Kamis, 23 Januari 2014

HUKUM DAN DALIL SHALAT BERJAMAAH

Sebagian ulama menyatakan hukum shalat berjamaah adalah fardhu 'ain (wajib bagi seluruh individu muslim laki-laki) berdasarkan QS An-Nisa' 4:102 dan dua hadits yang disebut di bawah. Namun mayoritas ulama madzhab empat menilai dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Yaitu, wajib bagi seluruh muslim laki-laki, tapi gugur kewajiban itu apabila ada sebagian muslim yang melakukannya.

1. Al Quran surah An-Nisa' 4:102

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ ۗ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ ۖ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
Artinya: Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak melaksanakan salat bersama-sama mereka, ...

2. Hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim menyatakan:

و الذي نفسي بيده ، لقد هممت أن آمر بحطب فيحتطب ، ثم آمر بالصلاة فيؤذن لها ، ثم آمر رجلاً فيؤم الناس ، ثم أخالف إلى رجالاً فأحرق عليهم بيوتهم ، و الذي نفسي بيده لو يعلم أنه يجد عَرْقاً سميناً أو مِرْماتَيْن حسنتين لشهد العشاء
Artinya: Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku bermaksud hendak menyuruh orang-orang mengumpulkan kayu bakar, kemudian menyuruh seseorang menyerukan adzan, lalu menyuruh seseorang pula untuk menjadi imam bagi orang banyak. Maka saya akan mendatangi orang-orang yang tidak ikut berjama'ah, lantas aku bakar rumah-rumah mereka.

3. Hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim (muttafaq alaih) menyatakan:

إن أثقل الصلاة على المنافقين صلاة العشاء و صلاة الفجر ، و لو يعلمون ما فيهما لأتوهما و لو حبواً ، و لقد هممت أن آمر بالصلاة فتقام ، ثم آمر رجلاً يصلي بالناس ، ثم انطلق معي برجال معهم حزم من حطب إلى قوم لا يشهدون الصلاة ، فأحرق عليهم بيوتهم
Artinya: Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah salat isya' dan shalat subuh. Seandainya mereka tahu keutamaannya niscaya mereka akan datang walaupun dengan merangkak. Aku telah memerintahkan agar shalat dilaksanakan. Kemudian aku memerintahkan seorang lelaki untuk shalat dengan yang lain (secara berjamaah)...Al-Khoirot

KEUTAMAAN FADHILAH SHALAT BERJAMAAH

Berikut dalil tentang keutamaan shalat berjamaah

1. Pahala yang berlipat ganda
Hadits sahih riwayat muttafaq alaih (Bukhari Muslim)

صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة
Artinya: Shalat berjamaah lebih utama 27 derajat dibanding shalat sendirian.

2. Diangkat derajatnya dan dihapus kesalahannya

صلاة الرجل في جماعة تَضْعفُ على صلاته في بيته وفي سوقه خمساً وعشرين ضعفاً ، وذلك أنه إذا توضأ فأحسن الوضوء ثم خرج إلى المسجد ، لا يُخْرِجُه إلا الصلاة ، لم يخطُ خطوة إلا رُفِعَت له بها درجة ، وحُطّ عنه بها خطيئة ، فإذا صلَّى لم تزل الملائكة تُصلِّي عليه ، ما دام في مُصَلاّه ما لم يُحْدِث : اللهم صلّ عليه ، اللهم ارحمه ، ولا يزال في صلاة ما انتظر الصلاة
Artinya: shalat seorang lelaki secara berjamaah akan berlipat ganda 20 kali (pahalanya) dibanding shalat di rumah. Setiap langkahnya menuju masjid akan mengangkatnya satu derajat dan menghilangkan satu kesalahan...

3. Sama dengan pahal shalat tahajud semalam suntuk.
Hadits sahih riwayat Muslim:

من صلَّى العشاء في جماعة فكأنما قام نصف الليل ، ومَن صلّى الصبح في جماعة فكأنما قام الليل كله
Artinya: Barangsiapa shalat isya' secara berjamaah maka seakan-akan dia melakukan shalat separuh malam. Barangsiapa shalat subuh berjamaah maka seakan-akan dia shalat seluruh malam.

Hukum Meninggalkan Shalat Berjama’ah
Meninggalkan Shalat Berjama’ah tidak dibenarkan dalam Islam, bahkan meninggalkan shalat berjamaah merupaka dosa besar.
Allah سبحانه و تعالي berfirman:

يَوْمَ يُكْشَفُ عَن سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلَا يَسْتَطِيعُونَ. خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ
Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, bagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera. (QS. Al-Qalam: 42-43)

Ini kejadian pada hari kiamat. Mereka diliputi penyesa’an. Dulu di dunia mereka telah diseru untuk bersujud.

Ibrahim At-Taimiy رحمه الله berkata, “Maksud dari ayat di atas adalah diseru kepada shalat wajib dengan adzan dan iqamah.

Sa’id bin Musayyib رحمه الله berkata, “Mereka mendengar panggilan ‘Mari mengerjakan shalat! Mari menuju kemenangan!’, namun mereka tidak menjawab panggilan itu, padahal mereka dalam keadaan sehat sejahtera.

Ka’ab al-Ahbar رحمه الله berkata, “Demi Allah, ayat ini tidak turun kecuali berkenaan dengan orang-orang yang meninggalkan shalat jamaah. Nah, ancaman apa yang lebih dahsyat bagi orang yang meninggalkan shalat jamaah padahal ia mampu mengerjakannya selain ayat ini?

Adapun dari sunnah, Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah صلي الله عليه وسلم juga bersabda, “Sungguh aku hampir saja memerintahkan untuk shalat diiqamati, lalu aku perintahkan seseorang untuk mengimami orang-orang. Sedang aku dan beberapa orang lagi pergi sambil membawa seonggok kayu bakar untuk membakar rumah orang-orang yang tidak menghadiri shalat jamaah.“1
 Tentunya mereka tidak diancam dengan pembakaran rumah -padahal di sana ada anak-anak dan harta kekayaan- kecuali karena mereka meninggalkan perkara yang wajib.”

Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan, seorang buta menemui Nabi berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak punya orang yang menuntunku ke masjid.” Lalu ia meminta keringanan untuk diperbolehkan mengerjakan shalat di rumah. Rasulullah-pun mengizinkan. Tetapi ketika orang itu undur diri, beliau memanggilnya, “Apakah kamu mendengar seruan untuk shalat (adzan)?” Laki-laki itu menjawab, “Ya“, “Jika demikian jawablah seruan itu!“, sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم.2
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dari Amru bin Ummi Maktum, bahwa ia menemui Nabi ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di Madinah ini banyak binatang berbisa dan binatang buasnya. Padahal aku ini rusak penglihatanku dan jauh rumahku. Aku punya penuntun jalan tapi aku tidak cocok dengannya. Apakah ada keringanan bagiku untuk mengerjakan shalat di rumah?” “Apakah kamu mendengar adzan?”, tanya Rasulullah. “Ya”, jawab orang itu. Lalu Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda, “jika demikian jawablah seruan itu. Aku tidak mendapatkan keringanan bagimu.” 3

Seorang lelaki buta telah mengadukan kesulitan-kesulitan yang ia hadapi selama berjalan menuju masjid. Bahkan ia tidak punya orang yang menuntunnya. Meski begitu, Nabi صلي الله عليه وسلم tetap tidak memberi keringanan baginya untuk mengerjakan shalat di rumah. Nah, bagaimana dengan orang-orang yang sehat penglihatannya sejahtera tanpa ada udzur?

Ibnu Abbas meriwayatkan, Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda, “Barangsiapa mendengar muadzin padahal tidak ada udzur untuk mendatanginya ..” Seseorang menyela, “Apakah udzur itu wahai Rasulullah صلي الله عليه وسلم?” Beliau bersabda, “Yaitu takut atau sakit. Shalat yang ia kerjakan tidaklah diterima.”4 Maksudnya shalat yang dikerjakan di rumah.

Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه berkata, “Tidak ada shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid.” Seseorang bertanya, “Siapakah tetangga masjid itu?” Yaitu orang-orang yang mendengar adzan.”5
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه, ia berkata, “Barangsiapa senang untuk berjumpa dengan Allah esok hari -hari kiamat- sebagai seorang muslim hendaklah menjaga shalat lima waktu setiap kali terdengar panggilan untuk mengerjakannya.

Sesungguhnya Allah mensyariatkan sunnah petunjuk (sunanul huda) bagi Nabi kalian. Dan shalat jamaah itu termasuk salah satunya. Andaikata kalian mengerjakan shalat di rumah seperti shalatnya orang yang ketinggalan di rumahnya berarti kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian, jika kalian meninggalkan sunnahnya niscaya kalian tersesat. Kalian semua telah melihat, tidak seorangpun di antara kita meninggalkan jamaah kecuali ia adalah seorang munafik yang tampak kemunafikannya atau seorang yang sakit. Sungguh telah ada seseorang yang dipapah oleh dua orang, diberdirikan di shaf atau diantar sampai ke masjid untuk dapat mengerjakan shalat berjamaah.6

Rabi’ bin Khaitsam adalah seorang lelaki yang telah lumpuh. Begitupun ia keluar untuk mengerjakan shalat jamaah dengan dipapah oleh dua orang. Seseorang berkata, “Wahai Abu Muhammad, Anda termasuk yang mendapatkan rukhshah (keringanan) untuk mengerjakan shalat di rumah. Anda mempunyai udzur.” “Benar apa yang kalian katakan.” jawab Rabi’. “Tetapi aku mendengar muadzin menyeru, ‘Mari menuju shalat. Mari menuju kemenangan.’ Barangsiapa mampu menjawab seruan itu hendaklah memenuhinya, walau harus merangkak.”7

Hatim al-Asham menuturkan, “Sekali saja aku tidak mengerjakan shalat berjamaah. Abu Ishaq al-Bukhari mendatangiku, berta’ziah. Hanya dia seorang. Padahal seandainya salah satu anakku meninggal, pastilah lebih dari sepuluh ribu orang berta’ziyah ke rumahku. Yah, bagi kebanyakan orang musibah dien memang lebih ringan dari pada musibah dunia.”

Sebagian salaf berkata, “Tidaklah seseorang itu kehilangan kesempatan untuk shalat berjamaah kecuali karena dosa yang telah dikerjakannya.”

Ibnu Umar رضي الله عنهما mengisahkan, “Suatu hari Umar رضي الله عنه pergi ke kebun kurma. Sepulang darinya orang-orang sudah mengerjakan shalat Ashar (berjamaah). Umar pun berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, aku ketinggalan shalat jamaah. Saksikanlah bahwa kebun kurmaku aku jadikan sedekah bagi orang-orang miskin, semoga menjadi kaffarah atas apa yang dilakukan Umar”.

  1. Shahih. Diriwayatkan oleh Malik (1/129-130). Al-Bukhari (644,2420). Muslim (651), Abu Dawud (549), At-Tirmidzi (217), dan An-Nasa’i (2/107); dari Abu Hurairah.
  2. Shahih. Diriwayatkan oleh Muslim (653). Abu Awanah (2/6), An-Nasa’i (2/109), dan Al-Baihaqi (3/57)
  3. Shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/345, 346), Abu Dawud (553), An-Nasa’i (2/110), Ibnu Khuzaimah (1478), dan Al-Hakim (1/246) dengan men-shahih-kannya. dan penilaian ini disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan Syaikh Al-Albani juga men-shahih-kannya.
  4. Shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (551), Ibnu Majah (793), Ad-Damquthni (1/420). Ibnu Hibban (2064), Al-Hakim
    (1/245), Ath-Thabrani (12265), dan Al-Baihaqi (3/57). Syaikh Al-Albani meniatkannya, tanpa lafazh, “Wa ma al-’udzru? (Apa yang dimaksud udzur itu?)”.
  5. Isnadnya shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/380/8).
  6. Shahih. Diriwayatkan oleh Muslim (654) dan An-Nasa’i. tidak sebagaimana yang dikatakan penulis, bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari.
Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (6/189-190) dan Abu Nu’aim (2/113).

1 komentar: