shalat. Dan ini menjadi bantahan bagi mereka yang mengingkari dan
melarangnya.
Ibnu Huzaiman memasukkan hadits di
atas daam kitab Shahih-nya, dan memberinya judul, Bab: Raf’u al-Shaut bi
al-Takbiir wa al-Dzikr ‘inda Inqidha’ al-Shalah (Bab: meninggikan (mengeraskan)
suara takbir dan dzikir ketika selesai shalat (wajib).. hal ini menunjukkan
bahwa beliau memahami bolehnya mengeraskan takbir dan zikir sesudah shalat.
Ibnu Daqiq al-‘Id, juga menyatakan hal yang sama, “Dalam hadits ini, terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat, dan takbir secara khusus termasuk dalam kategori zikir.” (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam)
Ibnu Daqiq al-‘Id, juga menyatakan hal yang sama, “Dalam hadits ini, terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat, dan takbir secara khusus termasuk dalam kategori zikir.” (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam)
Imam al-Nawawi dalam Syarah Shahih
Muslim mengatakan, bahwa hadits ini adalah dalil bagi pendapat sebagian ulama salaf bahwa disunnahkan mengeraskan suara
takbir dan zikir sesudah shalat wajib.
Dan di antara ulama muta’akhirin yang menyunahkannya adalah Ibnu Hazm
al-Zahiri.
Sedangkan Imam al-Syafi’i rahimahullaah, memaknai hadits di atas dengan mengatakan, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengeraskan (dzikir sesudah shalat) hanya dalam waktu sementara saja untuk mengajari mereka tentang sifat dzikir, bukan mengeraskan terus menerus. Imam Syafi’i berpendapat agar imam dan makmum melirihkan zikir kepada Allah Ta’ala sesudah shalat, kecuali kalau imam ingin agar makmum belajar darinya, maka dia mengeraskan dzikirnya sehingga ia melihat makmum telah belajar darinya, lalu melirihkannya. Dan beliau memaknai hadits tersebut dengan ini. (Lihat Syarah Shahih Muslim lin Nawawi).
Sedangkan Imam al-Syafi’i rahimahullaah, memaknai hadits di atas dengan mengatakan, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengeraskan (dzikir sesudah shalat) hanya dalam waktu sementara saja untuk mengajari mereka tentang sifat dzikir, bukan mengeraskan terus menerus. Imam Syafi’i berpendapat agar imam dan makmum melirihkan zikir kepada Allah Ta’ala sesudah shalat, kecuali kalau imam ingin agar makmum belajar darinya, maka dia mengeraskan dzikirnya sehingga ia melihat makmum telah belajar darinya, lalu melirihkannya. Dan beliau memaknai hadits tersebut dengan ini. (Lihat Syarah Shahih Muslim lin Nawawi).
Berikut
ini kami sertakan fatwa-fatwa para ulama Wahabi tentang zikir sesudah shalat:
1.
Fatwa Syaikh Utsaimin rahimahullaah
Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin pernah ditanya tentang hukum menjaharkan zikir sesudah shalat
lima waktu dan bagaimana cara pelaksanaannya?
Beliau menjawab: Bahwa sesungguhnya menjaharkan zikir sesudah shalat fardhu adalah sunnah. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari hadits Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu menunjukkan sunnah tersebut, bahwa mengeraskan suara zikir ketika orang-orang selesai melaksanakan shalat fardhu telah ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
Beliau menjawab: Bahwa sesungguhnya menjaharkan zikir sesudah shalat fardhu adalah sunnah. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari hadits Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu menunjukkan sunnah tersebut, bahwa mengeraskan suara zikir ketika orang-orang selesai melaksanakan shalat fardhu telah ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
كُنْتُ
أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
“Dan aku tahu apabila mereka telah
selesai dari shalat dengan itu, (yaitu) apabila aku
mendengarnya.” (Hadits ini juga diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadits
ini adalah salah satu dari hadits-hadits dalam al-‘Umdah).
Dalam Shahihain, dari hadits al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu berkata, Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca apabila telah selesai shalat:
Dalam Shahihain, dari hadits al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu berkata, Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca apabila telah selesai shalat:
لَا
إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ
“Tidak ada tuhan yang hak kecuali
Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.” Al-hadits. Dia tidak akan mendengar
dzikir ini kecuali jika orang yang berdzikir mengeraskannya.
Ibnu Taimiyah, para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan zikir sesudah shalat berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu ‘anhum. Dan mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat disyariatkan baik saat membaca tahlil, tasbih, takbir, ataupun tahmid berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas. Tidak didapatkan keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang membedakan antara tahlil dan selainnya. Bahkan di dalam hadits Ibnu Abbas, mereka mengetahui selesainya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan takbir. Dengan ini terbantahkan pendapat orang bahwa tidak boleh jahar (keras) dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir.
Ibnu Taimiyah, para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan zikir sesudah shalat berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu ‘anhum. Dan mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat disyariatkan baik saat membaca tahlil, tasbih, takbir, ataupun tahmid berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas. Tidak didapatkan keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang membedakan antara tahlil dan selainnya. Bahkan di dalam hadits Ibnu Abbas, mereka mengetahui selesainya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan takbir. Dengan ini terbantahkan pendapat orang bahwa tidak boleh jahar (keras) dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir.
Adapun orang yang berkata bahwa
menjaharkan bacaan dzikir sesudah shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah
salah. Bagaimana sesuatu yang biasa
dilaksanakan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebut bid’ah?!
Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahullaah berkata, “Hal itu ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari perbuatan dan taqrirnya. Para sahabat melaksanakan hal itu pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau mengajarkannya kepada mereka. Beliau menyetujui mereka atas hal itu sehingga mereka mengetahuinya dengan pengajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka. Mereka melaksanakan dan beliau menyetujui mereka di atas perbuatan tersebut setelah mengetahuinya, beliau tidak mencela mereka.”
Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahullaah berkata, “Hal itu ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari perbuatan dan taqrirnya. Para sahabat melaksanakan hal itu pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau mengajarkannya kepada mereka. Beliau menyetujui mereka atas hal itu sehingga mereka mengetahuinya dengan pengajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka. Mereka melaksanakan dan beliau menyetujui mereka di atas perbuatan tersebut setelah mengetahuinya, beliau tidak mencela mereka.”
Adapun alasan mengingkari zikir
jahar dengan firman Allah Ta’ala,
وَاذْكُرْ
رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ
بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam
hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan
suara, di waktu pagi dan petang,” (QS. Al-A’raf: 205).
Maka kami jawab: Sesungguhnya Dzat
yang memerintahkan menyebut nama Rabbnya ( zikir) dalam hati dengan merendahkan
diri dan rasa takut adalah yang memerinthakan untuk menjaharkan zikir
sesudah shalat wajib. Apakah orang yang tersebut lebih mengetahui maksud Allah
Ta’ala daripada Rasul-Nya? Atau ia meyakini bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengetahui maksud Allah tapi beliau menyelisihinya. Kemudian
ayat yang menyebutkan zikir pada pagi hari dan sore hari bukan dzikir
sesudah shalat lima waktu. Imam Ibnu katsir rahimahullaah dalam
tafsirnya memahami makna jahar (keras) di sini dengan terlalu keras
(berteriak-teriak).
Adapun yang mengingkari zikir
jahar ini dengan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Wahai manusia kasihanilah diri
kalian, karena kalian tidaklah berdoa kepada Dzat yang tuli…! (sampai akhir
hadits)”.
Maka bisa dijawab dengan mengatakan:
Sesungguhnya orang yang menyabdakan hal itu, dia juga yang dulunya mengeraskan
zikir setelah shalat wajib ini. Itu berarti, tuntunan ini punya tempat sendiri,
sedangkan yang itu juga ada tempatnya sendiri. Dan sempurnanya mengikuti
sunnah beliau adalah dengan menempatkan semua nash yang ada pada tempatnya
masing-masing.
Kemudian ungkapan dalam sabdanya,
“Kasihanilah diri kalian,” menunjukkan bahwa para sahabat terlalu meninggikan
suaranya sehingga menyakitkan dan memberatkan mereka. Karena sebab inilah
beliau bersabda, “Kasihanilah diri kalian.” Maksudnya, berlemahlembutlah
terhadap diri kalian dan jangan terlalu membebani diri kalian. Sedangkan menjaharkan
zikir sesudah shalat bukan termasuk kesulitan dan membebani.
Adapun orang yang mengatakan bahwa amalan itu bisa mengganggu orang lain, maka bisa dijawab dengan mengatakan padanya: Jika maksudmu akan mengganggu orang yang tidak biasa dengan hal itu, maka seorang mukmin jika sudah ada kejelasan bahwa hal itu merupakan sunnah, maka hal (gangguan) itu akan hilang (dengan sendirinya). Jika maksudmu akan mengganggu jamaah lain yang masih shalat, maka jika jamaah tidak ada yang masbuq (terlambat) maka mengeraskan suara tersebut tidak akan mengganggu mereka sebagaimana fakta lapangan, karena mereka sama-sama mengeraskan zikirnya. Jika ada yang masbuq dan sedang menyelasikan shalatnya, jika ia dekat denganmu sehingga bisa mengganggunya, maka jangan keraskan suara zikir dengan tingkatan suara yang bisa mengganggunya, agar kamu tidak mengganggu shalatnya. Sedang jika ia jauh darimu, maka ia tak akan terganggu oleh suara keras zikirmu yang keras.
Berdasarkan keterangan yang kami sebutkan, menjadi jelas bahwa mengeraskan zikir setelah shalat wajib adalah sunnah. Hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan nash yang shahih maupun dengan penalaran yang jelas. Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar menganugerahkan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih kepada kita semua. sesungguhnya Dia itu maha dekat lagi maha mengabulkan doa. (Fatawa wa Rasail Ibni Utaimin, jilid 13)
Adapun orang yang mengatakan bahwa amalan itu bisa mengganggu orang lain, maka bisa dijawab dengan mengatakan padanya: Jika maksudmu akan mengganggu orang yang tidak biasa dengan hal itu, maka seorang mukmin jika sudah ada kejelasan bahwa hal itu merupakan sunnah, maka hal (gangguan) itu akan hilang (dengan sendirinya). Jika maksudmu akan mengganggu jamaah lain yang masih shalat, maka jika jamaah tidak ada yang masbuq (terlambat) maka mengeraskan suara tersebut tidak akan mengganggu mereka sebagaimana fakta lapangan, karena mereka sama-sama mengeraskan zikirnya. Jika ada yang masbuq dan sedang menyelasikan shalatnya, jika ia dekat denganmu sehingga bisa mengganggunya, maka jangan keraskan suara zikir dengan tingkatan suara yang bisa mengganggunya, agar kamu tidak mengganggu shalatnya. Sedang jika ia jauh darimu, maka ia tak akan terganggu oleh suara keras zikirmu yang keras.
Berdasarkan keterangan yang kami sebutkan, menjadi jelas bahwa mengeraskan zikir setelah shalat wajib adalah sunnah. Hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan nash yang shahih maupun dengan penalaran yang jelas. Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar menganugerahkan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih kepada kita semua. sesungguhnya Dia itu maha dekat lagi maha mengabulkan doa. (Fatawa wa Rasail Ibni Utaimin, jilid 13)
Adapun orang yang berkata bahwa
menjaharkan bacaan zikir sesudah shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah salah. Bagaimana sesuatu yang biasa dilaksanakan pada zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam disebut bid’ah?! (Syaikh Utsaimin)
2.
Fatwa Syaikh Ibnu Bazz
SyaikhIbnu Bazz pernah ditanya
tentang sunnah zikir sesudah shalat, mana yang sesuai sunnah, mengeraskan zikir
atau melirihkannya?
Beliau menjawab: Yang sunnah adalah menjaharkan zikir sesudah shalat lima waktu dan sesudah shalat Jum’at ba’da salam. Hal itu didasarkan hadits dalam Shahihain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa mengeraskan suara dzikir sesudah manusia selesai melaksanakan shalat wajib sudah ada pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui kalau mereka sudah selesai shalat apabila aku mendengarnya.” (Kumpulan pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Ibnu Bazz oleh Muhammad al-Syayi’)
Dalam Jawaban lain, beliau berkata:
“Telah disebutkan dalam kitab shahihain, dari riwayatnya Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, “Sesungguhnya mengeraskan zikir saat selesai dari
shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam“.
Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat aku
mendengar (suara zikir) itu.”
Hadits shahih ini dan hadits-hadits
semakna lainnya yang berasal dari hadits Ibnu Zubair, dan Al-Mughirah bin
Syu’bah radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya,
semuanya menunjukkan disyariatkannya mengeraskan zikir ketika orang-orang
selesai shalat wajib, yang kira-kira sampai terdengar oleh orang-orang yang
berada di pintu-pintu dan di sekitar masjid, sehingga mereka tahu selesainya shalat
(jama’ah) dengan (kerasnya suara dzikir) itu. (Tapi) bagi orang yang didekatnya
ada orang lain yang sedang menyelesaikan shalatnya, maka sebaiknya ia memelankan
sedikit suaranya, agar tidak mengganggu mereka, karena adanya dalil-dalil lain
yang menerangkan hal itu.
Dalam tuntunan mengeraskan zikir
ketika para jamaah selesai shalat wajib ini, ada banyak manfaat, diantaranya:
1. Menampakkan pujian kepada Allah
Ta’ala yang telah memberikan mereka kenikmatan bisa menjalankan kewajiban yang agung ini.
2. Dan (Sebagai sarana untuk)
mengajari orang yang jahil dan mengingatkan orang yang lupa. Jika saja tidak ada hal itu, tentunya sunnah ini akan jadi
samar bagi banyak orang. Wallahu waliyyut taufiq.
Yang sunnah adalah menjaharkan
dzikir sesudah shalat lima waktu dan sesudah shalat Jum’at ba’da salam. (Syaikh
Ibnu Bazz)
3.
Syaikh Shalih al-Fauzan
Beliau ditanya tentang menjaharkan
doa dan zikir secara umum, dan sesudah shalat secara khusus? Apakah doa dan zikir itu dengan keras, lirih, atau di
antara keduanya?
Beliau menjawab, “Doa yang dicontohkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang disyari’atkan, seseorang diberi pilihan antara menjaharkannya atau melirihkannya. Allah Ta’ala berfirman,
Beliau menjawab, “Doa yang dicontohkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang disyari’atkan, seseorang diberi pilihan antara menjaharkannya atau melirihkannya. Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُوا
رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan
berendah diri dan suara yang lembut.” (QS. Al-a’raf: 55)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengetahui yang lirih dan tersembunyi.
Engkau boleh berdoa dengan keras dan lirih, kecuali apabila menjaharkannya bisa
mengganggu orang disekitarmu; yang tidur, shalat, atau yang sedang membaca
Al-Qur’an al-Karim, maka engkau harus melirihkan suaramu. Atau apabila kamu
takut tumbuh riya’ dan sum’ah dalam dirimu, maka engkau lirihkan suaramu dalam
berdoa, karena hal ini lebih bisa menjadikan ikhlas.
Perlu diperhatikan, bahwa mengeraskan di sini bukan dengan suara bersama-sama (koor), sebagaimana yang dilakukan sebagian orang. Setiap orang berdoa untuk dirinya dengan lirih dan keras. Adapun berdoa dengan berjama’ah (bersama-sama), maka termasuk bid’ah.
Sedangkan zikir sesudah shalat, maka yang sunnah adalah menjaharkannya sesuai dengan hadits-hadits shahih yang menyebutkan bahwa para sahabat menjaharkan zikir sesudah shalat; tahlil dan ihtighfar sesudah salam sebanyak tiga kali, lalu membaca:
Perlu diperhatikan, bahwa mengeraskan di sini bukan dengan suara bersama-sama (koor), sebagaimana yang dilakukan sebagian orang. Setiap orang berdoa untuk dirinya dengan lirih dan keras. Adapun berdoa dengan berjama’ah (bersama-sama), maka termasuk bid’ah.
Sedangkan zikir sesudah shalat, maka yang sunnah adalah menjaharkannya sesuai dengan hadits-hadits shahih yang menyebutkan bahwa para sahabat menjaharkan zikir sesudah shalat; tahlil dan ihtighfar sesudah salam sebanyak tiga kali, lalu membaca:
اللَّهُمَّ
أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ
وَالْإِكْرَامِ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
sampai akhir dari zikir- zikir
yang dicontohkan, maka membacanya dengan keras. Tapi dengan sendiri-sendiri, bukan dengan berjamaah
(bersama-sama) sebagaimana yang kami sebutkan di awal. Zikir berjama’ah ini
termasuk perkara bid’ah (yang diada-adakan). Setiap orang berdzikir
sendiri-sendiri dan mengeraskannya sesudah shalat.” (al-Muntaqa’ min Fatawa
al-Fauzan: Juz 3).
Sedangkan dzikir sesudah shalat,
maka yang sunnah adalah menjaharkannya sesuai dengan hadits-hadits shahih . . . (Syaikh Shalih Fauzan)
4.
Fatwa Lajnah Daimah
Disyariatkan untuk mengeraskan
zikir setelah shalat wajib, karena adanya keterangan yang shahih dari hadits
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu,
(ia mengatakan): “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari shalat
wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “. Ibnu
Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat ku dengar
(suara dzikir) itu”.
(Mengeraskan zikir setelah shalat
wajib tetap disunnahkan), meski ada orang-orang yang masih menyelesaikan
shalatnya, baik mereka itu (menyelesaikan
shalatnya secara) sendiri-sendiri atau dengan berjama’ah. Dan hal itu (yakni
mengeraskan zikir) disyariatkan pada semua shalat wajib yang lima waktu.
Adapun mengeraskan doa dan membaca Al-Qur’an secara jama’i (bersama-sama), maka hal ini tidak pernah ada tuntunannya dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, maupun dari para sahabat beliau. (Oleh karena itu), perbuatan itu termasuk bid’ah. Adapun jika ia berdoa untuk dirinya sendiri, atau membaca Quran sendiri dengan suara tinggi, maka hal itu tidak mengapa, asal tidak mengganggu orang lain.” (Lajnah Daimah)
Adapun mengeraskan doa dan membaca Al-Qur’an secara jama’i (bersama-sama), maka hal ini tidak pernah ada tuntunannya dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, maupun dari para sahabat beliau. (Oleh karena itu), perbuatan itu termasuk bid’ah. Adapun jika ia berdoa untuk dirinya sendiri, atau membaca Quran sendiri dengan suara tinggi, maka hal itu tidak mengapa, asal tidak mengganggu orang lain.” (Lajnah Daimah)
Penutup
Dari hadits dan penjelasan ulama
panutan kaum Wahabi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mengeraskan bacaan
zikir sesudah shalat wajib adalah sunnah.
Ini merupakan petunjuk yang dzahir dan sharih dari teks hadits dalam Shahihain.
Walaupun ada pendapat sebagian ulama – seperti imam Syafi’i, Imam Nawawi dan
Syaikh Al-Albani- yang melarang menjaharkannya dan membawa makna hadits di
atas sebagai pengajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para
sahabatnya, jadi dilaksanakan hanya temporar dan tidak terus menerus. Jika
tidak ada tujuan seperti itu maka dianjurkan untuk melirihkannya.
Pendapat yang menganjurkan untuk
mengeraskan zikir sesudah shalat sesuai dengan dzahir hadits. Maka, sebagaimana kaidah Ushul Fiqih bahwa makna dzahir
harus lebih didahulukan dan diamalkan sehingga ada dalil kuat lainnya yang
me-nasakh-nya, atau men-takhshish-nya atau men-takwil-nya. Dan tidak didapatkan
adanya dalil kuat yang menerangkan, bahwa dikeraskannya zikir setelah shalat
wajib itu hanya untuk sementara waktu saja.
Kesimpulannya adalah Zikir Jahar
Setelah Shalat Wajib Itu Sunnah, tapi Kenapa Wahabi Indonesia Bilang Bid’ah ?
Wallahu Ta’ala a’lam
http://youtu.be/0X0ciDdfQFI
BalasHapushttp://youtu.be/0X0ciDdfQFI
BalasHapus